Sehebat apa pun mesin, ia tidak punya denyut nadi, tidak punya luka batin, tidak punya riwayat tawa dan air mata. Kekayaan referensi yang dimiliki AI ibarat perpustakaan raksasa, tetapi rak-rak buku itu dingin, kaku, tanpa roh.
AI bisa meniru, bisa merakit kalimat dengan rapih, tetapi nyawa sebuah tulisan tidak lahir dari copy paste, melainkan dari sidik pena yang unik, dari pengalaman hidup, dari pergulatan batin seorang manusia.
Antara Penulis Kodian dan Penulis Sejati
Kita tidak bisa menutup mata: ada banyak "penulis kodian." Penulis yang mengejawantahkan -- tuntutan industri. Penulis tukang, menulis berdasarkan order. Tidak ada yang salah. Mereka yang hanya mengganti frasa, mengubah angka, atau memodifikasi kalimat demi terlihat baru. Semua atas perintah.
Buku pelajaran dari SD hingga perguruan tinggi penuh dengan pola ini.
Kini, dengan AI, pekerjaan semacam itu bahkan bisa selesai dalam hitungan detik.
Prompt spesifik-lah yang menjadi kunci. Dengan menyalin sebuah artikel lalu memintanya ditiru, lahirlah ribuan karya tiruan dalam sekejap. Cepat, mudah, tapi dingin---seperti pabrik yang mengeluarkan barang dalam jumlah banyak tanpa perasaan.
Namun penulis sejati tahu bahwa tulisan bukan sekadar rangkaian huruf. Tulisan adalah pahatan jiwa.
Maka, AI tidak pernah lebih dari sekadar batu kasar yang harus diukir kembali. *Jika hasilnya ingin bernyawa, penulis harus turun tangan*: memberi sentuhan kuas, menambahkan tekstur, menyematkan keunikan.
*AI sebagai Alat, Bukan Penguasa*
Sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa seni tidak pernah mati oleh teknologi.
Kamera tidak membunuh pelukis, justru melahirkan bentuk seni baru dalam fotografi.
Musik digital tidak menghapus orkestra, malah melahirkan genre-genre baru. Demikian pula AI---ia membuka ruang lain dalam kepenulisan.
Kuncinya adalah sikap penulis. Jika ia tunduk penuh, maka ia hanya jadi operator mesin. Tetapi bila ia memandang AI *sebagai alat bantu*, ia tetap merdeka. Ia bisa lebih cepat, lebih efisien, tetapi tetap menjaga sidik penanya sendiri.