Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Kejutan

12 Maret 2025   15:33 Diperbarui: 12 Maret 2025   16:02 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen: Kejutan (Sumber: Leonardo AI)

Pagi itu, matahari menyelinap masuk melalui jendela kecil rumah kontrakan mereka, menyorot kain gorden tipis yang berkibar pelan diterpa angin. Dapur masih beraroma kopi yang dibuat Ardi sebelum berangkat kerja semalam. Di meja kayu sederhana, ada cangkir kosong dan beberapa remah roti. Sepi.

Nia duduk di kamar mandi, menatap benda kecil di tangannya. Dua garis merah. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan dadanya menghangat oleh kebahagiaan yang hampir tak tertahankan. Empat tahun. Empat tahun menunggu momen ini. Ia ingin segera berlari ke Ardi, mengguncang bahunya, membiarkan air mata haru mengalir, dan melihat binar bahagia di matanya.

Tapi ia menahan diri. Tidak. Ia ingin memberi kejutan. Kejutan yang manis.

Ia bangkit, mencuci wajahnya, lalu keluar dari kamar mandi dengan langkah yang lebih ringan dari biasanya. Di dapur, ia mengaduk susu dengan senyum kecil yang terus mencoba menyelinap di bibirnya. Tetapi, rencana tetap rencana. Ia harus bertindak seperti biasa.

Ketika Ardi pulang pagi itu, wajahnya tampak lelah. Seragamnya masih menyimpan sisa bau pabrik dan keringat yang bercampur dengan udara dingin subuh. Biasanya, Nia akan menyambutnya dengan teh hangat, tetapi kali ini ia hanya melirik sekilas dan kembali sibuk di dapur.

Ardi mengernyit. "Pagi," katanya pelan.

Nia hanya mengangguk.

Ardi duduk di kursi kayu tua yang berderit. "Kamu kenapa?"

Nia tidak menjawab.

Ardi mencoba mendekat, menyentuh bahunya, tetapi Nia beringsut menjauh, pura-pura sibuk mencuci piring. Ada jeda panjang, sebelum akhirnya Ardi menghela napas dan melepas sepatu. "Aku tidur sebentar ya, capek banget."

Nia tidak menjawab.

Sepanjang hari, ia tetap menjaga sikap dinginnya. Ia ingin melihat seberapa jauh Ardi akan bereaksi. Lelaki itu beberapa kali mencoba berbicara, tetapi Nia hanya membalas dengan gumaman pendek atau sekadar anggukan. Sesekali ia menangkap Ardi meliriknya, raut wajahnya menyiratkan tanda tanya besar.

Malam datang. Biasanya, mereka akan duduk di teras bersama, membicarakan hal-hal kecil tentang hari mereka. Tapi malam itu, Nia tetap bertahan dalam rencananya. Ia hanya mengucapkan selamat malam singkat dan masuk ke kamar lebih dulu.

Ardi berdiri di ambang pintu kamar, memandangi punggung istrinya yang berbaring membelakanginya. "Kamu benar-benar nggak mau cerita?" tanyanya pelan.

Nia tetap diam.

Lelaki itu mendesah. Tak ada gunanya memaksa. Ia mematikan lampu dan berbaring di sisi ranjang, tetapi tidurnya gelisah.

Pagi datang dengan embun tipis di kaca jendela. Aroma nasi goreng memenuhi rumah.

Nia duduk lesehan di lantai, menyiapkan sarapan. Ardi duduk di depannya, menyendok makanan dengan diam. Ia tampak lebih waspada dari kemarin.

Lalu, tanpa aba-aba, Nia menyodorkan sebuah benda kecil ke hadapannya.

Ardi menatapnya, bingung. Kemudian, saat matanya menangkap dua garis merah di testpack itu, tubuhnya membeku.

Nia tersenyum, air mata mulai memenuhi kelopak matanya. "Aku hamil," bisiknya, suaranya bergetar oleh kebahagiaan. Ia maju, merengkuh suaminya, mengira bahwa detik itu juga ia akan dipeluk balik, didekap erat, didengar bisikan bahagia Ardi di telinganya.

Tapi tidak.

Pelukan itu terasa dingin.

Ardi tidak membalas.

Ia hanya diam, tatapannya kosong ke testpack di tangannya. Lalu, dalam keheningan yang menusuk, ia meletakkan benda itu di lantai, meraih jaketnya, dan berdiri.

"Aku kerja dulu," katanya singkat.

Nia terpaku. "Tapi... shift kamu malam, kan?"

Ardi tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju pintu, membuka kunci, lalu melangkah keluar.

Piring sarapannya masih hampir penuh.

Nia tetap duduk di tempatnya. Ada sesuatu yang retak di dalam dadanya. Suara langkah kaki Ardi semakin menjauh. Dan di keheningan itu, sesuatu yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya tiba-tiba terasa begitu asing dan menyakitkan.

Suara pintu yang tertutup pelan itu terdengar lebih nyaring daripada biasanya. Seolah meninggalkan denting yang bergetar lama di dinding rumah kontrakan mereka yang sempit. Nia masih duduk di lantai, matanya menatap kosong ke arah piring sarapan yang belum banyak disentuh Ardi. Suapan pertama yang baru setengah dicerna kini terasa seperti batu di tenggorokannya.

Tangannya gemetar saat ia menyentuh testpack yang tadi ia sodorkan. Dua garis merah itu masih di sana, tegas, seperti jawaban yang seharusnya membawa kebahagiaan. Namun, kepergian Ardi menyisakan sesuatu yang lain—sebuah kecemasan yang menggulung dadanya dengan erat, seperti lilitan tali yang terus mengencang.

Pikirannya berputar tanpa kendali.

Kenapa dia pergi begitu saja?
Kenapa dia tidak bahagia?
Empat tahun kami menunggu ini. Empat tahun.

Angin pagi menyelinap masuk melalui celah jendela, membuat bulu kuduknya meremang. Biasanya, pagi adalah waktu yang menyenangkan di rumah kecil mereka. Sederhana, tapi penuh obrolan kecil. Tentang apa yang akan mereka makan malam ini, tentang tetangga yang baru pindah, tentang harga cabai yang naik lagi. Tapi pagi ini... rumah itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

Nia meraih ponselnya, menatap layar yang dingin. Tidak ada pesan dari Ardi. Tidak ada telepon. Tidak ada apa-apa.

Tangan kanannya bergetar saat mencoba mengetik:


"Mas... kamu kenapa?"

Pesan itu tertahan di layar.

Ia menghapusnya.

Kalau Ardi memang ingin bicara, seharusnya tadi dia bicara, bukan?

Nia menghembuskan napas berat dan menekan dadanya yang mulai terasa sesak. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan membereskan meja makan, mencuci piring, menyapu lantai, tapi semuanya terasa seperti pekerjaan yang dilakukan oleh tubuhnya saja. Pikirannya masih terikat pada ekspresi datar suaminya. Pada langkah kakinya yang tergesa keluar. Pada piring yang masih penuh.

Ia terduduk di lantai ruang tengah, menyandarkan kepalanya ke sofa tua yang sudah mulai renggang busanya. Matanya terpejam, tapi pikirannya tetap gaduh.

Mungkin... mungkin dia kaget?

Mungkin dia butuh waktu untuk mencerna ini semua?

Tapi kalau memang begitu, bukankah seharusnya dia tetap mengatakan sesuatu?

Apakah Ardi tidak menginginkan anak? Apakah selama ini dia hanya pura-pura menantikan kehamilan?

Seketika itu, tubuhnya terasa dingin.

Mungkinkah ada alasan lain? Sesuatu yang lebih buruk?

Nia menutup mulutnya dengan tangan, menahan isakan yang nyaris lolos. Tidak, tidak mungkin. Ardi bukan tipe laki-laki yang akan melakukan hal seperti itu. Bukan orang yang akan pergi mencari tempat lain untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Tapi... kalau bukan itu, lalu apa?

Langit mulai beranjak siang. Matahari yang tadi hangat kini terasa menusuk, tapi ruangan itu tetap terasa hampa dan dingin.

Nia mencoba menenangkan diri dengan membaca buku. Tangannya meraih novel yang sejak lama tergeletak di meja samping, tapi kata-kata di halaman pertama pun tak bisa ia cerna. Ia menutupnya kembali, mendekapnya di dada, dan menatap langit-langit yang berwarna putih kusam.

Jam berdetak pelan. Waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.

Saat suara motor terdengar di luar rumah, dadanya langsung mencelos.

Ardi.

Ia berdiri dengan cepat, hampir menjatuhkan novel dari pangkuannya. Pintu terbuka, dan sosok suaminya muncul di ambang pintu.

Tapi tidak ada senyum di sana. Tidak ada tatapan lega, tidak ada pelukan seperti yang ia harapkan.

Wajah Ardi tampak lebih lelah dari pagi tadi. Matanya terlihat sembab, rahangnya mengeras. Ia meletakkan tas selempangnya di atas meja tanpa sepatah kata.

Nia menelan ludah. "Mas..."

Ardi tidak menoleh.

Nia mendekatinya, duduk di sofa sebelahnya. Jarak mereka hanya beberapa sentimeter, tapi rasanya seperti dipisahkan oleh dinding tak kasat mata.

"Aku... aku salah, ya?" suara Nia lirih, hampir tenggelam dalam udara yang pekat di antara mereka. "Aku nggak seharusnya memberi kejutan seperti itu?"

Ardi tetap diam.

"Aku pikir... kamu akan senang," lanjutnya, suaranya bergetar. "Aku pikir kamu akan memelukku. Aku pikir kita akan menangis bersama karena bahagia. Tapi..."

Nia mengusap matanya. Dadanya sesak.

"Kenapa, Mas?"

Ardi menundukkan kepala, tangannya mengepal di atas lututnya.

"Apa kamu... kecewa?" suara Nia makin pelan.

Tidak ada jawaban.

Dan sesuatu di dalam dirinya terasa runtuh.

Air matanya mulai mengalir, satu per satu jatuh membasahi pipinya. Suara isakan kecil terdengar di ruangan itu, menggema di antara tembok rumah kontrakan mereka yang sempit.

Jika ini mimpi, Nia ingin segera terbangun. Jika ini hanya kesalahan kecil, ia ingin segera diperbaiki. Tapi kenyataannya ada di hadapannya, begitu dingin dan nyata.

Suaminya tidak bahagia dengan kehamilannya.

Ketakutan yang tadi hanya berupa bayangan samar kini terasa semakin nyata, merambat masuk ke dalam relung hatinya yang paling dalam.

Nia bangkit, matanya masih basah. "Aku ke belakang dulu," katanya, suaranya hampir putus.

Ia berbalik, melangkah dengan kaki yang terasa lemas. Tapi sebelum ia bisa pergi lebih jauh, tangan Ardi tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.

Nia terhenti.

Ardi menggenggamnya erat, seolah tidak ingin melepaskannya.

Lalu, perlahan, dengan tangan satunya, ia meraih tas selempangnya dan mendorongnya ke arah Nia.

"Kamu buka ini dulu," suaranya terdengar serak.

Nia menatapnya dengan bingung.

"Ada sesuatu di dalamnya," lanjut Ardi pelan.

Jantung Nia berdetak kencang. Ia menatap tas itu dengan perasaan campur aduk.

Apa ini?

Apa yang disembunyikan Ardi?

Tangannya terangkat, jemarinya menyentuh ritsleting tas dengan gerakan ragu.

Dan ketika ia perlahan membukanya...

Sesuatu di dalamnya membuatnya menahan napas.

Jemari Nia gemetar saat menarik ritsleting tas selempang Ardi. Matanya membelalak ketika melihat isinya.

Di dalam tas itu, ada sebuah senter headlamp, beberapa buku dengan sampul bertuliskan "Panduan Kehamilan," daftar nama dan alamat penjual makanan unik, serta sebuah flashdisk kecil berlabel "Untuk Nia".

Nia mengerjap, berusaha memahami apa yang dilihatnya. Jantungnya masih berdegup kencang, tapi kali ini bukan karena kecemasan—melainkan kebingungan. Ia mengangkat kepala, menatap Ardi yang masih duduk dengan wajah serius, nyaris tak terbaca.

"Mas... ini apa?" suara Nia nyaris berbisik.

Ardi menghela napas, lalu dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih sesuatu dari jaketnya. Sebuah map berwarna cokelat. Dengan hati-hati, ia menyerahkannya kepada Nia.

"Tolong buka," ucapnya pelan.

Dengan rasa was-was yang belum sepenuhnya hilang, Nia membuka map itu. Yang pertama kali ia lihat adalah selembar kertas berkop resmi: Surat Pengajuan Cuti Karyawan. Di bawahnya, tanda tangan Ardi sudah tertera, tinggal menunggu persetujuan atasan.

Di baliknya, ada selembar kuitansi. Mata Nia menelusuri tulisan yang tercetak di atasnya: Pembelian Motor Baru—Model Nyaman untuk Ibu Hamil dan Bayi.

Tangannya menutup mulutnya, menahan isakan yang mulai naik ke tenggorokan.

Ardi masih menatapnya, kali ini dengan ekspresi yang lebih lembut.

"Aku nggak pergi kerja tadi," katanya pelan. "Aku ke dealer buat menukar motor kita. Aku tahu, motor yang lama bikin kamu nggak nyaman kalau kita bepergian. Aku nggak mau terjadi sesuatu pada kandunganmu nanti."

Nia merasakan dadanya semakin sesak—bukan karena kesedihan, tapi karena haru yang tak terbendung.

"Aku juga beli ini." Ardi menunjuk flashdisk yang masih ada di pangkuan Nia. "Di dalamnya ada video senam kegel, cara merawat kehamilan, pertolongan pertama kalau ada masalah... Aku nggak tahu banyak soal kehamilan, tapi aku mau belajar. Aku mau jadi suami yang siap buat kamu, buat anak kita nanti."

Nia menutup matanya, membiarkan air mata yang sejak tadi ditahannya mengalir.

"Kenapa... kenapa kamu diam tadi pagi?" suaranya terdengar bergetar. "Kenapa nggak langsung bilang?"

Ardi tersenyum tipis, ekspresi yang sangat ia rindukan sejak pagi tadi. "Aku takut, Nia."

Nia menatapnya, bingung.

"Aku bukan takut punya anak," lanjut Ardi cepat, seolah ingin menepis kekhawatiran yang masih menggelayuti istrinya. "Aku takut... aku nggak cukup baik jadi ayah. Aku takut nggak bisa melindungi kalian berdua nanti. Aku takut aku nggak siap."

Nia menggigit bibirnya. Tiba-tiba, semua kekhawatiran dan rasa sakit yang ia alami sejak pagi terasa begitu jauh.

"Jadi aku diam," lanjut Ardi, suaranya lebih lirih. "Aku butuh waktu sebentar buat memastikan kalau aku nggak cuma senang, tapi juga siap. Aku mau kamu tahu kalau aku bakal ada di sini, bukan cuma buat sekarang, tapi buat seterusnya."

Nia tersedu. Ia meraih tangan Ardi, menggenggamnya erat, seolah memastikan bahwa ini nyata. Bahwa Ardi benar-benar ada di sana, bahwa ia benar-benar telah menyiapkan semua ini.

"Lagipula, siapa yang cuek duluan." Lanjut Ardi sambil terkekeh.

"Mas bodoh," gumam Nia dengan senyum yang masih berlinang air mata.

Ardi masih terkekeh, menariknya ke dalam pelukan. "Iya, aku bodoh. Tapi aku bodoh yang sayang kamu."

Nia tertawa kecil di dada suaminya, membiarkan kehangatan itu menyelimuti mereka. Semua kecemasan yang sejak tadi mencengkram hatinya menguap begitu saja.

Hari ini seharusnya menjadi hari ketika Nia memberikan kejutan untuk Ardi. Tapi ternyata, kejutan itu kembali padanya—dengan cara yang tak pernah ia duga.

Mereka telah menunggu empat tahun untuk momen ini. Dan kini, mereka siap menghadapinya bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun