Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Kisah Joko Tingkir, Bagian 1

24 Agustus 2025   18:05 Diperbarui: 25 Agustus 2025   05:55 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Babad Tanah Jawi: skrinsyut


"Mas Karebet, Bayi yang Diramal Jadi Raja"

Langit malam di tanah Jawa kala itu sedang lengang, tetapi bintang-bintang bersinar seperti pesta. Para tetua desa yang duduk di pendapa berbisik pelan, seolah membaca pertanda. Malam ini lahir seorang bayi dari keluarga bangsawan Pengging. Anak lelaki itu kelak dikenal dengan nama Mas Karebet, seorang bocah yang hidupnya akan melintasi garis takdir besar. Dalam catatan Babad Tanah Jawi, kelahirannya bukan peristiwa biasa. Beberapa saksi bersumpah bahwa cahaya rembulan yang redup seakan bertambah terang, bahkan terdengar suara gamelan samar dari kejauhan. Bagi masyarakat Jawa abad ke-15, itu bukan kebetulan---itu pralambang, tanda bahwa bayi ini akan menempuh jalan agung, entah jadi pemimpin atau pembawa bencana.

Mas Karebet lahir dari pasangan Ki Ageng Pengging, seorang bangsawan yang memimpin wilayah Pengging, dan Nyi Ratu Mandoko. Keduanya keturunan darah biru Majapahit, yang kala itu sudah berada di ambang keruntuhan. Majapahit, kerajaan besar yang pernah menguasai Nusantara, mulai kehilangan pengaruh. Di pesisir utara, Kesultanan Demak bangkit sebagai kekuatan baru, didukung para wali dan saudagar Islam. Inilah masa transisi, di mana Jawa bukan hanya bergejolak soal politik, tetapi juga soal keyakinan dan cara hidup.

Ki Ageng Pengging dikenal sebagai tokoh karismatik yang memegang teguh nilai lama, meskipun ia tak menolak pengaruh Islam. Ia bersahabat dengan para wali, termasuk Sunan Kalijaga. Namun, kedekatannya dengan nilai-nilai Majapahit membuatnya dicurigai sebagai ancaman oleh Kesultanan Demak. Desas-desus pemberontakan pun berembus, meskipun sebagian sejarahwan menilai tuduhan itu lebih politis ketimbang faktual. Pada akhirnya, Ki Ageng Pengging dihukum mati oleh Sunan Kudus atas perintah Sultan Demak. Eksekusi itu meninggalkan luka mendalam di hati rakyat Pengging, tetapi bagi Mas Karbt, itu adalah awal perjalanan hidup yang penuh ujian.
Sebelum tragedi itu, masa kecil Mas Karebet berjalan seperti anak-anak kebanyakan, meski sejak dini terlihat berbeda. Ia dikenal lincah, pemberani, dan kadang membuat orang dewasa geleng-geleng kepala.

 Ada cerita yang selalu diulang oleh para tetua: ketika usianya baru lima tahun, seekor ular piton besar masuk ke halaman rumah. Alih-alih lari ketakutan, Mas Karebet mendekat, menatap mata ular itu, dan dengan tenang menepuk-nepuk tubuhnya. Ular itu menurut, melingkar jinak, lalu merayap kembali ke semak. Orang-orang kampung yang menyaksikan peristiwa itu menatap dengan campuran kagum dan ngeri. "Anak ini bukan sembarangan," gumam mereka.

Namun, kebahagiaan masa kecilnya runtuh ketika ayahnya dieksekusi. Itu bukan sekadar kehilangan seorang ayah, melainkan juga identitas dan rasa aman. Ibunya, Nyi Ratu Mandoko, jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Mas Karbt kecil menjadi yatim piatu di usia belia. Dalam kondisi itu, muncullah sosok yang akan mengubah jalan hidupnya: Nyai Ageng Tingkir, janda dari Ki Ageng Tingkir, sahabat seperguruan ayahnya. Dengan hati tulus, ia mengasuh bocah itu dan membawanya ke Tingkir, wilayah yang kelak namanya melekat erat dengan dirinya. Dari sinilah lahir sebutan baru: Jaka Tingkir.

Nyai Ageng Tingkir bukan sekadar pengasuh. Ia seorang perempuan bijak yang memahami nilai-nilai luhur Jawa, sekaligus dekat dengan ajaran Islam yang berkembang pesat saat itu. Dari wanita inilah Jaka Tingkir belajar tentang laku hidup. "Nak," kata Nyai Ageng suatu sore, "urip iku mung mampir ngombe. Kaya wong lelungan, ngaso sebentar, banjur nerusake dalan. Sing penting, nek wani ojo semena-mena, nek kuwat ojo nganiaya." Hidup itu sementara, kata-kata itu menancap di hati bocah kecil itu, menjadi filosofi yang kelak memandu langkahnya.

Hari-harinya di Tingkir diisi dengan banyak hal. Ia belajar tata krama, ilmu kanuragan, dan agama. Nyai Ageng Tingkir mengajarinya sembahyang, tetapi juga mengenalkan filosofi Jawa yang penuh simbol. Ketika usianya remaja, ia kerap pergi ke hutan untuk bertapa, mengikuti petunjuk dalam mimpi. Konon, suatu malam ia bermimpi bertemu leluhurnya yang berpesan: "Kowe bakal dadi raja. Nanging elinga, raja sing adil, ora ngoyak kamulyan pribadi." Engkau akan jadi raja, tapi jangan mengejar kejayaan untuk dirimu sendiri. Mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Di masa Jawa kuno, mimpi dipercaya sebagai wahyu kecil yang harus dihayati.

Selain laku spiritual, Jaka Tingkir juga berlatih ilmu bela diri. Ia belajar pencak silat, memanah, dan olah senjata. Namun, gurunya selalu menekankan satu hal: kekuatan sejati bukan di otot, melainkan di budi pekerti. "Otot iku iso rapuh, nanging pekerti sing luhur bakal langgeng," kata salah satu guru yang juga sahabat almarhum ayahnya. Kalimat itu membekas, membuatnya tumbuh bukan sekadar jagoan, tetapi juga sosok yang mampu mengendalikan diri.
Dalam catatan Babad Tanah Jawi, Jaka Tingkir muda juga dikenal suka menolong dan punya daya kepemimpinan alami. Teman-temannya segan sekaligus hormat. Jika ada perselisihan antar-anak desa, ia jadi penengah. Jika ada masalah, ia mencari solusi, bukan memicu konflik. Semua itu membuat banyak orang percaya bahwa bocah ini ditakdirkan untuk hal besar. Dan memang, sejarah membuktikan dugaan mereka tidak keliru.

Namun, sebelum mencapai takdir agungnya, ia harus melewati ujian lain. Suatu hari, setelah cukup dewasa, Jaka Tingkir memutuskan merantau. Ia ingin mengabdi kepada Kesultanan Demak, kerajaan besar yang kala itu dipimpin Sultan Trenggana. Niat itu bukan sekadar ambisi pribadi, melainkan juga panggilan jiwa untuk mengabdi pada negara dan agamanya. Tapi bagaimana mungkin seorang anak yatim, tanpa kekayaan atau pengaruh, bisa menembus lingkaran istana? Di sinilah kecerdikan dan kesaktian Jaka Tingkir diuji.
Perjalanan menuju Demak tidak mudah. Ia harus menempuh jalan panjang, melintasi hutan, menyeberangi sungai, dan menghindari bahaya perampok. Dalam salah satu perjalanan, ia singgah di rumah Kyai Gandamustaka, saudara muda Nyai Ageng Tingkir. Kyai itu bukan sekadar kerabat, tetapi juga guru spiritual. Dari Kyai Gandamustaka, ia belajar doa-doa, ilmu kepemimpinan, dan strategi. Kelak, semua itu menjadi bekal saat ia mengabdi di istana Demak.
Dalam pengembaraan ini pula muncul kisah-kisah yang melegenda. Salah satunya adalah peristiwa ketika ia menaklukkan kerbau gila yang mengamuk di alun-alun Demak. Kerbau itu merusak apa saja yang dilewati, membuat rakyat panik. Banyak pendekar mencoba menaklukkannya, tapi gagal. Jaka Tingkir maju dengan tenang, hanya berbekal doa dan keberanian. Ia berhasil menjinakkan kerbau itu, membuat Sultan Trenggana terkesan. Dari peristiwa itulah namanya mulai harum, membuka jalan menuju jabatan penting di Kesultanan Demak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun