Diana dahulu gadis kecil mungil. Sekarang ia gadis remaja beranjak dewasa. Sementara Uti sudah tiada. Guru yang hampir pensiun itu sekarang sendirian. Kedua anaknya merantau di luar kota. Ia lakukan itu agar tidak menimbulkan fitnah.
"Diana dapat dari mana, puisinya?" tanya Pak Eko.
"Dari Kompasiana, Pak. Mamah sekarang rajin nulis Kompasiana sejak ada tantangan menulis, katanya," jawab Diana menceritakan perihal ibunya.
"O, bukannya mamahmu menulis di blog. Saya sering baca tulisannya. Tentang parenting, motivasi, dan dunia perempuan," timpal Pak Eko.
"Masih, kok. Ini mau ngomongin mamah apa bantu Nana, sih?" protes Diana.
"Ha ha ha ..., kamu masih seperti dulu Nana. Kalau Mbak Rahma ada di rumah pasti senang ngobrol denganmu," jawab Pak Eko.
"Pak Eko nggak tahu saja. Nana sering lo, telfonan sama mbak Rahma. Eh, jadi tidak, nih?"
"Ha ha ha ... iy ... zaaa ..., jadi!" Sambil membetulkan kacamata plusnya, pak Eko kembali menjawab.
"Nana ambil dari sini: https://www.kompasiana.com/theresiabonytha9185/631fd46e08a8b570bc76e3c3/bercadar-bias-berlumur-kelabu. Judulnya, Bercadar Bias Berlumur Kelabu," jawab Nana.
Pak Eko pun mengambil kertas bertuliskan puisi karya Theresia Martini yang Diana print ulang. "Sebentar, saya baca." Pak guru berkaca mata itu pun membaca puisi dengan suara keras.
"Wah, bagus banget Pak Eko baca puisi." puji Diana sambil bertepuk tangan.