"Kau yang datang mencariku, bukan?"Â Â
Tanyaannya itu datang dengan kesederhanaan yang mencabik hati. Adnan hanya bisa menatapnya, tanpa kata, tanpa suara. Tangannya gemetar di atas meja, seolah dunia yang ia kenal tiba-tiba berubah menjadi mimpi buruk yang tak bisa ia hindari.
"Sepuluh tahun," bisik Rima . "Dan kau masih belum bisa memaafkan dirimu sendiri."Â Â
Di luar, hujan mulai turun lagi. Rintiknya mengetuk kaca jendela, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di wajah Rima . Â
"Bagaimana aku bisa memaafkan diriku?" suara Adnan pecah. "Kalau saja aku tidak egois… kalau saja aku mengejarmu…" Â
"Kalau saja, kalau saja," potong Rima lembut. "Hidup tidak berjalan mundur, Nan."Â Â
Rina merogoh saku sweaternya dengan gerakan yang tenang, seolah tak ada beban yang tersisa, lalu mengeluarkan sebuah buku catatan cokelat tua. Buku itu, yang pernah hilang bersamaan dengan kecelakaan yang mengubah segalanya. Â
"Kau ingat ini?"Â Â
Adnan menatap buku itu dengan napas tertahan, seolah ada serpihan kenangan yang berusaha menyusup kembali ke dalam pikirannya. Setiap lekuk kertasnya terasa begitu akrab, begitu nyata, seolah ia bisa mencium bau tinta yang tertinggal di sana. Dengan tangan gemetar, ia membuka buku itu, setiap halaman yang terbalik bagaikan sebuah keharusan yang tak bisa dihindari. Â
Halaman pertama menyambutnya dengan tulisan tangannya sendiri, tulisan yang telah lama terkubur oleh waktu. Â
Untuk Rima, yang selalu mengatakan bahwa yang kita cari bukanlah jawaban, tapi keberanian untuk bertanya. Selamat ulang tahun. Akan kuberikan ini padamu besok. Â