Cerpen Kontemplatif  | *Seprei yang Mengingat Langit*
DikToko
(Soetiyastoko)
Herliany Sintalaya terbangun oleh sepi yang menggigit. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 02.00, sebuah wilayah waktu yang sunyi dan tak bertuan.
Matanya berkedip-kedip menyesuaikan diri dengan kegelapan yang tidak lagi sepenuhnya gelap bagi matanya yang berusia enam puluh delapan tahun.Â
Tanpa sadar, telapak tangannya yang keriput mulai menyusuri permukaan seprei katun yang dingin. Meraba-raba, mencari sesuatu yang seharusnya ada di sana: sebuah kehangatan, sebuah kepastian, sebuah tangan yang gempal berotot yang selalu siap mendekap dan menjadi dermaga baginya di tengah malam yang rentan seperti ini.
Lalu, kesadaran pun datang, pelan namun pasti, bagai tetes air yang menembus batu karang. Pencariannya sia-sia. Tangan yang ia rindukan itu telah berpulang, dan tubuh yang dulu menjadi rumah baginya kini telah kembali menjadi debu.
Kubur itu berjarak hanya sepelemparan batu dari jendela mobil tua-nya, di bawah nisan marmer yang kemarin pagi ia peluk dalam doa.
Herliany Sintalaya, duduk sejenak di tepi ranjang, sebelum tertatih menuju kamar mandi.
Sesaat kemudian tangan basahnya menghamparkan sajadah di situ. Tempat yang sama setiap kali berdiri dan getar bisikan takbir.
Bedanya --kini tak ada imam di depannya. Tak ada anak-anak disekitarnya. Benar-benar sendiri dan berjuang untuk khusyuk.
Kenangan-kenangan manis itu datang berondongan: jawilan nakal saat ia melintas, pelukan dari belakang yang membuatnya terkejut sekaligus tersipu, gandengan tangan yang tak pernah lepas di keramaian, dan sentuhan halus di dagunya saat mobil meluncur di jalan raya. Semua itu kini adalah museum pribadi yang hanya bisa ia kunjungi dalam lamunan.
Namun, kesendiriannya tidaklah kosong. Ia telah belajar menjadi kurator bagi museum hatinya sendiri. Daripada tenggelam, ia memilih untuk mengalirkan kenangan-kenangan itu menjadi kalimat-kalimat indah di layar laptopnya.
Tulisannya adalah lukisan dengan kata-kata---lembut, liris, penuh metafora dan analogi tentang kehilangan, yang bukan sebagai kekurangan, tetapi sebagai ruang baru untuk diisi dengan cara yang berbeda.