Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Jam Waktu Tunggu

15 Mei 2025   11:12 Diperbarui: 15 Mei 2025   11:16 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen, Pak Ngadenan sedang resah menunggu giliran berangkat Haji ditemani jam lantai di rumahnya (Sumber: Leonardo)

"Bukan cuma baik," jawab Pak Ngadenan, "Aku pulang."

Sinta tampak heran, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin ia tahu, kata "pulang" yang diucapkan ayahnya bukan hanya soal Mekah dan Madinah, bukan hanya soal rumah yang ia tinggalkan. Tapi juga tentang ketenangan yang akhirnya ia temukan di tubuhnya sendiri.

Di ruang tunggu, jemaah berkumpul. Semua mengenakan kain ihram. Suara doa bersahut-sahutan. Ada yang menangis. Ada yang membaca Talbiyah dengan suara pelan. Dan Pak Ngadenan duduk di antara mereka, tangannya menggenggam tasbih, tapi pikirannya mengembara.

Ia teringat hari-hari menunggu yang panjang. Hari-hari ketika jam lantai itu hanya berdentang untuk dirinya sendiri. Teringat malam-malam sunyi yang diisi oleh bayang-bayang pertanyaan: kenapa belum dipanggil? kenapa yang lain lebih dulu?

Tapi semua itu, hari ini, terasa tidak penting.

Ketika akhirnya waktu keberangkatan tiba, Pak Ngadenan berdiri. Kakinya mantap. Ia memeluk Sinta sebentar, mengelus kepala cucunya, dan berjalan ke arah bus. Tak ada air mata. Tak ada drama. Hanya satu ucapan yang ia bisikkan pada Sinta:

"Jangan lupa dengarkan jam itu. Kalau dentangnya terdengar, artinya aku sedang mendoakan kalian."

Di rumah, Sinta berdiri di ruang tamu. Jam lantai itu masih berdiri di tempatnya. Diam, besar, dan kokoh. Anak kecil itu berlari kecil di sekelilingnya, lalu berhenti dan bertanya, "Ibu, jam ini bisa ngomong ya?"

Sinta tersenyum, lalu mengangguk.

"Kadang," jawabnya, "Tapi hanya kalau kita benar-benar mau mendengar."

Jam itu berdentang. Pelan. Dalam. Menggema ke seluruh ruang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun