Era Jempol yang Tak Pernah Istirahat dan Tanpa Filter
Di zaman serba digital seperti saat ini, rasa-rasanya sebuah jempol bisa lebih menentukan reputasi daripada apa yang sebenarnya terkandung dalam serangkaian kata-kata. Sekali ketukan layar, lalu komentar itu terbang, bisa dibaca oleh ribuan atau bahkan jutaan orang. Ironisnya, etika yang kita junjung di dunia nyata terkadang hilang begitu saja ketika kita masuk ke ruang maya.
Jarak antar layar membuat kata-kata pedas terasa ringan untuk diucapkan. Tanpa memandang ekspresi wajah lawan atau mendengar nada bicaranya, kita sering kali lupa bahwa di balik layar ada manusia yang bisa tersakiti sama seperti kita. Juga ilusi anonimitas yang seolah memicu kebebasan berbicara tanpa adanya risiko, padahal karakter nyata kita terekam jelas di jejak digital dan itu akan terpampang di sana selamanya, tak bisa benar-benar dihapuskan.
Jempol Lebih Cepat daripada Otak
Mari introspeksi dan mengaku, sudah berapa kali kita langsung mengomentari sesuatu di internet tanpa berpikir panjang? Impulsifitas emosi seolah 'merasuki' dan menggerakkan jempol kita tanpa otak memberi perintah; ikut-ikutan, selalu merasa paling tahu atau memang sekadar ingin nyinyir saja. Karenanya ruang-ruang digital yang sebenarnya tanpa batas itu kini sering terasa sesak. Sesak oleh orang-orang yang lebih ingin berkomentar daripada mendengar dan mencerna apa yang sudah ia baca.
Pernahkah Anda berpikir, bahwa satu saja jempol yang tak terkendali dapat memicu hujatan massal atau kekerasan simbolik. Contoh nyatanya seperti ada beberapa selebriti atau aktris yang sampai menutup akun karena dihujat mengenai pemikirannya, bully online, body‑shaming. Figur dan pejabat publik adalah salah dua dari sosok-sosok orang di internet yang kolom komentar sosial medianya sangat gampang dipenuhi komentar-komentar negatif sejak unggahan pertama, bahkan sebelum postingannya dibaca utuh. Unggahan sederhana seperti foto saat sedang makan, kemudian tiba‑tiba direspons dengan komentar pedas “Makan mulu, nggak mikirin orang susah ya?” lalu di kolom komentar kemudian memicu perdebatan tak perlu antara pendukung dan penghujat si figur publik.
Yaa, saya tahu seringkali orang-orang terkenal itu berbicara ngelantur, bertindak bodoh seolah tanpa mereka pikirkan dahulu bahwa nama besar mereka akan mempengaruhi banyak hal. Ya, saya setuju untuk kebodohan-kebodohan itu bolehlah mereka diingatkan bertapa tajamnya jari-jari netizen ini. TAPI SOAL MAKAN, hey. Ini tuh makan, lho. Apa yang salah dengan makan? Menurut beberapa orang mereka seolah pamer dan tidak memikirkan nasib orang miskin? Ya sudah, lewati saja postingannya. Itu bukan sesuatu hal yang harus kita ingatkan sambil memarahi mereka. Ada orang lain yang mengurusi kemiskinan. Damaikan hatimu, redam emosi. Belajar lebih stoik lagi, sana..
Data Survei Singkat: Ada Asa & Ada Kekhawatiran
Menurut sebuah survei (yang pernah viral pada masanya) Digital Civility Index (DCI) yang digagas Microsoft (2020) menyatakan bahwa Netizen-Netizen Indonesia berada di peringkat terbawah se-Asia Tenggara dalam hal kesopanan digital, dengan skor 76 poin. Tren ini mengalami kenaikan dari yang sebelumnya 67 poin pada tahun 2019 (semakin tinggi angkanya, maka semakin buruk sopan santunnya). Terlepas dari bagaimana metodologinya, survei ini setidaknya menunjukkan penurunan adab yang cukup tajam, setidaknya ketika orang-orang ini berada di dunia maya.
Lain survei, lain hari, lain hasil.
Pada tahun 2022, Kominfo dan Katadata merangkum dan mempublikasikan Laporan Literasi Digital dengan nilai indeks untuk pilar Digital Ethics mencapai 3,68 dari skala 1–5, naik dari 3,53 pada tahun 2021. Artinya adalah 71,2% responden setuju untuk tidak mengajak orang berkomentar negatif di media sosial; skor untuk tidak membagikan tangkapan layar percakapan pribadi pun tinggi, sekitar 3,97. Apakah ini artinya sebagian masyarakat sudah mulai memahami pentingnya etika digital? Atau takut karena diancam UU ITE? Mengingat tahun-tahun itu kan sedang ramai soal penggunaan UU ITE untuk menjerat orang masuk ke "hotel prodeo" karena postingan-postingannya.
Banyak komentar netizen dalam dan luar negeri yang menangkap paradoks dalam survei-survei tersebut. Indonesia dikenal sangat ramah di dunia nyata, tapi ternyata saat berada di ruang digital sering kali kita dianggap beringas. Ironi yang membuat kita selayaknya merenung.
Mari Menata Ulang Sopan Santun Digital
Beberapa langkah sederhana untuk mulai membenahi adab digital:
- Berhenti sejenak sebelum mengirimkan komentar. Bayangkan komentar itu Anda sendiri yang menerimanya; apakah Anda juga akan tersinggung, marah, sedih?
- Pikirkan baik-baik penggunaan kata. Jikapun harus berkomentar, gunakan kata yang baik dan santun, agar kritik tetap tersampaikan, tapi adab tetap dikedepankan.
- Hargai ruang orang lain. Tidak semua postingan-postingan orang perlu direspons, apalagi direspons dengan sinis atau kemarahan.
- Sadar jejak digital. Kata-kata yang Anda kirimkan di dunia maya itu masuk dan pasti disimpan di suatu server. Semua hal yang bersifat online itu membutuhkan sebuah server. Apapun yang kita lakukan di internet, membangun citra kita, entah baik atau buruk.