Pagi itu, Pak Ngadenan berjalan pelan ke dapur. Langkahnya lambat, tapi tidak ragu. Ia merebus air, menakar kopi tanpa gula, lalu duduk di kursi yang sama, di hadapan jam lantai yang diam-diam selalu menatapnya kembali.
Hari ini hari Kamis. Atau Rabu? Ia lupa. Yang ia ingat, tadi malam ia bermimpi. Mimpi yang tidak hebat, bahkan terlalu biasa: ia duduk di teras masjid kecil, diapit dua anak kecil yang saling berebut sendal. Lalu ada suara panggilan: "Pak Ngadenan, ayo masuk."
Ia menoleh, tapi pintu masjid sudah tertutup.
Ia bangun dengan dada berdebar. Tidak ada peluh. Tidak ada rasa takut. Hanya satu perasaan aneh yang tertinggal: rindunya tidak hilang.
Sejak pandemi mereda, tetangga mulai pergi ke kota. Ada yang dagang lagi, ada yang menikah, ada yang bahkan berangkat umrah. Pak Ngadenan hanya mendengar cerita mereka sambil tersenyum. Tak lagi ia tanya kapan gilirannya tiba. Kalimat "belum rezeki" sudah jadi kalimat sakti yang bisa menjinakkan kecewa, walau hanya sementara.
Tapi hari itu ada yang berbeda. Selembar kertas datang, diselipkan oleh Pak RT. Surat dari Kemenag. Tulisannya resmi, kaku, tapi bagi Pak Ngadenan: kalimat pembukanya adalah suara yang selama ini ia tunggu-tunggu.
"Assalamu'alaikum. Dengan ini kami sampaikan bahwa Bapak Ngadenan termasuk dalam daftar keberangkatan haji tahun ini, dan diharapkan hadir dalam manasik pertama yang akan dilaksanakan pada..."
Kalimat itu tidak selesai dibaca. Pandangannya kabur. Bukan karena air mata—ia sudah melewati tahap itu. Tapi karena mendadak dunia seakan memperlambat dirinya. Jam berdetak lebih lambat, suara luar menghilang. Hanya napasnya yang terdengar.
Ia kembali duduk. Surat itu ia letakkan di atas meja, tepat di bawah jam lantai. Ia memandang jam itu lama sekali. Kayu tuanya seolah bersinar terkena sinar pagi yang menyelinap lewat lubang angin. Jarum menitnya bergerak pelan, seperti memberi ruang untuk bersyukur.
Di luar, angin bergerak membawa suara anak-anak yang bermain bola. Ada tawa. Ada jeritan bahagia. Sesuatu yang lama tak ia dengar utuh. Ia tersenyum kecil, lalu berdiri dan membuka jendela. Bau tanah yang baru disiram menyelinap masuk. Segar.
Pak Ngadenan mengambil kain pel, lalu mulai membersihkan rumah. Tangannya masih kuat. Lemari tua dibuka, kain ihram dilihat lagi. Masih putih. Masih bersih. Dipegang seperti memeluk masa lalu.