Ia hanya duduk di sana, membiarkan gadis itu menjauh, membiarkan hujan menelan bayangannya. Â
Dan di saat itu, tanpa ia sadari, sesuatu yang berharga telah hilang selamanya.
Ia menyesap kopinya yang kini telah dingin. Dulu, ia berpikir Rima hanya butuh waktu. Namun, malam itu, sebuah truk kehilangan kendali di jalan yang licin. Ambulans datang terlambat. Syal merah yang tercabik. Â
Adnan menutup mata, mencoba meredam riuh dalam pikirannya, namun bayangan itu tetap mengganjal. Sepuluh tahun telah berlalu, namun kenangan itu—kenangan yang begitu perih dan berat—terus hidup dalam setiap tetes hujan yang jatuh, dalam setiap suara gemericik yang menyentuh kaca. Â
Dan tiba-tiba, suara itu datang. Â
"Kau masih menyimpan foto itu."Â Â
Jantung Adnan berdegup kencang, menghantam dadanya seperti palu yang tak terhentikan. Setiap detik terasa menekan, udara terasa begitu sesak. Ia membuka mata, dan yang ia temui bukanlah gambaran dari masa lalu, melainkan kenyataan yang tak mungkin ia percaya. Â
Di hadapannya, seorang gadis duduk dengan sweater abu-abu dan syal merah yang sama, dengan rambut basah yang jatuh mengalir ke bahu, persis seperti malam itu—malam yang tak pernah benar-benar meninggalkannya. Â
"Ini… tidak mungkin…" Â
Suara Adnan tercekat, terjebak di tenggorokan. Â
Rima—gadis yang seharusnya hanya menjadi kenangan—tersenyum tipis, namun senyum itu hanya menambah berat beban yang sudah lama ada. Ada kesedihan di matanya, lebih dalam daripada yang dapat dijelaskan dengan kata-kata. Â