Ada pemandangan yang selalu sama di hampir setiap hajatan. Piring-piring kotor tergeletak di bawah kursi, di atasnya berserakan nasi, potongan daging, sambal yang belum disentuh, dan kerupuk yang sudah kehilangan renyahnya.
Awalnya indah---warna-warni lauk berpadu di piring, tumpukannya mengundang decak kagum. Namun akhir ceritanya tragis: berakhir di tempat sampah, tak sempat menyentuh perut manusia, apalagi memberi arti.
Prasmanan di hajatan seolah jadi ajang lomba "seberapa banyak yang bisa kau bawa", bukan "seberapa cukup yang kau butuh". Piring menjadi panggung ambisi kecil, di mana gengsi dan rasa takut rugi berdansa di antara aroma sate dan gulai. Ada yang bisik-bisik, "mumpung gratis, ambil aja banyak-banyak." Seolah dunia ini kekurangan kesempatan makan, padahal yang kurang itu justru kesadaran.
Di pojok ruangan, ada ibu-ibu yang menatap piringnya bingung, separuh isi belum tersentuh tapi sudah kenyang. Anak-anak berlari sambil menjatuhkan potongan ayam yang akhirnya diinjak-injak. Dan kita tertawa, seakan ini hal biasa. Tapi benarkah biasa? Atau kita sedang melestarikan kebiasaan buruk yang menggerogoti nilai adab, agama, dan empati?
Agama Bicara: Jangan Israf
Dalam Al-Qur'an, ada peringatan tegas: "Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf: 31). Bukan hanya soal porsi makanan, tapi sikap hidup. Israf---berlebihan---adalah akar dari banyak masalah, dari perut hingga bumi.
Rasulullah SAW pun mengajarkan, "Cukuplah bagi manusia beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika harus lebih, maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk napas." Prinsip sederhana ini, kalau diterapkan di prasmanan, mungkin akan menyelamatkan ton makanan yang terbuang.
Ironisnya, kita hidup di zaman ketika sebagian orang membuang sisa gulai, sementara di sudut dunia lain, anak-anak Palestina menahan lapar di antara puing-puing. Dunia ini bukan kekurangan makanan, tapi kekurangan adil. Dan ketika kita membuang makanan, kita sedang menambah ketidakadilan itu.
Dari Mana Asal Prasmanan?
Mari kita mundur sejenak ke abad ke-18. Prasmanan yang kini jadi budaya hajatan Indonesia sejatinya berasal dari Eropa, tepatnya Swedia. Namanya smorgasbord---meja besar penuh hidangan, tamu dipersilakan mengambil sesuka hati.