Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Soetiyastoko Pendidikan | Eksistensi Penulis di Tengah Bayang - Bayang AI

18 September 2025   01:20 Diperbarui: 18 September 2025   01:20 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesempurnaan tulisan buatan AI, pasri beda dengan karya manusia. AI tak pernah merasakan: apa itu cinta. Dok.Pri

Pendidikan  |  Eksistensi Penulis di Tengah Bayang-Bayang AI


DikToko
(Soetiyastoko
)

Di malam  yang lengang, seorang penulis duduk di ruang tengah rumahnya. Sepertinya hujan baru saja reda, gelas susu jahe diletakannya, usai seteguk hangat yang menenangkan.
Di tangannya, sebuah tablet menyala, layar putih menunggu disentuh kata. Namun bayangan sebuah pertanyaan menggantung di kepalanya: "Apakah masih ada tempat bagi penulis di tengah gempuran kecerdasan buatan ?"

Pertanyaan itu muncul setelah membaca e-book seputar kepenulisan dan wabah yang menumbangkan bisnis bacaan berupa buku cetakan, Hardcopy.
Kini sulit mencari kios yang memajang koran, majalah dan buku. Tak ada lagi taman bacaan yang menyewakan buku. Bahkan banyak Perpustakaan hanya dipenuhi hantu.

Sementara ada paradok ironis: berita menyebut Indonesia krisis ISBN.
Sementara jumlah pembaca buku --konon hanya 0,1% (?) dari jumlah populasi nasional

ISBN _(International Standard Book Number)_ adalah nomor identifikasi unik yang diberikan kepada setiap buku yang diterbitkan. ISBN digunakan untuk membedakan buku satu dengan lainnya, serta memudahkan proses pengarsipan, pencarian, dan penjualan buku.

Lho, kok bisa krisis stok nomer ISBN ?  Apakah ini karena membludaknya kelahiran buku baru di Indonesia ?

Dengan mata merem dan telinga ditutup, jawabnya adalah: "Yaa,  betul sekali !"

Lho kok bisa ?
Ini seiring dengan kemajuan teknologi pencetakan secara digital --yang sanggup membuat buku dalam jumlah hitungan jari, bahkan cuma jari dari 1 tangan saja.

Tinjauan Biaya Cetak Buku


Penulis pernah membuat buku 350 halaman dengan softcover yang dilaminating per satuan 95 ribu  rupiah, jika pesan 10 eksemplar harganya turun jadi 90 ribu rupiah.
Sedangkan jika dicetak secara offset minimalnya 350 unit eksemplar harga per buku jadi  65 ribu.

Biaya menerbitkan e-book jauh lebih murah, lebih mudah di akses. Walau ada perbedaan sensasi saat membaca buku fisik dengan buku elektronik. Namun di setiap jaman, preferensi manusia bisq berubah. Seiring teknologi yang tersedia.

Kembali ke masalah berita menipisnya stok ISBN, kok bisa terjadi ?

Jawabannya karena di Indonesia banyak institusi  yang mewajibkan menyerahkan buku atasnama dirinya untuk memenuhi persyaratan kenaikan jabatan fungsional. Ini berarti naiknya baris golongan gaji dan tunjangan fungsional. Termasuk untuk memenuhi sertifikasi, ...

Waah ! Banyak sekali buku baru di Indonesia, walau jumlah unit eksemplarnya --ditenggarai, hanya dikisaran selusin saja.

AI banyak membantu munculnya buku-buku itu. Lalu kualitasnya seperti apa ? Apakah sebanjir kuantitasnya ? Dengan ISBN tersendiri,  ide-ide baru apa saja yang dimunculkan di buku-buku itu ?

Pertanyaan di atas  terkesan nyinyir dan satir. Bahkan sarkas. Di tengah fakta-fakta yang kita jumpai


Pertanyaan - pertanyaan itu ibarat bayang-bayang pohon yang terus mengikuti, seakan menegaskan: AI mampu menulis artikel tanpa upah, bekerja tanpa lelah, meniru gaya siapa pun yang pernah meninggalkan jejak tulisan di internet. Banyak yang khawatir, profesi menulis akan tergilas mesin.

Tetapi, penulis  artikel ini  --tidak melihat masa depan kepenulisan sekelam itu.

Baginya, teknologi hanyalah alat.  Memang bisa berbeda-beda pandangan tentang hal ini.

Terutama bagi yang menulis didorong oleh keinginan menulis saja --beda dengan yang menulis untuk mencari uang. Menulis demi kepuasan bathin dan jariah ilmu --ada beda-bedanya, dengan menulis demi mengisi dompet.

Paragraf di atas, penulis --sama sekali TIDAK BERMAKSUD mendiskreditkan siapapun.

Bisa juga dua-duanya jadi tujuan seorang penulis --dan itu tidak dilarang.

Sehebat apa pun mesin, ia tidak punya denyut nadi, tidak punya luka batin, tidak punya riwayat tawa dan air mata. Kekayaan referensi yang dimiliki AI ibarat perpustakaan raksasa, tetapi rak-rak buku itu dingin, kaku, tanpa roh.

AI bisa meniru, bisa merakit kalimat dengan rapih, tetapi nyawa sebuah tulisan tidak lahir dari copy paste, melainkan dari sidik pena yang unik, dari pengalaman hidup, dari pergulatan batin seorang manusia.

Antara Penulis Kodian dan Penulis Sejati

Kita tidak bisa menutup mata: ada banyak "penulis kodian." Penulis yang mengejawantahkan -- tuntutan industri. Penulis tukang, menulis berdasarkan order. Tidak ada yang salah. Mereka yang hanya mengganti frasa, mengubah angka, atau memodifikasi kalimat demi terlihat baru. Semua atas perintah.

Buku pelajaran dari SD hingga perguruan tinggi penuh dengan pola ini.
Kini, dengan AI, pekerjaan semacam itu bahkan bisa selesai dalam hitungan detik.

Prompt spesifik-lah yang menjadi kunci. Dengan menyalin sebuah artikel lalu memintanya ditiru, lahirlah ribuan karya tiruan dalam sekejap. Cepat, mudah, tapi dingin---seperti pabrik yang mengeluarkan barang dalam jumlah banyak tanpa perasaan.

Namun penulis sejati tahu bahwa tulisan bukan sekadar rangkaian huruf. Tulisan adalah pahatan jiwa.
Maka, AI tidak pernah lebih dari sekadar batu kasar yang harus diukir kembali. *Jika hasilnya ingin bernyawa, penulis harus turun tangan*: memberi sentuhan kuas, menambahkan tekstur, menyematkan keunikan.

*AI sebagai Alat, Bukan Penguasa*

Sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa seni tidak pernah mati oleh teknologi.

Kamera tidak membunuh pelukis, justru melahirkan bentuk seni baru dalam fotografi.
Musik digital tidak menghapus orkestra, malah melahirkan genre-genre baru. Demikian pula AI---ia membuka ruang lain dalam kepenulisan.

Kuncinya adalah sikap penulis. Jika ia tunduk penuh, maka ia hanya jadi operator mesin. Tetapi bila ia memandang AI *sebagai alat bantu*, ia tetap merdeka. Ia bisa lebih cepat, lebih efisien, tetapi tetap menjaga sidik penanya sendiri.

Teknologi memang bisa menyalin, tetapi tidak bisa merasakan. Ia bisa meniru, tetapi tidak bisa berdoa. Ia bisa membuat teks panjang, tetapi tidak bisa menggigil oleh rindu.

*Ilustrasi Perbandingan:*

*Penulis ibarat pelukis, AI hanyalah kuas.*
Kuas bisa digunakan siapa saja, tetapi hanya pelukis yang bisa memberi warna, rasa, dan makna pada kanvas kosong. Tentu dengan goresan tebal cat yang menggumpal atau sapuan tipis.

*Penulis seperti petani, AI hanya cangkul.*
Cangkul bisa mempercepat pengolahan tanah, tetapi benih, kesabaran, dan doa tetap milik sang petani. *Dari tangannya lahir padi yang berisi, bukan sekadar batang kosong.*

*Penulis adalah nahkoda, AI hanyalah kompas*.
Kompas bisa menunjukkan arah, tetapi kapal tetap membutuhkan tangan manusia yang memegang kendali agar tidak karam.

*Penulis itu koki, AI hanyalah pisau dapur.*
Pisau bisa memotong cepat, tetapi citarasa masakan lahir dari intuisi dan hati sang koki.

Seorang  koki tak sekedar hafal komposisi resep.

Untuk masakan yang sama di hari ini bisa beda dengan kemarin --dalam penggunaan bawang putih atau pun bawang merahnya. Dia tidak terpaku hanya pada jumlah dan beratnya, sebab itu bisa dibedakannya --jika  kualitasnya berbeda. *Bisa ditambah atau dikuranginya, demi menghasilkan cita-rasa yang sama*.

Dengan metafora ini, menjadi jelas: AI memang mempercepat, tetapi ruhnya tetap milik penulis.

*Menjadi Penulis Merdeka*

Penulis artikel ini menolak kekhawatiran itu. Baginya, penulis yang merdeka adalah mereka yang menjaga keaslian prompt-nya, meramu dan memodifikasi sendiri, tidak hanya bergantung pada template. Dengan begitu, AI menjadi sekutu, bukan pengganti.

Maka, setiap kali jari-jarinya menekan huruf di papan ketik, ia tahu: yang lahir bukan sekadar kata, melainkan denyut kehidupan.

Tulisan-tulisan itu ibarat anak sungai yang mengalir ke samudra, membawa cerita manusia yang tak tergantikan oleh mesin. Tak ada sungai yang alurnya sama, lintasannya pun pasti beda.

*Kesimpulan*

AI memang mampu menulis cepat, rapi, dan meniru siapa pun. Namun, ruh tulisan lahir dari manusia. AI hanyalah alat, seperti kuas bagi pelukis atau kamera bagi fotografer.

Perlu kita garis bawahi, kuas yang sama, kamera yang sama --  *hasilnya akan berbeda* bila pelukis dan fotografernya *berbeda*. Walau obyek yang difoto atau dilukis --persis sama.

Penulis yang bijak memperlakukannya sebagai sahabat, bukan majikan.

*Hikmah*

Teknologi seharusnya memperdalam kemanusiaan, bukan menghapusnya. Justru dengan AI, kita diingatkan kembali bahwa nilai tertinggi dari tulisan adalah keunikan jiwa penulis itu sendiri.

*Pelajaran*

Jangan khawatir tergantikan mesin---jadilah penulis yang menghadirkan nyawa dalam tulisan.

AI bisa membantu, tetapi hasil akhirnya tetap perlu sentuhan manusia.

Menjadi penulis merdeka berarti menjaga keaslian prompt, gagasan, dan sidik pena kita sendiri.

Seperti sabda Rasulullah : "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia." (HR. Ahmad). 

Tulisan kita, bila lahir dari hati, insya Allah akan memberi manfaat yang jauh melampaui kecerdasan buatan.

__________

Pagedangan, BSD, Kab. Tangerang, Rabu 17/09/2025 22:21:14
Ditulis terinspirasi e-book yang tautannya dari Ibu Dini Masitah. Ibu Dini, tks.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun