Teknologi memang bisa menyalin, tetapi tidak bisa merasakan. Ia bisa meniru, tetapi tidak bisa berdoa. Ia bisa membuat teks panjang, tetapi tidak bisa menggigil oleh rindu.
*Ilustrasi Perbandingan:*
*Penulis ibarat pelukis, AI hanyalah kuas.*
Kuas bisa digunakan siapa saja, tetapi hanya pelukis yang bisa memberi warna, rasa, dan makna pada kanvas kosong. Tentu dengan goresan tebal cat yang menggumpal atau sapuan tipis.
*Penulis seperti petani, AI hanya cangkul.*
Cangkul bisa mempercepat pengolahan tanah, tetapi benih, kesabaran, dan doa tetap milik sang petani. *Dari tangannya lahir padi yang berisi, bukan sekadar batang kosong.*
*Penulis adalah nahkoda, AI hanyalah kompas*.
Kompas bisa menunjukkan arah, tetapi kapal tetap membutuhkan tangan manusia yang memegang kendali agar tidak karam.
*Penulis itu koki, AI hanyalah pisau dapur.*
Pisau bisa memotong cepat, tetapi citarasa masakan lahir dari intuisi dan hati sang koki.
Seorang  koki tak sekedar hafal komposisi resep.
Untuk masakan yang sama di hari ini bisa beda dengan kemarin --dalam penggunaan bawang putih atau pun bawang merahnya. Dia tidak terpaku hanya pada jumlah dan beratnya, sebab itu bisa dibedakannya --jika  kualitasnya berbeda. *Bisa ditambah atau dikuranginya, demi menghasilkan cita-rasa yang sama*.
Dengan metafora ini, menjadi jelas: AI memang mempercepat, tetapi ruhnya tetap milik penulis.
*Menjadi Penulis Merdeka*
Penulis artikel ini menolak kekhawatiran itu. Baginya, penulis yang merdeka adalah mereka yang menjaga keaslian prompt-nya, meramu dan memodifikasi sendiri, tidak hanya bergantung pada template. Dengan begitu, AI menjadi sekutu, bukan pengganti.