Tulisan itu menjadi salah satu tulisannya yang paling banyak dibagikan. Rina, yang membacanya dari tempat tidurnya, mengirimkan pesan, "Terima kasih telah mengubah iriku menjadi pemahaman."
*Pewaris yang Tak Terduga*
Beberapa bulan kemudian, Rina meninggal dengan tenang. Herlin hadir dalam suasana hening. Putri Rina, seorang wanita muda bernama Maya, menghampirinya usai pemakaman. "Tante Herlin," ucap Maya dengan suara bergetar. "Ibu sering bicara tentang Tante. Dia meninggalkan sesuatu untuk Ibu." Dia menyodorkan sebuah jurnal tua. "Ibu bilang,dia iri pada cara Ibu menulis. Sejak tahu sakitnya, dia mulai menulis juga. Dia ingin Ibu yang membacanya pertama kali."
Herlin membuka jurnal itu. Di dalamnya, bukan kumpulan keluhan, tetapi puisi-puisi pendek dan refleksi Rina tentang hidup, penyesalan, dan harapan yang tersisa. Tulisannya kasar, jujur, dan penuh luka, tetapi justru di situlah keindahannya. Di halaman terakhir, tertulis:Â
"Untuk Herlin, yang mengajariku bahwa di ujung usia, peran terbaik adalah menjadi diri yang jujur. Terima kasih telah menjadi teman di perantauan terakhirku."
Herliany Sintalaya pun menangis. Ia menyadari bahwa perannya kini bergeser lagi.Â
Bukan hanya sebagai penulis untuk dirinya sendiri, tetapi juga sebagai penjaga cerita sahabatnya. Ia meneruskan warisan Rina dengan membagikan beberapa tulisannya (dengan izin Maya), menunjukkan bahwa di setiap usia dan keadaan, manusia bisa memulai peran baru: sebagai pemberi inspirasi, sebagai pendengar, dan sebagai penjaga memori.
Penutup: Tetes yang Bermuara di Sudut Mata
Kembali di kamarnya, Herlin menyentuh seprei itu sekali lagi. Namun kali ini, ia tersenyum. Tangan yang ia cari dulu memang tak ada, tetapi kini ia merasakan adanya tangan-tangan lain: tangan anak-anak yang mengurusnya dari jauh, tangan Rina yang telah mempercayakan ceritanya, dan tangan Maya yang meneruskannya.
Hidup ini bagai serpih-salju yang berhamburan, pikirnya. Ada yang meleleh di genggaman, menjadi air yang menyejukkan jiwa. Dan jika ada tetes yang bermuara di sudut mata, ia tak lagi buru-buru menghapusnya.Â
Ia biarkan tetasan itu mengalir, karena itu adalah bukti bahwa ia pernah mencintai, kehilangan, dan tetap menemukan cara baru untuk bergembira.Â