Arsitektur rumah ini khas: rumah utama beratap tinggi, dengan pilar-pilar bergaya Indies-Chinese yang tegak namun ramping, menyokong teras depan yang teduh. Di banyak bagian, terlihat pengaruh perpaduan Belanda, Tionghoa, dan Jawa. Lantai tegel motif tua masih mengisi sebagian besar ruangan. Jendela-jendela besar dengan kusen kayu lawas membuka pandangan ke halaman dalam yang sejuk. Sebagian dihiasi aca patri yang cantik elok.
Rumah tengah dan ruang tamu dipenuhi furnitur kuno bergaya kolonial: lemari jati berukir, kursi anyaman rotan, dan foto-foto hitam putih. Potret tua di dinding ini memberi kesan kehadiran leluhur---seolah mereka masih mengamati, ikut menjaga ketenangan rumah. Salah satunya adalah foto hitam putih sang pemilik rumah sedang memakai topi.
Ada Kursi dan meja kayu berukir, dilapisi beludru merah---kemungkinan peninggalan era Belanda atau Tionghoa awal abad ke-20.
Di sudut ruangan ada lemari dengan lukisan perempuan berkebaya dan aquarium tua di belakang. Di sebelahnya, terdapat rak piring dan kabinet ukiran gaya Art Nouveau dan peranakan Tionghoa. Lukisan dan kaligrafi Hanzi (mungkin bertuliskan harapan atau nama keluarga) menghiasi dinding.
Salah satu yang menarik adalah poster bergambar burung merak atau bebek Mandarin, simbol keberuntungan dan kesetiaan dalam budaya Tionghoa.
Puas di ruang tengah, Mas Agik mengajak kami ke ruang makan yang sangat unik. Karena mirip sangkar yang tertutup pagar kawat nyamuk. Apakah agar debu atau lalat tidak bisa masuk?
Sangkar kawat antik ini membatasi area dapur dengan ruang makan. Konon, pagar seperti ini, biasanya hanya dijumpai di rumah-rumah keluarga pengusaha dan aristokrat tempo dulu.
Galeri Tegel: Dari Motif Kereta Api hingga Ukiran Waktu
Kami lalu diajak beranda belakang rumah. Ada sebuah galeri yang memajang contoh-contoh tegel yang pernah diproduksi pabrik ini. Salah satunya adalah tegel bermotif kereta api, karya lama yang diyakini berasal dari masa kejayaan Lie Thiam Kie.