Braga, 2014. Maafkan aku.Â
Jemarinya mengepal. Ingatan itu menyeruak seperti hujan yang tak kunjung reda. Â
Malam itu, hujan mengguyur tanpa ampun, menghantam atap kafe dengan irama yang gelisah. Udara dipenuhi aroma kopi dan roti panggang, bercampur dengan suara sendok beradu, denting gelas, serta tawa samar para pengunjung. Namun, di sudut ruangan, di balik bayangan temaram lampu gantung, sepasang mata saling bertemu dalam keheningan yang jauh lebih bising daripada riuh di sekitar mereka. Â
"Apa kau benar-benar sudah memutuskan?" suara Rima nyaris tenggelam di antara gemuruh hujan, tetapi di telinga Adnan, setiap kata terasa seperti hantaman. Â
Jari-jarinya mencengkeram cangkir kopi yang mulai mendingin. Ia tak berani menatap Rima, seolah tatapan gadis itu bisa meruntuhkan keputusan yang telah ia bangun dengan susah payah. Â
"Jerman adalah kesempatan yang tak bisa kutinggalkan," akhirnya ia berkata, suaranya datar, tanpa intonasi, seperti seseorang yang tengah membaca vonis hukuman. Â
Rima terkekeh pelan, bukan karena lucu, tetapi getir. Senyumnya muncul sekejap, tapi matanya meredup, seperti api lilin yang kehabisan oksigen. Â
"Kau bahkan tidak memberitahuku sebelumnya," bisiknya. Â
Adnan masih tidak melihatnya. Ia hanya mengaduk kopi yang tak perlu diaduk, seolah bisa menemukan jawaban di dalam pusaran hitam pekat itu. Â
"Apa itu akan mengubah sesuatu?"Â Â
Hening. Hanya suara hujan yang mengetuk-ngetuk jendela, seakan turut menyaksikan percakapan yang tak seharusnya berakhir begini. Â