"Boleh, semoga tidak benar jadi rasamu dan rasaku selalu sama. Kalau benar ini ada gejala petaka besar Nung?"
"Ah lambemu Nang, sejak kapan kamu bermain mistik-mistikan begitu? Maka cari tontonan yang sehat, jangan ditonton yang bisa membuka jendela otakmu kemasukan virus horor. Masa hobinya nonton wayang yang katanya sarat tuntunan, kok jadi berbau hohor film terowongan Casablanca, meragukan ah," selidiknya penuh tawa.
"Emang di wayang tidak ada horornya, justru di wayang kulit itu selalu horor cuma ki dalang mengemasnya ciamik jadi nggak serem."
"Ya pasti nggak serem wong paling diceritanya doang yang serem, wujudnya kan wayang kulit. Visualnya ya hanya kayak gitu jadi sugestinya sudah berkurang. Kalau film atau drama visualisasinya beda sekali. Pelaku horornya dibikin sesuai kenyataan. Misalnya kuntilanak, gendurwo, pocong, wewegombel itu dibikin mirip aslinya, pasti seremnya dapatlah."
"Uh, sudah keburu basi kuisnya, bosan tahu, ceritanya kepanjangan hanya soal "Ibu apa anaknya ibu" yang didkusikan kok asosiasinya melebar?" Nang protes
"Gini semoga baik-baik saja ya hubungan kita. Soalnya jawabanku pasti benar apa yang kamu maksudkan, tetapi sangat salah yang kamu perkirakan. Maksudmu anaknya ibu kan? Itu artinya ada cowok baru anaknya ibu, tapi ibu orang lain bukan ibuku. Sebab Nang sudah tahu, Nung tidak punya keluarga cowok dari setengah lusin jumlah saudara kandung. Jelasnya yang Nang maksud ada cowok lain kan?. Benar seperti itu kan yang Nang maksud? Tapi jelas tidak benar apa yang kau duga itu. Sungguh!" jelasnya meyakinkan.
"Ya semoga benar?"
"Ya sudahlah hubungan kita memang jarak jauh ya susah ngejelasin. Kalau ada dugaan macam-macam juga sah-sah saja. Tapi itu salah, dugaan baper yang hanya akan merusak hubungan saja. Kita sudah satu tahun LDR lho Nang, selama ini tidak terjadi apa-apa. Jangan dirusak oleh dugaan-dugaanmu yang menyesatkan itu. Ini tidak sekedar horor tetapi malapetaka. Akibat kebutaanmu menduga dan keblingeranmu dalam berprasangka."
"Sudah...sudah...inilah yang Nang suka darimu kalau untuk ngoceh paling pintar, hehe," cowok itu memecah gelembung emosi yang sedang muncul di hati Nung.
"Gonang..." teriak Nunung nadanya mendelik. "Ini argumen benar untuk mencuci bercak-bercak debu yang ada di pikiranmu, lho kok dianggap ocehan doang," Nung protes.
"Kalau sudah seperti ini, Nang jadi ingin kecup pipimu Nung?" godanya lagi.