Perjalanan Jaka Tingkir Menuju Demak
Langit sore memerah di ufuk barat. Cahaya mentari yang kian meredup memantul di permukaan Bengawan Solo, menciptakan riak keemasan yang menenangkan. Di tepi sungai itulah Jaka Tingkir berdiri, tubuh tegapnya membisu, tatapan matanya jauh menembus aliran air yang membawa sisa-sisa daun ke hilir. Dalam benaknya berputar kembali cerita hidupnya---dari seorang anak bernama Mas Karebet, yatim piatu yang diasuh oleh Ki Ageng Tingkir, hingga kini ia bersiap menempuh perjalanan besar menuju Demak Bintoro, pusat pemerintahan Islam di tanah Jawa.
"Sudah tiba saatnya," gumamnya lirih. Kata-kata itu bukan sekadar pengingat, melainkan janji yang ia ikrarkan kepada dirinya sendiri. Perjalanan ini bukan hanya langkah kaki menuju sebuah kota, melainkan langkah menuju takdir. Di Demak, berdiri Kesultanan yang agung, dikelilingi oleh para wali, para adipati, dan para bangsawan. Di sanalah berkumpul orang-orang yang menentukan arah sejarah Jawa.
Demak bukan kota biasa. Ia adalah mercusuar Islam di Nusantara, kota yang menjadi pusat dakwah sekaligus kekuasaan. Masjid Agung dengan atap tumpang tiga, berdiri megah sebagai lambang persatuan dan keteguhan iman. Di balik kejayaan itu, Jaka Tingkir tahu, mengalir arus persaingan yang tak kasat mata. Perebutan pengaruh antara bangsawan, intrik antara keluarga kerajaan, dan ambisi para adipati. Semua akan ia hadapi.
Dengan langkah mantap, ia meninggalkan tepian Bengawan Solo. Perjalanan darat ke utara tidaklah mudah. Jalan setapak membelah hutan bambu, kadang melewati rawa yang dipenuhi nyamuk, kadang harus menyeberangi sungai kecil. Ia hanya membawa bekal sederhana---seikat nasi dalam daun pisang dan kendi air. Tubuhnya sudah terbiasa ditempa laku tapa dan pengembaraan, sehingga lapar dan lelah bukan penghalang.
Sesekali, di tengah perjalanan, ia bertemu penduduk desa yang menatap heran melihat pemuda gagah dengan sorot mata tajam dan sikap tenang itu. Ada yang mencoba menyapa, "Darimana, den?" tanya seorang petani tua yang sedang menuntun kerbau.
"Dari pedalaman," jawab Jaka Tingkir singkat sambil tersenyum.
"Menuju ke mana?"
"Ke Demak."
Petani itu mengangguk pelan, seolah mengerti bahwa Demak adalah tujuan para pencari ilmu, para pengabdi agama, sekaligus para perantau yang ingin mengubah nasib.
Hari berganti malam. Di bawah langit bertabur bintang, Jaka Tingkir beristirahat di bawah pohon beringin. Ia menyalakan api kecil untuk mengusir dingin dan hewan liar. Dalam hening, ia memejamkan mata, mengulang wirid yang diajarkan gurunya. Ia sadar, perjalanan ini bukan semata fisik, tetapi juga perjalanan batin. Setiap langkah mendekatkannya pada pusaran takdir yang kelak akan menguji keberanian dan kesetiaannya.
Ketika fajar pertama menyingsing, samar-samar tampak bayangan menara masjid di kejauhan. Atap tumpang tiga Masjid Agung Demak menjulang anggun di antara pepohonan kelapa. Hatinya bergetar. "Inilah gerbang peradaban baru," bisiknya. Ia mempercepat langkah, membiarkan debu jalan menempel di kain lurik yang dikenakannya.
Demak tampak ramai. Para pedagang memenuhi pasar, membawa rempah, kain, dan hasil bumi. Para santri bersorban putih keluar masuk serambi masjid. Aroma wangi dupa bercampur dengan bau kayu jati yang sedang dipahat. Semua menyambut pandangannya dengan rasa takjub. Namun Jaka Tingkir tidak datang untuk berdagang atau mencari popularitas. Ia datang untuk mengabdi.
Ia melangkah menuju alun-alun keraton, tempat Sultan Trenggana bersemayam. Namun, sebelum ia sempat menghadap, seorang pengawal menghentikannya. "Siapa kau, anak muda?" tanyanya dengan nada tegas.
"Namaku Jaka Tingkir," jawabnya mantap. "Aku datang untuk mengabdi pada Demak."