Kami menutup kunjungan dengan kembali ke halaman belakang, duduk dan berfoto bersama di bangku batu melingkar, di bawah pohon yang rindang. Rasanya seperti berada di luar waktu: suara mobil di Pantura tidak terdengar lagi, sinar matahari hanya menyentuh dedaunan yang bergoyang ringan, dan obrolan kami melayang-layang tanpa arah yang jelas. Tapi justru itulah kenikmatan dari kunjungan seperti ini.
Epilog: Rumah yang Menolak Mati
Rumah Tegel Lasem bukan hanya rumah. Ia adalah sisa dari suatu cara hidup yang dulu jamak, kini nyaris punah: rumah yang menjadi pusat industri, keluarga, dan komunitas. Rumah yang dibuat untuk tahan lama. Rumah yang tidak diburu waktu, tapi justru melambatkan waktu bagi siapa pun yang berkunjung.
Dan hari itu, bersama Mas Agik dan rombongan kecil kami, rumah itu membuka dirinya perlahan. Tak semua dijelaskan, tak semua dijawab. Tapi justru karena itulah, kunjungan ini terasa bermakna.
Kami tidak datang sebagai peneliti atau jurnalis. Kami hanya peziarah, yang mampir untuk menyentuh sebentar apa yang dulu disebut sebagai kemakmuran Lasem---bukan dalam bentuk uang atau emas, tapi dalam bentuk tegel yang dicetak satu per satu dengan tangan.
Dan bangunan tua itu masih berdiri. Meskipun sebagian tak terawat, meskipun suara mesin telah lama padam. Rumah itu masih ada. Masih bernafas. Dan selama ada yang datang dan duduk, seperti kami hari itu, ia belum benar-benar ditinggalkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI