Tidak ada yang menghitung kali ini.
Tidak perlu.
Yang datang bukan hanya anak yang lama pergi, tapi juga waktu yang selama ini tertunda.
Pagi keberangkatan itu, rumah Pak Ngadenan penuh suara yang ia rindukan: seruan kecil Sinta pada anaknya agar sarapan dulu, derit pintu lemari yang dibuka dengan tergesa, bahkan suara sendok yang tak sengaja jatuh di lantai. Suara-suara hidup.
Pak Ngadenan duduk di kursi rotan tuanya, mengenakan baju koko putih bersih, sarung baru yang harum setrika, dan peci hitam yang dulu hanya ia kenakan saat salat Idul Fitri. Di sebelahnya, koper kecil coklat yang ia simpan bertahun-tahun, akhirnya terisi.
Tak banyak yang ia bawa. Sebagian besar sudah ia simpan dalam doa sejak dulu: nama-nama yang akan ia titipkan di Multazam, luka-luka yang ingin ia larutkan dalam air zamzam, dan harapan-harapan kecil yang tetap ia bawa meski rambutnya mulai memutih.
Jam lantai itu berdiri megah seperti biasa, tak berubah. Tapi pagi itu dentangnya terdengar berbeda. Bukan lebih keras, bukan pula lebih pelan. Dentangnya terasa—kalau boleh dikata—lebih damai. Seolah jam itu tahu: ia bukan lagi pengingat waktu yang tertunda, tapi penanda bahwa waktu sudah tiba.
Perjalanan ke asrama haji diantar oleh dua mobil. Satu berisi Pak Ngadenan dan koper kecilnya. Satu lagi berisi Sinta dan anaknya yang terus bertanya apakah Kakek akan naik pesawat seperti di kartun.
Di sepanjang jalan, Pak Ngadenan lebih banyak diam. Tapi diamnya bukan karena beban. Diamnya penuh selimut syukur yang menenangkan. Di luar jendela, sawah menguning, pohon-pohon jati melambai pelan, dan langit seperti menurunkan warna birunya lebih dekat ke bumi.
Sesekali ia menoleh ke arah Sinta, yang sedang menjelaskan sesuatu pada anaknya dengan gerak tangan yang hidup. Ia tersenyum. Anak itu—cucu yang belum pernah ia duga—telah membuka pintu dalam dirinya yang nyaris ia tutup selamanya.
"Bapak baik-baik saja?" tanya Sinta pelan saat mereka tiba di Asrama Haji.