"Ya," Rima akhirnya berkata, suaranya bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang nyaris patah. "Mungkin aku tak akan merasa seperti ini." Â
"Seperti apa?"Â Â
Rima menarik napas panjang, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Â
"Seperti seseorang yang ditinggalkan… bahkan sebelum perpisahan benar-benar terjadi." Â
Adnan mendongak. Untuk pertama kalinya sejak percakapan ini dimulai, ia menatap Rima—benar-benar menatapnya. Dan yang ia lihat bukanlah kemarahan, bukan juga kebencian. Yang ia lihat adalah sesuatu yang jauh lebih menyakitkan: kekecewaan yang pasrah. Â
Kursi berderit pelan. Rima sudah berdiri. Â
"Selamat tinggal, Adnan," katanya, dan kali ini, tak ada lagi nada bertanya dalam suaranya. Â
Ia melangkah pergi tanpa menoleh. Â
Saat pintu kafe terbuka, angin malam menyergap masuk, membawa serta wangi hujan dan dingin yang menggigit. Rima melangkah ke jalan tanpa payung, membiarkan hujan mencumbu setiap inci tubuhnya. Syal merahnya berkibar, mencolok di antara kelabu malam. Â
Adnan bisa saja bangkit. Bisa saja memanggil namanya. Bisa saja berlari mengejarnya, mengatakan sesuatu—apa saja—yang bisa membuat Rima berhenti. Â
Tapi ia tidak melakukannya. Â