Maka, setiap kali jari-jarinya menekan huruf di papan ketik, ia tahu: yang lahir bukan sekadar kata, melainkan denyut kehidupan.
Tulisan-tulisan itu ibarat anak sungai yang mengalir ke samudra, membawa cerita manusia yang tak tergantikan oleh mesin. Tak ada sungai yang alurnya sama, lintasannya pun pasti beda.
*Kesimpulan*
AI memang mampu menulis cepat, rapi, dan meniru siapa pun. Namun, ruh tulisan lahir dari manusia. AI hanyalah alat, seperti kuas bagi pelukis atau kamera bagi fotografer.
Perlu kita garis bawahi, kuas yang sama, kamera yang sama -- Â *hasilnya akan berbeda* bila pelukis dan fotografernya *berbeda*. Walau obyek yang difoto atau dilukis --persis sama.
Penulis yang bijak memperlakukannya sebagai sahabat, bukan majikan.
*Hikmah*
Teknologi seharusnya memperdalam kemanusiaan, bukan menghapusnya. Justru dengan AI, kita diingatkan kembali bahwa nilai tertinggi dari tulisan adalah keunikan jiwa penulis itu sendiri.
*Pelajaran*
Jangan khawatir tergantikan mesin---jadilah penulis yang menghadirkan nyawa dalam tulisan.
AI bisa membantu, tetapi hasil akhirnya tetap perlu sentuhan manusia.