Suster Tanpa Wajah: Ratapan di Lorong RS Santa
PROLOG: LORONG WAKTU YANG TERJEBAK
RS Santa berdiri angkuh di puncak bukit, megah dan muram seperti nisan raksasa yang terlupakan zaman. Dibangun pada tahun 1927 oleh pemerintah kolonial Belanda, setiap batu bata di bangunan ini seolah menyimpan erangan kesakitan dan bisikan terakhir yang tak pernah sampai pada telinga Tuhan. Dinding-dindingnya yang tebal berlapis cat puluhan tahun mengeluarkan aroma khas yang tak pernah bisa disembunyikan: campuran antiseptik basi, formalin, dan sesuatu yang lebih tajam seperti bau ketakutan yang telah meresap ke dalam pori-pori beton.
Setiap malam tepat pukul 23.00, ketika lonceng perunggu tua di menara rumah sakit berdentang dengan suara parau yang seolah memprotes beban waktu, sesuatu yang abnormal terjadi di lorong menuju ruang operasi lama. Waktu berhenti bergerak maju. Jam dinding di sepanjang koridor itu mandek, jarum-jarumnya bergetar tak bergerak dari angka XI. Suara-suara dari dunia luar memudar, digantikan oleh bisikan-bisikan dalam bahasa Belanda yang sudah tak lagi dipahami siapa pun.
Lampu neon peninggalan 1950-an yang menggantung di langit-langit tinggi mulai berkedip-kedip, memancarkan cahaya kehijauan yang membuat bayangan-bayangan terdistorsi seperti dalam mimpi buruk. Dalam cahaya suram itu, udara menjadi dingin secara tiba-tiba---dinginnya menusuk tulang, seperti masuk ke kamar mayat yang tak pernah terkena matahari.
Dan di ujung lorong yang paling gelap, dia muncul.
Suster Vina. Sosoknya selalu muncul dari balik sudut yang sama, berjalan dengan gerakan yang terlalu halus, hampir seperti melayang beberapa sentimeter di atas lantai ubin yang sudah retak-retak. Seragam putihnya terlihat terlalu jernih dibandingkan dengan lingkungan yang suram, seolah baru saja disetrika dengan sempurna. Tapi yang paling mengerikan adalah wajahnya---atau lebih tepatnya, ketiadaan wajahnya.
Setiap kali mencoba memfokuskan pandangan pada wajahnya, yang terlihat hanya bayangan kabur yang berubah-ubah. Terkadang seperti ada selubung kabut, terkadang seperti cermin yang retak, dan di saat-saat tertentu---ketika lampu berkedip paling cepat---akan terlihat secuil detil yang membuat jantung berdebar: sepasang mata tanpa bola mata, mulut yang terkunci rapat tanpa bibir, atau hidung yang hanya berupa dua lubang gelap.
Dia selalu membawa sesuatu yang berbeda---kadang sebuah lampu operasi yang sudah berkarat, kadang nampan berisi instrumen bedah yang bernoda kecoklatan, dan di malam-malam tertentu---sebuah stoples kaca berisi sesuatu yang mengambang dalam cairan keruh.
Para penjaga malam yang berani membicarakan hal ini (hanya ada dua yang pernah bertahan lebih dari seminggu) bersumpah bahwa mereka pernah mendengar Suster Vina berbicara. Suaranya disebut-sebut seperti derau angin melalui pipa ventilasi, mengucapkan kalimat-kalimat dalam berbagai bahasa---Belanda, Latin, dan sesuatu yang lebih tua lagi---yang isinya selalu sama:
"Mereka mengambil wajahku... potong demi potong... dan sekarang aku akan mengambil milikmu..."
Lorong waktu yang terjebak ini menjadi rahasia paling gelap RS Santa Maria. Sebuah puzzle mengerikan yang menunggu seseorang yang cukup berani---atau cukup naif---untuk mencoba memecahkannya.
Tapi seperti yang selalu dikatakan Pak Bejo, penjaga malam tertua yang bertahan selama tiga bulan: "Jangan pernah menatap terlalu lama. Karena semakin kau perhatikan, semakin dia menyadari keberadaanmu. Dan itu yang paling dia tunggu."
Â
BAB 1: PERTEMUAN PERTAMA YANG MENGGELISAHKAN
Lorong Utama RS Santa  - 22.30 WIB
Udara malam itu begitu dingin dan menusuk tulang melalui rongga kulit. Rangga tiba tiba terbangun dari tidurnya yang tidak begitu pulas dan tenggorokannya terasa kering seperti pasir. Bekas jahitan operasi di perutnya yang belum terlalu kering terasa berdenyut-denyut samar. Lampu lorong yang cahayanya terlihat redup menciptakan bayangan-bayangan panjang yang seakan hidup sendiri, menari-nari di dinding yang catnya hampir sebagian mengelupas.
Dia berjalan tertatih tatih perlahan, setiap langkahnya terasa begitu berat. Desahan suara napasnya sendiri terdengar keras di telinganya, bersaing dengan irama detak jantungnya yang semakin kencang. Bau desinfektan bercampur dengan aroma sesuatu yang lebih tua... sesuatu yang manis dan busuk seperti bunga yang membusuk di dalam vas air kotor.
Di ujung lorong, sekitar dua puluh meter darinya, nampak berdiri tegak seorang suster. Siluetnya tampak elegan namun tidak wajar terlalu kurus, terlalu tinggi. Warna seragam putihnya bersinar pucat dalam kegelapan, seperti memancarkan cahayanya sendiri.
Rangga: (suara serak, hampir seperti bisikan) "Suster... boleh saya minta air minum?"
Sosok badan itu berbalik sangat perlahan menuju ke arahnya, seperti bergerak melalui cairan kental. Dan ketika wajahnya mulai terlihat, Rangga tersentak kaget, tubuhnya bergetar hebat. darahnya terasa berhenti dan membeku.
"Wajahnya... Tuhan, wajahnya......." suaranya terasa keluh.
Di tempat seharusnya ada mata, hanya terdapat dua lubang hitam yang dalam dan kosong. Kulit di sekitar lubang itu tampak berparut, seperti luka bakar tua yang tidak pernah sembuh sempurna. Bibirnya yang pucat terlihat kering dan pecah-pecah.
Suster Vina: (suaranya seperti gemerisik daun kering di gurun, beresonansi aneh)
"Air tidak akan memuaskan dahagamu, anak muda. Hanya kebenaran yang bisa memuaskan rasa haus sejatimu."
Rangga tidak bisa bergerak. Kakinya terasa seperti ditambatkan ke lantai. Dia bisa melihat dengan jelas bagaimana seragam suster itu tidak bergerak sedikitpun walau ada angin dingin yang berhembus menyentuhnya dari ventilasi.
Suster Vina: (kepalanya miring dengan sudut yang tidak mungkin) "Mereka mengambil air mataku dulu. Katanya agar aku tidak menangis lagi. Tapi aku masih bisa merasakan sakitnya....."
Tiba-tiba, lampu di lorong berkedip-kedip dengan liar. Dalam cahaya yang selang-seling, Rangga melihat sesuatu yang membuatnya hampir pingsan, dimana wajah Suster Vina berubah-ubah. Kadang tampak seperti wanita cantik dengan mata utuh, kadang menjadi tengkorak yang hampir tidak berdaging.
Ketika lampu sudah menyala dan stabil kembali, suster itu sudah menghilang. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada pintu yang berderit. Hanya bau melati dan formalin yang menggantung di udara, dan sesuatu yang lain... bau besi tua dan tanah basah.
Rangga berdiri terpaku selama beberapa menit yang terasa seperti abadi. Baru ketika jam dinding di ujung lorong berdentang menandakan pukul 23.00, dia bisa kembali bergerak.
Dia berbalik untuk kembali ke kamarnya, dan hampir menjerit ketika melihat tetesan cairan hitam membentuk jejak menuju kamarnya, seperti sesuatu yang basah baru saja melintas.
Dari kejauhan, suara lembut terdengar seperti nyanyian: "Tidurlah sayang, jangan bangun lagi.......Di sini kami menunggumu, di antara yang terhilang..."
Malam itu, jadi malam yang menegangkan dan Rangga tidak bisa tidur. Setiap kali dia menutup mata, yang bisa dilihatnya hanyalah dua lubang hitam yang kosong itu, menatapnya dari balik kegelapan. Dan di cermin kecil di kamar mandinya, untuk sesaat, dia melihat pantulan seseorang berdiri di belakangnya dengan seragam putih dan wajah tanpa mata.
Â
BAB 2: DOKTER YANG TERPESONA
Ruang Dokter - 08.00 WIB
Pagi itu cahaya matahari menyelinap melalui jendela-jendela tinggi bergaya kolonial, menciptakan garis-garis emas yang menari-nari di lantai marmer yang sudah usang. Dr. Adrian (35 tahun) menarik napasnya dalam-dalam, ia sedang mencium aroma khas rumah sakit tua. Bau Desinfektan yang menyengat bercampur dengan aroma kayu lapuk dan sedikit vanila yang misterius. Ini Adalah hari pertamanya tugas di RS Santa. Di ruangan RS ini terasa seperti memasuki mesin waktu. Dia berjalan menyusuri koridor utama, matanya menangkap setiap detail arsitektur art deco yang masih terpelihara dengan cantik. Tangga spiral besi tempa, lampu gantung kristal yang berdebu, dan lukisan-lukisan lama yang matanya seolah mengikuti setiap gerakannya.
Dr. Adrian terhenti sejenak. Tiba-tiba, pandangannya tertarik pada sosok di ujung koridor. Seorang suster dengan postur sempurna sedang mencatat sesuatu pada chart medis. Cara dia berdiri sangat tegak dan elegan itu membuatnya terlihat seperti berasal dari era yang berbeda.
Dr. Adrian: (suara sedikit bergetar karena terpesona) "Selamat pagi, Suster...?"
Suster itu berbalik perlahan. Wajahnya memancarkan kecantikan vintage yang membuat Adrian tertegun. Kulitnya seperti porselen yang mulus, mata besar berwarna hazel yang tampak tua dan penuh kebijaksanaan, dan bibirnya yang mungil tersenyum samar.
Suster Vina: (suara lembut seperti gemerisik sutra) "Selamat datang di Santa, Dokter Adrian."
Adrian merasa aneh. Suster itu sudah menyapa Namanya. Padahal Dia belum memperkenalkan namanya.
Dr. Adrian: (mendekat beberapa langkah) "Maaf, tapi... apakah kita pernah bertemu sebelumnya ya? Wajahmu sangat... familiar."
Vina tersenyum lebih lebar, tapi matanya tetap dingin. Adrian memperhatikan sesuatu yang aneh, dimana napasnya tidak beruap di udara pagi yang sejuk.
Suster Vina: (mengalihkan pandangan) "Mungkin Anda melihat foto lama di ruang tunggu. Keluarga saya sudah bekerja di sini selama beberapa generasi."
Tapi Adrian tidak bisa melepaskan pandangannya. Ada sesuatu yang kelihatan aneh dan mengganggu tentang wanita ini. Cara dia bergerak terlalu halus, hampir seperti melayang. Aromanya vanila dan sesuatu yang lain...,,,,,,, seperti formalin?
Dr. Adrian: (mencoba bersikap profesional) "Apakah Anda bisa menunjukkan saya sekitar ruangan ini? Saya baru ditugaskan di sini."
Suster Vina: (tersenyum misterius) "Tentu, Dokter. Tapi hati-hati dengan lorong barat. Listrik di sana sering mati, dan... terkadang kita bisa tersesat." Nasihat Suster Vina sambil tangannya menyodorkan sebuah peta, Terasa dingin saat tidak sengaja menyentuh kulit Adrian. Sangat dingin, seperti daging yang sudah lama disimpan di lemari es.
Saat Vina berbalik untuk pergi, Adrian melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di bawah sinar matahari yang menerpa dari jendela, terlihat suster Vina tidak memiliki bayangan. Dia berdiri terpaku beberapa detik terlalu lama, mencoba memproses apa yang baru saja dilihatnya.
Perawat Rina: (tiba tiba nongol mendekat dengan wajah khawatir) "Dokter Adrian? Apa Anda baik-baik saja? Anda terlihat pucat."
Dr. Adrian: (menelan ludah) "Oh... Iii ya!. Siapa... siapa suster yang baru saja di sini? Yang bernama Vina?" tanya nya sambil matanya menatap kosong.
Perawat Rina mengerutkan kening, melihat ke arah yang ditunjuk Adrian.
Perawat Rina: "Suster? Maaf Dokter, tidak ada siapa-siapa di sana. Dan tidak ada suster bernama Vina yang bekerja di sini."
Tapi Adrian masih bisa mencium aroma vanila dan formalin yang tersisa di udara. Dan di lantai marmer, tepat dimana Vina berdiri tadi, ada beberapa kelopak bunga melati kering dan bunga itu sama persis dengan yang ada di foto-foto lama rumah sakit ini.
Dia menoleh ke jendela terdekat. Dalam pantulannya, dia melihat bayangan dirinya sendiri dan sesosok figure berdiri tepat di belakangnya, dengan wajah Vina yang sekarang terdistorsi dan mata yang sepenuhnya hitam.
Dr. Adrian: (berbisik pada dirinya sendiri) "Apa yang sedang terjadi di tempat ini?"
Dia tidak tahu bahwa di ruang arsip di lantai bawah, foto tahun 1953 sedang menatap balik dengan wajah Vina yang sama persis, dan tulisan di bawahnya:
"Suster Vina - Meninggal dalam tugas, 1953. Semoga jiwanya tenang."
Dan di sudut foto, ada bayangan figure yang mirip sekali dengan Dr. Adrian, seolah waktu telah menjebak mereka dalam lingkaran yang sama selama puluhan tahun.
Â
BAB 3: PENJAGA MALAM YANG MELIHAT KEBENARAN
Pos Keamanan - 23.15 WIB
Udara di pos keamanan terasa begitu pengap dan basi, bercampur aroma kopi tua yang telah dipanaskan berkali-kali. Pak Bejo (60 tahun) duduk terpekur, matanya setengah terpejam sambil mengingat dirinya yang sudah jadi penjaga RS Santa ini selama 40 tahun kariernya. Termos kopinya yang berwarna kelabu dan sudah penyok ia dapat dari hadiah almarhum istrinya. Dan yang sudah lama setia mampak berdiri setia di sampingnya sebuah  monitor CCTV yang memancarkan gambar-gambar statis lorong RS Santa Maria yang sepi.
Tiba-tiba---
"Kreek... kreek..."
Suara statis dan pendek menyelinap dari speaker monitor. Pak Bejo mengerutkan kening, tangannya menepuk-nepuk perangkat tua itu. Empat layar CCTV berkedip sekali, lalu kembali normal. Semua kecuali ada satu layar yang menampilkan pemandangan Lorong Utama menuju Ruang Operasi Lama.
Pak Bejo: (menggerutu pada diri sendiri) "Benda tua ini sudah perlu diganti."
Tapi tiba tiba ada sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah bayangan bergerak di ujung lorong. Perlahan, sangat halus, seperti asap yang menari.
Pak Bejo: (mengucek dan menyipitkan mata) "Suster Vina? Jam segini dia seharusnya tidak tugas jaga......"
Dia membungkuk mendekati monitor, tangan gemetar memutar tombol kontras. Apa yang dilihatnya membuat darahnya membeku.
Suster Vina berjalan tenang di lorong, tapi... kakinya tidak menyentuh lantai. Dia melayang sekitar 5 cm di atas ubin, gaun putihnya tidak berkibar meski angin malam berhembus dari jendela retak.
Pak Bejo: (berbisik ketakutan, tangan menekan mulutnya) "Dia... dia tidak menyentuh lantai....." Mata Pak Bejo menatap tajam.
Tiba-tiba, seperti merasakan ada pengawasan, Suster Vina berhenti. Perlahan, sangat tidak wajar dan kepalanya berputar 180 derajat, menatap langsung ke lensa kamera.
Wajahnya.... wajahnya ............... Tidak memiliki mulut.
Di tempat seharusnya ada mulut, hanya ada kulit halus yang utuh, seperti boneka porselen yang belum selesai dibentuk. Mukanya rata dan polos.
Pak Bejo: (tersedak ketakutan) "Ya Tuhan... wajahnya..."
Tapi yang lebih mengerikan lagi, Nampak Suster Vina di layar CCTV tersenyum. Senyum itu terlihat di matanya yang tiba-tiba menjadi terlalu hitam, seperti lubang tanpa dasar.
Monitor mulai berkedip cepat, menunjukkan gambar-gambar singkat yang berganti ganti tampilannya seolah menginformasikan sesuatu, seperti:
- Wajah Suster Vina yang asli, cantik dan utuh, tersenyum lembut (1953)
- Tangan-tangan dengan sarung tangan bedah memegang pisau bedah berdarah (1953)
- Cermin di ruang operasi memantulkan Vina yang berteriak tanpa suara (1953)
- Kamera keamanan menunjukkan lorong yang sama---tapi dengan peralatan medis jaman kolonial (1953)
Layar kembali normal. Suster Vina masih berdiri di lorong, kini wajahnya semakin terlihat jelas karena lebih dekat ke kamera. Tangannya yang pucat diangkat, menunjuk langsung ke lensa lalu ke arah pos keamanan.
Pak Bejo: (berlutut, berdoa dengan gemetar) "Bukan aku... bukan aku yang kau cari..."
Dia mendengar suara dari speaker sebuah bisikan parau yang seharusnya tidak mungkin keluar dari mulut yang tidak ada:
Suster Vina: (suara seperti derikan angin melalui pipa) "Kau sudah melihatku... sekarang aku melihatmu..."
Lalu semua monitor padam sekaligus. Hanya lampu darurat merah yang menyala, memberikan cahaya suram pada ruangan. Dari lorong di luar pos keamanan, terdengar suara langkah kaki mendekat. Tapi bukan suara Sepatu, lebih seperti sesuatu yang diseret di lantai. Â Dan bau... bau formalin dan melati yang menusuk hidung.
Pak Bejo mengunci pintu dengan gemetar, tapi tahu itu tidak ada gunanya.
Karena di jendela kecil di pintu, muncul sepasang mata hitam yang menatapnya dengan tajam, merah dan menyeramkan dan di bawahnya, hanya kulit yang halus dan kosong dimana mulut yang tadi seharusnya ada, sekarang kelihatan rata. Pak Bejo tergeletak dan sadarkan diri.
FADE TO BLACK.
SUARA BISIKAN TERAKHIR: "Kami semua melihatmu sekarang..."
Â
BAB 4: KEBENARAN YANG TERKUBUR
Ruang Arsip Bawah Tanah RS Santa - 14.00 WIB
Ruangan bawah tanah yang berdebu itu banyak menyimpan napas sejarah yang tertahan. Udara terasa tebal dengan aroma kertas yang sudah lapuk, kayu basah, dan sesuatu yang lebih tajam---seperti formalin dan kenangan pahit. Nadia (40 tahun) membuka peti besi berkarat yang belum pernah tersentuh sejak puluhan tahun. Sinar senter yang cahaynya terfokus menari-nari di antara tumpukan dokumen yang rapuh, menciptakan bayangan aneh di dinding batu yang lembap.
Nadia: (tersedak debu) "Tuhan, tempat ini seperti kuburan dokumen."
Tangannya menyentuh dan menggenggam album foto kulit yang covernya dingin. Saat album dibuka, matanya terpaku tertuju pada satu foto hitam-putih yang membuat darahnya membeku.
Nadia: (suara bergetar) "Ini tidak mungkin...ini..... Suster Vina? Tapi.... foto ini dari 1953!"
Dalam foto yang menguning itu, sekelompok suster berdiri anggun di tangga rumah sakit. Di tengah mereka, Suster Vina tersenyum lembut dengan wajahnya persis seperti yang Nadia lihat semalam di lorong. Yang lebih mengerikan, dalam foto itu Vina memegang kuncup Melati, bunga yang aroma nya selalu muncul sebelum penampakannya. Dengan tangan gemetar, Nadia membuka arsip koran tahun 1953. Matanya membesar saat membaca headline mengerikan:
"SUSTER VANIA BUNUH DIRI SETELAH JADI KORBAN EKSPERIMEN ILEGAL DOKTER BELANDA"
Artikel itu mengungkap kebenaran mengerikan, dimana Dr. Van Der Berg, salah seorang dokter kepala berkebangsaan Belanda, melakukan eksperimen tentang "transfer kecantikan" dengan mengambil jaringan wajah para suster. Dan Suster Vania (nama asli Vina) adalah korban terakhir---dan paling menderita.
Nadia: (berbisik ngeri) "Mereka mengambil kulit wajahnya selagi dia masih sadar... menggunakan kokain sebagai anestesi..."
Tiba-tiba---
KRAAK!
Semua lampu padam sekaligus. Ruangan gelap gulita. Hanya senter Nadia yang masih menyala, tapi sinarnya tiba-tiba berubah menjadi merah darah.
Nadia: (suara gemetar) "Halo? Ada orang?" teriaknya panik.
Dari sudut gelap, sesosok bayangan muncul perlahan. Aroma melati dan formalin memenuhi udara.
Suster Vina : (suara berlapis, seperti beberapa orang berbicara bersamaan) "Kau menemukan kebenarannya..."
Dalam cahaya merah, Nadia melihat Vina jelas kini. Wajahnya... oh Tuhan, wajahnya adalah mosaik sangat mengerikan terdiri dari potongan-potongan kulit yang dijahit kasar. Mata tanpa kelopak, hidung tanpa tulang rawan, mulut yang dijahit sebagian.
Suster Vina: (mengangkat tangan transparan) "Mereka mengambil wajahku... potong demi potong... untuk kecantikan istri komandan mereka..."
Dinding ruangan tiba-tiba berubah menjadi layar yang memproyeksikan adegan mengerikan: Vina diikat di meja operasi, dokter-dokter Belanda dengan alat bedah berdarah, sementara di sudut, wanita cantik menonton dengan mata berbinar.
Nadia: (menangis ketakutan) "Aku... aku turut berduka..."
Suster Vina: (tiba-tiba sangat dekat) "Bukan duka yang kubutuhkan... tapi keadilan."
Senter padam. Dalam kegelapan, Nadia merasakan tangan dingin menyentuh pipinya.
Suster Vina: (berbisik di telinga) "Tolong bantu aku menemukan sisa wajahku... mereka menyimpannya di toples... di ruang bawah tanah yang lebih dalam..."
Ketika lampu kembali menyala, Nadia sendirian. Tapi di meja di depannya, ada peta tua yang terbuka dan menunjukkan lokasi ruang rahasia yang tidak ada di blueprints manapun.
Dan di atas peta itu, tergores dengan darah yang masih hangat dengan pesan : "JAM 11 MALAM NANTI. BAWALAH ALAT PEMBUKA."
Nadia melihat tangannya dan di telapak tangan kanannya, tergores angka Romawi "XI" yang berdenyut-denyut. Kebenaran telah ditemukan. Tapi sekarang, Nadia menjadi bagian dari ritual yang belum selesai.
Â
BAB 5: KEGELAPAN YANG HIDUP
Lorong Barat RS Santa  - 20.00 WIB
Lorong barat RS Santa adalah tempat dimana waktu seakan berhenti. Dindingnya masih mempertahankan ubin hijau muda bergaya art deco tahun 1950-an, yang sekarang sudah retak-retak dan bernoda kelembapan. Lampu neon yang terpasang di langit-langit berkedap-kedip tidak menentu, memantulkan bayangan-bayangan aneh yang seolah bergerak sendiri.
Doni (32 tahun, tukang listrik dengan tattoo sirkuit listrik di lengan kanannya) berdiri frustasi di depan panel distribusi listrik. Keringat dingin membasahi keningnya yang lebar.
Doni: (menggerutu sambil membenahi toolbelt-nya) "Ini sudah ketiga kalinya dalam seminggu lampu ini bermasalah! Padahal baru saja ganti sekring dan transformatornya!"
Tangannya yang kekar memegang multimeter yang menunjukkan angka-angka aneh. Voltasenya terlihat tidak stabil, berfluktuasi antara 0 hingga 500 volt secara acak, seolah ada energi lain yang mengganggu aliran listrik normal.
Doni: (berkata pada diri sendiri) "Harusnya tidak mungkin... ini melanggar semua hukum kelistrikan."
Dia membuka panel utama, dan sebuah hembusan angin dingin menusuk keluar dari dalam, padahal panel itu tidak ada ventilasi di sekitarnya. Kabel-kabel di dalamnya berkelok-kelok seperti ular yang sedang kesakitan, beberapa bahkan menunjukkan bekas luka bakar yang membentuk pola-pola aneh mirip simbol kuno. Saat dia mencondongkan tubuh untuk memeriksa lebih dekat, pantulan di kaca pelindung panel yang berdebu menangkap sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Suster Vina berdiri tepat di belakangnya---wajahnya yang pucat sempurna kini tanpa hidung, hanya menyisakan dua lubang gelap yang menganga. Matanya yang terlalu hitam menatap fix pada pantulan Doni di kaca.
Suster Vina: (suara berlapis, seperti beberapa orang berbicara bersamaan)
"Listrik tidak bisa menyala di dekatku. Energi kami berbeda... lebih tua, lebih dalam, lebih gelap dari sekedar elektron yang bergerak."
Doni berbalik dengan cepat, jantungnya berdebar kencang. Tangannya meraih obeng besar seperti senjata.
Doni: (suara gemetar) "SSSiapa... apa kau?!"
Tapi tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Lorong yang panjang itu kosong, hanya diisi oleh bayangan-bayangan yang menari di bawah lampu yang berkedip.
Namun, bau yang menyengat masih tertinggal di udara---wangian bunga melati yang manis bercampur dengan bau formalin tajam yang menusuk hidung. Campuran aroma yang aneh dan tidak wajar. Doni mengambil napas pendek, mencoba menenangkan diri. Tapi saat dia menoleh kembali ke panel listrik, sesuatu yang lebih mengerikan menunggunya. Di atas kaca panel yang berdebu, tulisan jari yang terbentuk dari embun napas tampak jelas: "JAM 11 MALAM NANTI. DIA DATANG UNTUK SEMUANYA."
Dan di bawah tulisan itu, cap tangan berdarah yang perlahan-lahan menetes ke bawah.
Tiba-tiba, semua lampu di lorong barat padam sekaligus. Dalam kegelapan total, Doni mendengar suara langkah kaki ringan yang semakin lama semakin mendekat dan diikuti suara rintikan cairan yang jatuh ke lantai.
Suster Vina: (berbisik tepat di telinganya, padahal tidak terlihat siapa-siapa)
"Bersiaplah, Doni. Malam ini, kau akan melihat semua kebenaran tentang kegelapan yang sebenarnya."
Ketika lampu kembali menyala, Doni sendirian di lorong---tapi sekarang semua dinding penuh dengan tulisan-tulisan darah yang sama, berulang-ulang:
"JAM 11 MALAM NANTI. DIA DATANG UNTUK SEMUANYA."
Doni berlari ketakutan tanpa sedikitpun menengok ke belakang. Ia tidak menyadari bahwa di ujung lorong, Suster Vina sedang tersenyum dengan mulut yang sekarang juga menghilang, menyisakan lubang gelap yang menganga.
KEGELAPAN TIDAK HANYA KETIADAAN CAHAYA---TAPI KEADAAN DI MANA SESUATU YANG LAIN HIDUP.
Â
Â
Â
Â
BAB 6: KONFRONTASI TERAKHIR
Ruang Operasi Lama - 23.55 WIB
Udara malam itu di ruang operasi lama itu begitu berat, berbau campuran debu, formalin, dan sesuatu yang manis seperti daging yang sudah membusuk. Dr. Adrian dan Nadia menerobos pintu kayu yang sudah lapuk, dengan senter yang sinarnya menari-nari di kegelapan.
Dr. Adrian: (suara bergetar) "Vina! Aku tahu kau di sini! Tunjukkan dirimu!"
Dari sudut paling gelap, sebuah bayangan mulai merangkak keluar. Perlahan, Suster Vina muncul, wajahnya utuh dan cantik seperti dalam foto tahun 1950-an, tapi matanya kosong seperti lubang tanpa dasar.
Suster Vina: (suara seperti gema dari dalam air) "Mengapa kau mencari aku? Aku sudah memperingatkan kalian semua untuk pergi."
Nadia mengangkat kamera lamanya, jari-jemarinya gemetar.
Nadia: "Kami ingin membantumu, Vina. Kami tahu apa yang terjadi padamu."
Tepat saat jarum jam menunjuk pukul 00.00, sesuatu yang mengerikan terjadi. Wajah Vina mulai meleleh seperti lilin, kulitnya terkelupas perlahan, menunjukkan otot-otot dan tulang di bawahnya.
Suster Vina: (suara sekarang mendua, seperti dua orang berbicara bersamaan)
"Mereka... melakukan eksperimen... mengambil organ wajahku satu per satu... selagi aku masih sadar..."
Dinding ruangan tiba-tiba berubah menjadi transparan, memamerkan adegan mengerikan: dokter-dokter Belanda dengan topeng bedah bernoda darah sedang melakukan operasi illegal pada Vina yang terjebak dan sadar.
Dr. Adrian: (tersungkur ke lantai) "Oh Tuhan... tidak..tidak mungkin." Seolah ia tak percaya denga napa yang dilihatnya. Vina merangkak mendekati mereka, wajahnya sekarang hanya berupa tengkorak berbalut daging yang compang-camping. Dr. Adrian dan Nadia terperangah, tubuh ke duanya lemas
Suster Vina: (suara penuh penderitaan) "Mereka mengambil mataku dulu... lalu hidungku... akhirnya mulutku... semua selagi aku masih hidup dan bisa merasakan..."
Dari balik dinding, bayangan dokter-dokter itu berbalik, tersenyum lebar pada Adrian dan Nadia yang terduduk kaku tanpa bisa berkata sepatah katapun. Ruanganpun kini terang kembali dan suasan kembali sepi dan kelihatan tenang.
EPILOG: LORONG YANG TIDAK PERNAH SUNYI
Keesokan harinya - 07.00 WIB
RS Santa tampak normal di bawah sinar matahari pagi. Tapi para staf yang waspada memperhatikan hal-hal aneh:
- Bau melati dan formalin selalu muncul di lorong barat, tepat di depan ruang operasi lama
- Lampu neon tetap berkedip setiap pukul 23.00, bahkan setelah diganti berkali-kali
- Di semua foto baru, selalu ada bayangan suster dengan wajah yang tidak jelas di latar belakang
Dr. Adrian dan Nadia membentuk tim investigasi khusus untuk mengungkap semua eksperimen illegal yang pernah terjadi di rumah sakit itu. Mereka menemukan puluhan kasus serupa yang sengaja ditutup-tutupi.
Tapi setiap malam, ketika lonceng tua berdentang, Suster Vina masih muncul di lorong---wajahnya terkadang utuh, terkadang mengerikan, terus mengulang malam kematiannya sambil mencari wajahnya yang hilang.
Kadang, para pasien melaporkan melihat seorang suster cantik menawarkan bantuan, tapi ketika mereka mendekat... wajah suster itu berubah menjadi mengerikan.
AKHIR YANG MENGGIGIT:
Dua minggu kemudian, Nadia menemukan foto lama yang membuatnya membeku: salah satu dokter senior yang masih bekerja adalah cucu dari dokter yang melakukan eksperimen pada Vina.
Dan malam itu, ketika dia menyelidiki ruang bawah tanah, dia mendengar suara bisikan:
"Wajahku yang berikutnya... wajahmu..."
FADE TO BLACK.
SUARA BISIKAN TERAKHIR:
"Kami semua akan memiliki wajah baru... dan kalian akan kehilangan wajah kalian..."
(cerita ini hanya fiktif belaksa, jika ada kesamaan nama, lokasi hanya kebetulan saja)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI