Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... @paji_hajju

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Aku, Kamu, dan Salome Goreng Kala Itu

16 September 2025   14:27 Diperbarui: 16 September 2025   22:15 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku, Kamu, dan Salome Goreng Kala Itu

Di sudut Kota Kupang, saat senja menenun langit kelabu, kita pernah berbagi naung di warung kecil, menyaksikan salome goreng mendesis di wajan usang. Aroma rempah meresap, bercampur harum bunga sepe yang mekar di tepi pagar, menyapa pipi yang masih suci, belum ternoda oleh jejak duka, tempat di mana senyum murni dan tawa polos masih berkuasa. Matamu berkilau, laksana bintang yang terlupa di ufuk siang, dan aku mencuri momen itu, menyimpannya dalam laci rahasia hati. Gerimis sore turun perlahan, membasahi meja kayu, namun waktu menjelma lembut, bagai kain sutra yang menyelimuti mimpi kita, seolah abadi namun menyisakan banyak tekanan dalam dada yang tak pernah benar-benar berhenti.

Malam menjelang, di tengah asap dan deru kendaraan yang sayup, kau berbisik tentang ikrar. Suaramu merdu, seperti angin yang membelai dedaunan di akhir kemarau, menjanjikan keabadian. Kita berbagi piring sederhana, Salome Goreng yang renyah, ditemani secangkir teh yang uapnya menari di udara. "Di bumi yang riuh ini, rumahku hanya satu, diam dalam pelukanmu. Karena aku tahu jika kamu hilang, aku tak lagi punya tempat pulang." Katamu, dan aku memeluk kata-kata itu, seakan bisa menahan gemuruh waktu. Cahaya lampu gantung di warung membingkai wajahmu, menciptakan kehangatan yang kini hanya bayang, tanpa kusadari, ikrar yang kokoh bisa tercerai, bagaikan retakan pada cermin yang perlahan memisahkan apa yang pernah utuh.

Hari-hari berlalu, musim datang silih berganti, menyeret kita ke persimpangan tak terduga. Warung di Kota Karang masih berdiri, tapi kau telah pergi, hanya meninggalkan jejak samar di ingatan yang liar. Aku kembali, sendirian, menatap piring kosong, mencoba menangkap aroma bunga sepe yang dulu kau sukai. Salome Goreng kini hambar, bagai rindu yang menggerus tulang, pasrah tanpa kata. Aku mencari bayangmu di sudut-sudut, di bawah pohon flamboyan yang daunnya bergoyang lirih, namun hanya angin malam yang menjawab, dingin, bagai pisau yang tak berperasaan. Dalam benakku, kita akan bersama selalu. Kenyataannya itu semua hanya halu, aku dan kamu tidak berhasil menjadi kita. Sekarang kita saling pergi tanpa berpamitan, tak lupa juga masih meninggalkan rasa dan luka yang berkepanjangan.

Rindu ini laksana puisi yang terhenti di tengah bait, baris-barisnya patah, namun bergema di relung jiwa. Aku mengenang tatapmu, penuh cinta yang tak terucap, namun kurasa dalam setiap debar yang tak terbilang. Warung kecil itu jadi kuil kenangan, tempat aku bersujud pada masa lalu, memohon waktu kembali ke sore penuh gerimis, saat kita berbagi kebersamaan dengan sangat serius. Tapi kau kini hanya fatamorgana, hidup dalam mimpi yang kugenggam saat menutup mata, membayangkanmu masih di Kota Kupang, menikmati renyahnya gorengan yang kau suka. Tetaplah berbahagia, biar aku bisa tetap mengenangmu sebagai luka paling bijaksana.

Kehilanganmu bagai lautan yang menelan perahu rapuhku, meninggalkanku terombang-ambing di gelombang sepi. Salome Goreng yang dulu kita nikmati kini hanya serpihan kisah, pecahan dari kebahagiaan yang pernah utuh. Aku belajar, cinta tak selalu soal memiliki, melainkan merelakan dengan jiwa lapang. Juga bahwa cinta tak selalu berarti tertawa bersama, namun juga perihal menangis sendiri-sendiri. Namun, di setiap suap yang kucoba, ada secercah dirimu, seolah kau masih di hadapanku, tersenyum di balik kabut uap dan aroma rempah, di bawah cahaya lampu yang dulu melukis wajahmu. Tapi, sebatas itu, sebatas kenangan yang ketika mengingatnya justru membuat aku ingin melupakan semuanya.

Kini, aku hanya melintas di depan warung itu, tak berani melangkah masuk. Aku takut bertemu bayang masa lalu, takut rindu ini membakar habis sisa hatiku. Salome Goreng masih disajikan, namun bagiku, ia telah kehilangan nyawa, nyawa yang dulu kita hembuskan bersama di tengah harum bunga sepe dan gerimis petang yang mengundang. Aku hanya bisa berbisik pada angin yang membawa aroma Kota Kasih, berharap kau mendengar, bahwa di sudut jiwa, ikrarmu masih kugenggam, meski kau telah melupakannya, dan aku masih mencintaimu, meski hanya pada kenangan yang merapuh di ujung waktu. Aku masih mencintaimu, tak henti-henti melangitkan doa, sekalipun tubuhku memeluk hampa.

Paji Hajju

Baca juga: Kamu, Buku, dan Bir

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun