"Kenapa, Mas?"
Ardi menundukkan kepala, tangannya mengepal di atas lututnya.
"Apa kamu... kecewa?" suara Nia makin pelan.
Tidak ada jawaban.
Dan sesuatu di dalam dirinya terasa runtuh.
Air matanya mulai mengalir, satu per satu jatuh membasahi pipinya. Suara isakan kecil terdengar di ruangan itu, menggema di antara tembok rumah kontrakan mereka yang sempit.
Jika ini mimpi, Nia ingin segera terbangun. Jika ini hanya kesalahan kecil, ia ingin segera diperbaiki. Tapi kenyataannya ada di hadapannya, begitu dingin dan nyata.
Suaminya tidak bahagia dengan kehamilannya.
Ketakutan yang tadi hanya berupa bayangan samar kini terasa semakin nyata, merambat masuk ke dalam relung hatinya yang paling dalam.
Nia bangkit, matanya masih basah. "Aku ke belakang dulu," katanya, suaranya hampir putus.
Ia berbalik, melangkah dengan kaki yang terasa lemas. Tapi sebelum ia bisa pergi lebih jauh, tangan Ardi tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.