Rindu ini tak pernah memilih jalan,
ia mengetuk dadaku seperti angin dini hari,
dinginnya sama dengan sepi yang kau tahu.
Kau berkata:
kepergian ayah tidak mewarisimu beban,
melainkan kekuatan yang menegakkan langkahmu.
Dan aku, diam-diam mengaku pada malam,
bahwa sedikit daya yang kumiliki
pernah tumbuh dari hadirnya dirimu.
Ada rahasia yang tak pernah sempat tiba padamu,
sebab aku meragu,
jika kubuka, engkau justru menjauh.
Maka kubiarkan ia mengendap,
menjadi nyeri yang kurawat dalam sunyi.
Ingatkah engkau,
ketika aku nyaris kehilangan arah,
saat suaraku dirampas tangan ibuku sendiri?
Dengan teduh kau berujar:
"tinggalkan saja, tak perlu peduli."
Ah, andai kau tahu,
yang harus kutinggalkan
adalah rahim yang melahirkanku.
Kini aku mengerti,
jarak adalah cara luka menemukan jeda.
Meski semakin perih, ia mengajariku sabar.
Seperti hujan yang jatuh berulang kali
agar bumi kembali hidup.
Dan meski jarak membentangkan sunyi,
aku bersyukur mengenalmu.
Karenamu, aku tidak menyerah pada sore itu.
Karenamu, aku masih berani menyapa pagi.
Karenamu, aku bertahan sampai detik ini.
Maka bila esok kita berjumpa,
izinkan aku
menjadi teman terbaikmu--
dengan seluruh ketulusan
yang tak pernah selesai kusembunyikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI