"Bukan cuma baik," jawab Pak Ngadenan, "Aku pulang."
Sinta tampak heran, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin ia tahu, kata "pulang" yang diucapkan ayahnya bukan hanya soal Mekah dan Madinah, bukan hanya soal rumah yang ia tinggalkan. Tapi juga tentang ketenangan yang akhirnya ia temukan di tubuhnya sendiri.
Di ruang tunggu, jemaah berkumpul. Semua mengenakan kain ihram. Suara doa bersahut-sahutan. Ada yang menangis. Ada yang membaca Talbiyah dengan suara pelan. Dan Pak Ngadenan duduk di antara mereka, tangannya menggenggam tasbih, tapi pikirannya mengembara.
Ia teringat hari-hari menunggu yang panjang. Hari-hari ketika jam lantai itu hanya berdentang untuk dirinya sendiri. Teringat malam-malam sunyi yang diisi oleh bayang-bayang pertanyaan: kenapa belum dipanggil? kenapa yang lain lebih dulu?
Tapi semua itu, hari ini, terasa tidak penting.
Ketika akhirnya waktu keberangkatan tiba, Pak Ngadenan berdiri. Kakinya mantap. Ia memeluk Sinta sebentar, mengelus kepala cucunya, dan berjalan ke arah bus. Tak ada air mata. Tak ada drama. Hanya satu ucapan yang ia bisikkan pada Sinta:
"Jangan lupa dengarkan jam itu. Kalau dentangnya terdengar, artinya aku sedang mendoakan kalian."
Di rumah, Sinta berdiri di ruang tamu. Jam lantai itu masih berdiri di tempatnya. Diam, besar, dan kokoh. Anak kecil itu berlari kecil di sekelilingnya, lalu berhenti dan bertanya, "Ibu, jam ini bisa ngomong ya?"
Sinta tersenyum, lalu mengangguk.
"Kadang," jawabnya, "Tapi hanya kalau kita benar-benar mau mendengar."
Jam itu berdentang. Pelan. Dalam. Menggema ke seluruh ruang.