Murka Arya Penangsang
Kadipaten Jipang, sore hari. Langit barat memerah, seakan ikut menyulut api yang bergolak di dalam hati seorang bangsawan muda. Arya Penangsang duduk di balairungnya, wajahnya merah padam, sorot matanya tajam seperti bilah keris yang baru diasah.
Di hadapannya, seorang prajurit berlutut, menyampaikan kabar dari Demak.
"Gusti Adipati... Sultan Trenggana telah mengangkat Jaka Tingkir menjadi Senopati Muda."
Sekejap hening. Lalu terdengar dentuman keras. Arya Penangsang menghantam meja kayu di depannya hingga piala tembaga berisi tuak tumpah berceceran ke lantai.
"Apa? Anak desa itu? Seorang gembel dari Tingkir diangkat jadi senopati?" suaranya menggelegar.
Prajurit itu gemetar, menunduk dalam-dalam. "Inggih, Gusti... demikian titah Sultan."
Arya Penangsang berdiri, dadanya naik-turun menahan amarah. Ia melangkah mondar-mandir, jubah hitamnya berayun, kain batiknya terseret lantai.
"Tidak cukupkah Sultan Trenggana mempermalukan darah bangsawan? Tidak cukupkah fitnah keris yang dilemparkan kepadaku? Kini dia menobatkan anak piatu, bekas penggembala kerbau, jadi senopati?!"
Bayang-Bayang Keris
Arya Penangsang berhenti melangkah, menatap ke arah dinding balairung tempat sebilah keris tergantung. Keris itu berlukiskan naga pada ukirannya, hampir serupa dengan keris yang disebut-sebut ditemukan Jaka Tingkir di kapal perompak.
Ia mengepalkan tangan. "Itu pasti akal bulusnya. Keris itu dicuri, lalu dilemparkan ke laut untuk menjatuhkanku. Semua orang di paseban pasti berbisik namaku. Fitnah! Pengkhianatan!"
Suara Arya Penangsang bergetar, bukan hanya oleh amarah, melainkan juga rasa terhina. Bagi seorang adipati, nama baik adalah segalanya. Dan kini, namanya tercoreng di jantung istana.
Siasat dan Dendam
Seorang penasehat tua yang duduk di sudut balairung angkat bicara dengan hati-hati.
"Gusti Adipati, amarah memang layak. Namun jangan terburu-buru. Senopati muda itu hanya diberi kedudukan. Banyak bangsawan lain yang juga merasa terhina. Jika Gusti bersabar, badai akan datang sendiri ke pihak Demak."
Arya Penangsang menoleh, matanya menyala. "Bersabar? Setiap hari aku mendengar namaku jadi bahan bisik-bisik. Mereka menuduhku, dan aku harus diam?"
Penasehat itu menunduk. "Benar, Gusti. Namun senopati baru itu belum berakar. Banyak yang iri, banyak yang menunggu ia jatuh. Biarkan dia berdiri tinggi dulu... semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang merobohkannya."
Ucapan itu menenangkan Arya Penangsang sedikit. Ia duduk kembali, namun jemarinya masih mengetuk-ngetuk gagang tombak di samping kursi.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Jika demikian, kita biarkan dia naik. Tapi ingat... pohon yang tinggi bisa tumbang bukan hanya oleh angin. Bisa juga ditebang."
Malam di Jipang
Malam turun di Jipang. Arya Penangsang berdiri di serambi kadipaten, menatap bulan purnama yang menggantung pucat di langit. Angin malam membawa suara jangkrik dan bau tanah basah.
Di dalam hatinya, dendam sudah tertanam. Bagi Arya Penangsang, pengangkatan Jaka Tingkir sebagai senopati bukan sekadar keputusan politik. Itu penghinaan pribadi, tantangan terhadap darah bangsawan, dan luka yang menuntut balas.
Ia berbisik lirih, namun penuh api:
"Jaka Tingkir... Senopati Muda Demak... kita lihat sampai kapan kau bisa berdiri di atas kejayaan itu. Aku, Arya Penangsang, tidak akan tinggal diam."
Bulan pucat menjadi saksi, sementara bayangan dendam mulai menjelma badai yang kelak akan mengguncang Demak dari dalam.
Bersambung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI