Mesin dan alat pres serta cetakan-cetakan tua masih tertinggal di sana, berdebu dan berkarat. Sebagian buatan Jerman dari Leipzig, karena itu pabrik ini disebut LZ.
Sebuah mesin tua bermerek "Lichtwerke & Shne -- Wienersdorf, Austria" menunjukkan teknologi bahwa kuno Eropa masih dipakai sampai sekarang. Mesin ini digunakan untuk menekan adonan tegel ke dalam cetakan.
Berada di ruangan atau workshop tua ini terasa seperti berada di sebuah museum tak resmi: barang-barang ditumpuk acak, tapi masing-masing punya cerita jika kita mau mendengarkan.
Di dinding, kami melihat satu hal yang mencolok: papan absen dari tahun 1970-an. Kayunya tua, angka-angkanya sudah pudar, tapi nama-nama pekerja masih bisa dibaca samar. Di sinilah, mungkin, mereka mencatat kehadiran para buruh harian: satu demi satu menandai hari kerja yang terlewati.
Nama-nama seperti Kandar, Fathuri, Sukemie, Sakimin, Sariaji, Sarih, Eksan, Lasiaih ditulis di papan tulis, menunjukkan sistem kerja harian atau shift. Ada kolom bertuliskan "Semen", "Gres", dan "Onoda" yang tampaknya menunjukkan jenis bahan campuran atau asal bahan baku yang dipakai
Saya terdiam sejenak di depan papan itu. Papan absen yang sederhana itu seperti pintu kecil ke masa lalu. Bayangan para pekerja, mungkin dari berbagai latar, berdiri mengantri untuk mencatat jam masuk mereka. Tak ada yang monumental, tapi justru di sanalah nilai sejarahnya terasa: keseharian yang dilestarikan diam-diam.
Masa Pendudukan dan Jejak Jepang
Mas Agik sempat menyebut bahwa pada masa pendudukan Jepang, pabrik tegel ini tetap sempat tidak berproduksi---dan pemiliknya sempat mengungsi ke Surabaya.
Jejak Jepang mungkin tidak langsung tampak dalam arsitektur atau dokumen, tapi sejarah Lasem sebagai kota pelabuhan dan industri kecil di masa pendudukan tidak bisa dilepaskan dari cerita-cerita seperti ini: tempat kecil yang menjadi saksi bisu perubahan besar.
Kembali ke Halaman: Teduh dan Tidak Terburu-buru