Pak Ngadenan mengangguk waktu itu, tapi dalam hati ia tahu, kesehatannya tak lagi sama. Kakinya sering kram tengah malam. Napasnya kadang ngos-ngosan meski cuma menyapu halaman. Ia juga jadi cepat marah jika radio tidak nyala atau nasi terlalu lembek. Bukan pada siapa-siapa. Marah yang diam dan berderak di dalam.
Rumah itu seperti membeku. Dinding-dindingnya menyerap semua rutinitas yang tak lagi penting: menyiram pot tanpa tanaman, menyusun botol air di lemari pendingin yang tak pernah benar-benar dingin, dan mengelap meja tanpa alasan. Waktu tak bergerak, katanya. Tapi jam lantai membantahnya setiap hari.
Suatu sore, ia duduk lebih lama dari biasanya. Di luar, suara jangkrik mulai bersahut-sahutan. Lampu di serambi belum dinyalakan. Hanya ada cahaya samar dari jendela barat. Pak Ngadenan menatap jam. Jarum panjang perlahan naik, dan... dentang.
Satu.
Dua.
Tiga...
Ia menutup matanya. Tidak ada doa hari ini. Tidak juga air mata. Hanya bunyi lonceng yang menggemakan kekosongan yang tak bisa dijelaskan. Seperti panggilan yang tidak diangkat, atau surat yang tidak pernah dikirim.
Ia ingat pernah berkata pada Bu Ngaisah, "Kalau nanti aku ke Mekah, kamu jagalah rumah ini."
Dan Bu Ngaisah menjawab sambil tersenyum, "Kalau kamu nggak jadi berangkat, rumah ini yang akan menjaga kamu."
Waktu itu mereka tertawa. Tapi sekarang, ia tidak tahu siapa yang menjaga siapa.
Kalender baru sudah ada di meja. Masih digulung. Ia belum sanggup membuka. Seperti enggan melihat kenyataan bahwa tahun kembali berputar tanpa kejelasan. Surat pemberitahuan belum datang. Tidak juga pesan dari Kemenag. Yang ada hanya suara jam yang semakin nyaring.