Lasem semakin siang. Tapi ternyata belum cukup siang untuk makan siang. Selepas mampir ke Rumah Merah di Karangturi, kami hanya bergeser sedikit ke arah jalan raya Daendels---atau Pantura---yang pagi tadi sudah sempat saya lewati ketika bersepeda sendiri.
Tujuan kami adalah sebuah rumah tua yang juga pagi tadi sudah saya foto. tetapi tadi pagi saya belum tahu kalau ini adalah pabrik tegel.
Dari luar, sekilas rumah tua ini tampak sedikit kusam dan kurang terawat. Di pagar jeruji yang berwarna putih, tergantung sebuah papan kecil bertuliskan: "DILARANG JUALAN DI AREA SINI", sementara di sisi kanan terpasang papan nama praktik dokter gigi---drg. Katrin KW.
Fasad rumahnya dihiasi ornamen plesteran yang rumit dan simetris---sulur dan bunga yang ditatah rapi di atas tembok depan. Seperti renda di ujung kebaya nenek-nenek. Pilar-pilar besar berdiri menyangga teras depan, bergalur ala Tuscan, dengan nada neoklasik yang dibawa oleh zaman kolonial.
Gaya tiang seperti ini biasa ada di rumah-rumah elite pesisir, rumah saudagar atau bangsawan lokal yang pernah punya peran penting dalam ekonomi dan budaya zaman kolonial.
Mas Agik mengajak kami masuk. "Inilah Pabrik Tegel LZ," kata Mas Agik, sambil tersenyum.
Ia memandu kami melewati jalanan kecil di sisi rumah, sampai tiba di sebuah halaman belakang yang luas dan rindang. Pepohonan besar menaungi sebuah bangku batu melingkar di tengah halaman. Teduh, sejuk, dan seperti terlepas dari lalu lintas Pantura yang tak pernah benar-benar tidur.
Siang itu suasana rumah cukup ramai. Rupanya ada acara kumpul-kumpul komunitas. Mereka duduk membentuk kelompok kecil di beberapa meja, menikmati makanan dan minuman, tertawa pelan.
Sejenak saya sempat menduga: apakah kami akan diajak bergabung?
Ternyata tidak. Menurut Mas Agik, kebetulan saja hari itu ada acara di rumah ini. Tak ada hubungannya dengan kunjungan kami. Tapi keberadaan mereka, justru menghidupkan suasana rumah---seperti melihat rumah tua yang masih bernafas, bukan sekadar peninggalan yang sunyi senyap.
Tak lama kemudian, seorang perempuan tua menghampiri. Mungkin penjaga rumah. Ia tersenyum ramah dan mempersilakan kami masuk.
Suasana berubah lebih tenang ketika kaki kami melangkah ke dalam rumah utama.
Rumah yang Diam tapi Bercerita
Bangunan ini dulunya adalah milik seorang pengusaha Tionghoa pembuat tegel. Namanya Li Thiam Kie. Salah satu tokoh penting dalam sejarah industri tegel Lasem. Rumah ini, yang kini dikenal sebagai Rumah Tegel LZ, dahulu merupakan bagian dari kompleks pabrik tegel miliknya.
Kini, rumah itu tidak lagi menjadi hunian tetap. Keturunannya sesekali datang untuk menjenguk, menjaga, atau sekadar menghirup kembali aroma masa silam.
Kami duduk di ruang tengah. Ada meja marmer besar yang dingin, dan beberapa kursi yang diletakkan dengan jarak teratur. Tapi yang paling menarik adalah sebuah kursi goyang tua dengan lengan melengkung dari kayu jati. Model kursi goyang ini disebut model gitana. Gaya kolonial Spanyol yang dulu populer di kalangan elite. Kata gitana sendiri dalam bahasa Spanyol bermakna gipsi perempuan. Saya tak kuasa menahan diri untuk mencobanya.
Walau telah berusia puluhan tahun, kursi iru masih kokoh, kuat dan masih mantap bergoyang, seolah waktu tak menyentuhnya. Dan di situlah saya duduk, menikmati momen dan nuansa masa lampau.
Pilar-Pilar Waktu dan Gaya Arsitektur
Arsitektur rumah ini khas: rumah utama beratap tinggi, dengan pilar-pilar bergaya Indies-Chinese yang tegak namun ramping, menyokong teras depan yang teduh. Di banyak bagian, terlihat pengaruh perpaduan Belanda, Tionghoa, dan Jawa. Lantai tegel motif tua masih mengisi sebagian besar ruangan. Jendela-jendela besar dengan kusen kayu lawas membuka pandangan ke halaman dalam yang sejuk. Sebagian dihiasi aca patri yang cantik elok.
Rumah tengah dan ruang tamu dipenuhi furnitur kuno bergaya kolonial: lemari jati berukir, kursi anyaman rotan, dan foto-foto hitam putih. Potret tua di dinding ini memberi kesan kehadiran leluhur---seolah mereka masih mengamati, ikut menjaga ketenangan rumah. Salah satunya adalah foto hitam putih sang pemilik rumah sedang memakai topi.
Ada Kursi dan meja kayu berukir, dilapisi beludru merah---kemungkinan peninggalan era Belanda atau Tionghoa awal abad ke-20.
Di sudut ruangan ada lemari dengan lukisan perempuan berkebaya dan aquarium tua di belakang. Di sebelahnya, terdapat rak piring dan kabinet ukiran gaya Art Nouveau dan peranakan Tionghoa. Lukisan dan kaligrafi Hanzi (mungkin bertuliskan harapan atau nama keluarga) menghiasi dinding.
Salah satu yang menarik adalah poster bergambar burung merak atau bebek Mandarin, simbol keberuntungan dan kesetiaan dalam budaya Tionghoa.
Puas di ruang tengah, Mas Agik mengajak kami ke ruang makan yang sangat unik. Karena mirip sangkar yang tertutup pagar kawat nyamuk. Apakah agar debu atau lalat tidak bisa masuk?
Sangkar kawat antik ini membatasi area dapur dengan ruang makan. Konon, pagar seperti ini, biasanya hanya dijumpai di rumah-rumah keluarga pengusaha dan aristokrat tempo dulu.
Galeri Tegel: Dari Motif Kereta Api hingga Ukiran Waktu
Kami lalu diajak beranda belakang rumah. Ada sebuah galeri yang memajang contoh-contoh tegel yang pernah diproduksi pabrik ini. Salah satunya adalah tegel bermotif kereta api, karya lama yang diyakini berasal dari masa kejayaan Lie Thiam Kie.
Menurut mas Agik, Tegel motif kereta api ini dulu dipesan khusus oleh Nitisemito untuk rumah kembar di Kudus. Namun kami tidak bisa mengkonfirmasi informasi ini karena kami tidak bisa masuk ke rumah kembar warisan Crazy Rich Kudus.
Motif kereta api di tegel bukan hanya hiasan. Ia adalah simbol zaman: tentang modernisasi, tentang jalur-jalur perdagangan, dan tentang mimpi kolektif masyarakat Tionghoa di pesisir Jawa akan masa depan yang lebih cepat, lebih lancar, dan lebih terang.
Sebagian tegel yang dipajang memiliki motif bunga berpola simetris, menyerupai sulur dan kelopak mekar dengan warna yang mulai pudar namun tetap anggun.
Tegel-Tegel itu memiliki komposisi warna klasik: merah marun, hijau botol, abu-abu kebiruan, dan krem tua---semuanya hasil pewarnaan mineral alami zaman dahulu.
Nama "Lie Thiam Kwie" tertera di atas marmer kecil---ia adalah pendiri pabrik tegel ini, aktif sejak 1910 dan menjadi tokoh penting dalam industri manufaktur lokal di Lasem.
Tegel-tegel lain di ruangan ini menampilkan motif bunga, bintang, hingga burung---semuanya dibuat dengan teknik manual dan cetakan tua yang kini tak lagi dipakai.
Workshop Sunyi dan Papan Absen 1970-an
Perjalanan berlanjut ke bagian belakang: area workshop pabrik. Ruangannya sangat luas, tapi tampak sepi dan tidak terawat. Atapnya dari genteng yang sebagian tampak bocor. Tampak langit langit sehingga terlihat kerangkanya.
Menurut mas Agik pabrik ini masih beroperasi terbatas membuat paving block.
Namun siang itu sunyi. Tidak ada pekerja, tidak terdengar suara cetak-mencetak, tidak tercium bau semen atau pewarna. "Dulu di sini ramai sekali," kata Mas Agik. "Sekarang tinggal sisa-sisa saja."
Mesin dan alat pres serta cetakan-cetakan tua masih tertinggal di sana, berdebu dan berkarat. Sebagian buatan Jerman dari Leipzig, karena itu pabrik ini disebut LZ.
Sebuah mesin tua bermerek "Lichtwerke & Shne -- Wienersdorf, Austria" menunjukkan teknologi bahwa kuno Eropa masih dipakai sampai sekarang. Mesin ini digunakan untuk menekan adonan tegel ke dalam cetakan.
Berada di ruangan atau workshop tua ini terasa seperti berada di sebuah museum tak resmi: barang-barang ditumpuk acak, tapi masing-masing punya cerita jika kita mau mendengarkan.
Di dinding, kami melihat satu hal yang mencolok: papan absen dari tahun 1970-an. Kayunya tua, angka-angkanya sudah pudar, tapi nama-nama pekerja masih bisa dibaca samar. Di sinilah, mungkin, mereka mencatat kehadiran para buruh harian: satu demi satu menandai hari kerja yang terlewati.
Nama-nama seperti Kandar, Fathuri, Sukemie, Sakimin, Sariaji, Sarih, Eksan, Lasiaih ditulis di papan tulis, menunjukkan sistem kerja harian atau shift. Ada kolom bertuliskan "Semen", "Gres", dan "Onoda" yang tampaknya menunjukkan jenis bahan campuran atau asal bahan baku yang dipakai
Saya terdiam sejenak di depan papan itu. Papan absen yang sederhana itu seperti pintu kecil ke masa lalu. Bayangan para pekerja, mungkin dari berbagai latar, berdiri mengantri untuk mencatat jam masuk mereka. Tak ada yang monumental, tapi justru di sanalah nilai sejarahnya terasa: keseharian yang dilestarikan diam-diam.
Masa Pendudukan dan Jejak Jepang
Mas Agik sempat menyebut bahwa pada masa pendudukan Jepang, pabrik tegel ini tetap sempat tidak berproduksi---dan pemiliknya sempat mengungsi ke Surabaya.
Jejak Jepang mungkin tidak langsung tampak dalam arsitektur atau dokumen, tapi sejarah Lasem sebagai kota pelabuhan dan industri kecil di masa pendudukan tidak bisa dilepaskan dari cerita-cerita seperti ini: tempat kecil yang menjadi saksi bisu perubahan besar.
Kembali ke Halaman: Teduh dan Tidak Terburu-buru
Kami menutup kunjungan dengan kembali ke halaman belakang, duduk dan berfoto bersama di bangku batu melingkar, di bawah pohon yang rindang. Rasanya seperti berada di luar waktu: suara mobil di Pantura tidak terdengar lagi, sinar matahari hanya menyentuh dedaunan yang bergoyang ringan, dan obrolan kami melayang-layang tanpa arah yang jelas. Tapi justru itulah kenikmatan dari kunjungan seperti ini.
Epilog: Rumah yang Menolak Mati
Rumah Tegel Lasem bukan hanya rumah. Ia adalah sisa dari suatu cara hidup yang dulu jamak, kini nyaris punah: rumah yang menjadi pusat industri, keluarga, dan komunitas. Rumah yang dibuat untuk tahan lama. Rumah yang tidak diburu waktu, tapi justru melambatkan waktu bagi siapa pun yang berkunjung.
Dan hari itu, bersama Mas Agik dan rombongan kecil kami, rumah itu membuka dirinya perlahan. Tak semua dijelaskan, tak semua dijawab. Tapi justru karena itulah, kunjungan ini terasa bermakna.
Kami tidak datang sebagai peneliti atau jurnalis. Kami hanya peziarah, yang mampir untuk menyentuh sebentar apa yang dulu disebut sebagai kemakmuran Lasem---bukan dalam bentuk uang atau emas, tapi dalam bentuk tegel yang dicetak satu per satu dengan tangan.
Dan bangunan tua itu masih berdiri. Meskipun sebagian tak terawat, meskipun suara mesin telah lama padam. Rumah itu masih ada. Masih bernafas. Dan selama ada yang datang dan duduk, seperti kami hari itu, ia belum benar-benar ditinggalkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI