Pikirannya berputar tanpa kendali.
Kenapa dia pergi begitu saja?
Kenapa dia tidak bahagia?
Empat tahun kami menunggu ini. Empat tahun.
Angin pagi menyelinap masuk melalui celah jendela, membuat bulu kuduknya meremang. Biasanya, pagi adalah waktu yang menyenangkan di rumah kecil mereka. Sederhana, tapi penuh obrolan kecil. Tentang apa yang akan mereka makan malam ini, tentang tetangga yang baru pindah, tentang harga cabai yang naik lagi. Tapi pagi ini... rumah itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Nia meraih ponselnya, menatap layar yang dingin. Tidak ada pesan dari Ardi. Tidak ada telepon. Tidak ada apa-apa.
Tangan kanannya bergetar saat mencoba mengetik:
"Mas... kamu kenapa?"
Pesan itu tertahan di layar.
Ia menghapusnya.
Kalau Ardi memang ingin bicara, seharusnya tadi dia bicara, bukan?
Nia menghembuskan napas berat dan menekan dadanya yang mulai terasa sesak. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan membereskan meja makan, mencuci piring, menyapu lantai, tapi semuanya terasa seperti pekerjaan yang dilakukan oleh tubuhnya saja. Pikirannya masih terikat pada ekspresi datar suaminya. Pada langkah kakinya yang tergesa keluar. Pada piring yang masih penuh.
Ia terduduk di lantai ruang tengah, menyandarkan kepalanya ke sofa tua yang sudah mulai renggang busanya. Matanya terpejam, tapi pikirannya tetap gaduh.