Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Nana Belajar Memahami Puisi

14 September 2022   01:18 Diperbarui: 14 September 2022   01:20 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hmm ... kalau nggak salah, nih. Usaha si bocah mengubah nasih masih banyak menemui rintangan. Ombak yang seharusnya disibak karena layar sudah terkembang, bahkan menahan laju perahu. Nasibnya tidak jelas, bagaikan memandang nasib di cermin waktu. Si Bocah semakin putus asa. Nasib baik yang ia gambarkan semakin sulit terwujud." terang Diana dengan semangat.

"Wow Diana seperti mahasiswa jurusan bahasa, lo. Bukan main," puji Pak Eko.

"Ah, Nana jadi malu." Muka Diana memerah dipuji Pak Eko.

"Pak Eko penasaran. Apa maksud dua larik terakhir puisi itu?" tanya Pak Eko selanjutnya.

"Kalau menurut Nana, si bocah hilang semangat akibat sulitnya hidup," jawab Nana

"Kalau Pak Eko menafsirkannya begini. Laut bagi nelayan adalah ladang mencari rezeki. Namun laut pun bercadar bias, artinya seakan tidak ada kepastian apakah si nelayan masih bisa melaut mencari ikan. Kemudian, berlumur kelabu. Kelabu identik dengan samar-samar, penuh ketidakpastian. Akibatnya ia ragu melaut, ia hanya mampu termangu," terang Pak Eko.

"Diana ...," kata Pak Eko, "Si bocah yang digambarkan dalam puisi itu patut dicontoh atau tidak?" tanya Pak Eko.

"Gimana ya, Pak?" jawab Diana ragu.

"Hidup yang keras, zaman yang sulit yang digambarkan penulis sebagai sinar lentera yang mencoba menembus cakrawala. Juga digambarkan sebagai kibar layar terempas angin dan siap terlempar jika badai datang. Sejuta tangan ombak atau ombak yang begitu besar meghadang, lalu langit yang gelap akibat bercadar bias berlumur kelabu. Oleh si bocah nelayan dianggap sebagai hal yang sulit, sehingga ia meminta pembenaran dengan mengatakan hanya mampu termangu."

"Seharusnya rintangan itu ditaklukkan 'kan, Pak?" timpal Diana.

"Seperti siapa?" tanya Pak Eko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun