Ia mengepalkan tangan. "Itu pasti akal bulusnya. Keris itu dicuri, lalu dilemparkan ke laut untuk menjatuhkanku. Semua orang di paseban pasti berbisik namaku. Fitnah! Pengkhianatan!"
Suara Arya Penangsang bergetar, bukan hanya oleh amarah, melainkan juga rasa terhina. Bagi seorang adipati, nama baik adalah segalanya. Dan kini, namanya tercoreng di jantung istana.
Siasat dan Dendam
Seorang penasehat tua yang duduk di sudut balairung angkat bicara dengan hati-hati.
"Gusti Adipati, amarah memang layak. Namun jangan terburu-buru. Senopati muda itu hanya diberi kedudukan. Banyak bangsawan lain yang juga merasa terhina. Jika Gusti bersabar, badai akan datang sendiri ke pihak Demak."
Arya Penangsang menoleh, matanya menyala. "Bersabar? Setiap hari aku mendengar namaku jadi bahan bisik-bisik. Mereka menuduhku, dan aku harus diam?"
Penasehat itu menunduk. "Benar, Gusti. Namun senopati baru itu belum berakar. Banyak yang iri, banyak yang menunggu ia jatuh. Biarkan dia berdiri tinggi dulu... semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang merobohkannya."
Ucapan itu menenangkan Arya Penangsang sedikit. Ia duduk kembali, namun jemarinya masih mengetuk-ngetuk gagang tombak di samping kursi.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Jika demikian, kita biarkan dia naik. Tapi ingat... pohon yang tinggi bisa tumbang bukan hanya oleh angin. Bisa juga ditebang."
Malam di Jipang
Malam turun di Jipang. Arya Penangsang berdiri di serambi kadipaten, menatap bulan purnama yang menggantung pucat di langit. Angin malam membawa suara jangkrik dan bau tanah basah.
Di dalam hatinya, dendam sudah tertanam. Bagi Arya Penangsang, pengangkatan Jaka Tingkir sebagai senopati bukan sekadar keputusan politik. Itu penghinaan pribadi, tantangan terhadap darah bangsawan, dan luka yang menuntut balas.