Dentang kesebelas menggema panjang.
Dentang keduabelas menyusul, seperti palu yang mengetuk sunyi.
Lalu, hening.
Pak Ngadenan membuka matanya. Memandang ke arah jendela, lalu ke jam itu. Tiba-tiba ia merasa jam itu berdetak lebih lambat. Atau mungkin detaknya memang selalu seperti itu. Ia saja yang makin jarang mendengarnya dengan utuh.
Malam semakin pekat. Angin berembus melalui sela dinding kayu, mengangkat sedikit taplak meja dan membuat tirai menggoyang pelan. Tapi Pak Ngadenan tak bergerak. Ia hanya menunggu. Entah apa.
Dan jam itu kembali berdentang.
Tiga kali.
Terlambat.
Atau mungkin... terlalu dini?
Suara dentang jam lantai itu tidak sekeras biasanya pagi ini. Entah karena benar lebih lirih, atau karena Pak Ngadenan kini mulai terbiasa. Ia terbangun sebelum dentang kelima, duduk di ranjangnya, menatap dinding yang retaknya seperti akar pohon tua.
Ia tidak lagi menghitung dentang dengan jari seperti dulu. Dentang-dentang itu sudah menyatu dengan waktu, seperti denyut nadi yang tidak perlu diperiksa, hanya perlu diterima.