Demo terus berlangsung sejak 25 Agustus 2025. Kata yang kerap kita dengar adalah "hak." Apakah merusak juga termasuk hak?
Demo atau aksi penyampaian pendapat adalah salah satu hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi memberikan hak untuk secara bebas berpendapat, berkumpul, dan berserikat. Hak ini diturunkan ke beberapa Undang-Undang.
Berikut adalah beberapa hak yang melekat terkait dengan demo: Hak kebebasan berpendapat dan berekspresi; Hak berkumpul dan berserikat; Hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum; Hak mendapat perlindungan hukum; Hak atas kebebasan informasi. Â
Namun, hak ini bukan tanpa batas. Setiap warga negara yang ingin menyampaikan aspirasinya, wajib untuk tidak berlaku anarkis atau merusak fasilitas umum. Mereka atau kita juga terikat untuk tidak mengganggu ketertiban dan keamanan. Berdasarkan Pasal 6 UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, menyebutkan demonstrasi wajib menghormati: Hak orang lain, moral, ketertiban umum, keamanan nasional, dan keutuhan persatuan bangsa.
Hal berikutnya yang kerap dilupakan oleh para demonstran adalah menghormati hak atas kesehatan dan kenyamanan publik. Lokasi mereka melakukan aksi adalah tempat yang juga dipakai oleh orang lain dengan kepentingan yang juga perlu dihormati. Oleh karena itu, aksi demo seharusnya tidak menghalangi lalu lintas secara total atau tidak menggunakan cara yang membahayakan orang lain.
Hak yang Tidak Mutlak
Di tengah perdebatan, kerap kita dengar argumentasi, "Lah, ini hakku!" Ada banyak cara menyampaikan ragam haknya. Bahkan tak jarang, nada yang mengikutinya cukup tinggi. Hak dimaknai sebagai sesuatu yang melekat pada diri seseorang dan pantas diperjuangkan atau dipertahankan saat diusik.
Pertanyaannya kemudian, apakah hak itu bersifat mutlak? Jika kembali menilik hak warga negara untuk demo, maka kita diajak untuk menyadari bahwa ada hal-hal yang membatasi hak tersebut. Dengan kata lain, "hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain." Menurut saya, ini adalah kunci untuk kita semua bisa mawas diri. Kalimat itu menjadi bentuk kesadaran diri sebelum kita menyuarakan hak-hak kita.
Beberapa filsuf dalam ajarannya sudah mengingatkan kita untuk bijaksana dalam bertindak. Jangan sampai, niat baik kita untuk menyampaikan hak justru di saat bersamaan menciderai hak-hak orang lain. Pendapat pertama datang dari John Locke (1632--1704). Filsuf kelahiran Inggris 29 Agustus 1632 itu mengatakan setiap manusia punya hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Locke yang berjuluk Bapak Liberalisme itu menyebut hak itu sebagai Natural Rights atau hak-hak alamiah.
Locke yang pernah berinteraksi dengan Isaac Newton tersebut mengingatkan bahwa kebebasan seseorang, penggunaan haknya, tidak boleh melanggar hak orang lain. Maka ia mengusulkan dalam sistem masyarakat ada social contract (kontrak sosial), atau dalam konteks yang lebih kompleks harus ada pemerintahan. Tujuannya adalah supaya hak-hak setiap orang dilindungi serta tidak saling merugikan.