Disclaimer: Roh harimau atau harimau jadi-jadian atau dalam bahasa Sundanya, maung jajaden, yang di Kota Bogor, itu sebenarnya, tak berkelompok seperti dalam bab ini.
Tapi roh harimau yang di Gunung Salak membentuk kelompok karena mungkin hutannya masih lebat. Jadi, tidak terpencar seperti yang di Kota Bogor.
Kalau di lereng Gunung Salak tidak terasa kehadiran roh harimau. Terlalu banyak makhluk negatif lain.
Silakan membaca petualangan Ima di bawah ini. Trims banyak =)
__________________________________
Aku cukup mengetahui dunia hingga kehilangan hampir semua kemampuanku untuk terkejut oleh hal apa pun.
-Charles Dickens.
___________________________________
Â
Tak terasa sudah 4 bulan aku tinggal di rumah gadai ini. Kejadian demi kejadian mistis berlangsung hingga puncaknya saat qorin yang menyerupai Almarhum Bapak menganggu seisi rumah, khususnya Dika.
Â
Aku terkikik mengingat Dika yang ngompol karena diganggu qorin yang berupa kepala gosong Almarhum Bapak. Untunglah sejak saat itu, si qorin belum menampakkan diri kembali berkat Surat Yassin yang kami lantunkan setiap malam.
Â
Aku: "Hallo! Alam, kok lama sekali datangnya? Kau lupa janjian kita? Aku sudah menunggu setengah jam di lereng bukit."
Â
Alam: "Maaf. Aku masih sibuk mengganti air kolam ikan. Kupikir akan segera selesai. Ternyata airnya kecil."
Â
Aku: "Jadi, bagaimana? Aku jenuh menunggu."
Â
Alam: "Kau berjalan-jalanlah dulu di sekitar lereng. Tapi jangan pergi ke area berbahaya. Aku akan selesai sekitar 45 menit lagi."
Â
Aku: "Baiklah!"
Â
Untuk membunuh waktu, aku pun menyelusuri lereng. Ada gemericik air di bagian belakang bukit? Aku pun menghampiri sumber suara tersebut. Ternyata ada mulut sungai bawah tanah. Sepertinya air hujan deras membuat sungai bawah tanah meluap dan mencari jalan keluar sendiri melalui lubang di dinding lereng.
Â
Airnya tampak begitu jernih. Warnanya gemerlap keemas-emasan karena ditimpa sinar mentari. Ia mengundangku untuk menyentuhnya. Kuraup air yang menggoda tersebut dan puas dengan kesejukkannya. Dinding lereng itu dipenuhi lumut hijau yang menggantung dan menempel di bebatuan hingga terkesan artistik.
Â
Tiba-tiba aku tersentak. Tak jauh dari tempat aku berdiri, aku melihat sesuatu yang menyangkut di bebatuan dekat mulut sungai kecil tersebut. Rasa penasaran mendorongku untuk menghampirinya.
Â
"AAARGH!" teriakku. Aku hampir pingsan ketika menyadari benda misterius itu ialah kerangka manusia dan kerangka bayi. Makam yang amblas dan kerangkanya terbawa aliran sungai bawah tanah atau korban pembunuhan?
Â
Tanpa kusadari, tiba-tiba lima pria dewasa berusia 25-30 tahun yang tampan dan kekar, berdiri tepat di belakang punggungku. Dengan gesit, mereka melompat untuk berpencar. Dalam sedetik aku berada dalam kepungan mereka.Â
Â
Kelima pria tersebut berpakaian layaknya petani dengan kaus santai dan celana panjang. Badik dan arit di genggaman tangan mereka, tampak begitu mengancam.
Â
"Apa mau kalian? Aku tak memiliki uang sepeser pun," seruku panik. Tak mungkin aku bisa meloloskan diri.
Â
Aneh sekali para pria tersebut! Walaupun kulit mereka sawo matang, mata mereka hijau neon seperti mata harimau! Bahkan, keanggunan wajah mereka mengingatkanku pada si raja hutan. Struktur tulang pipi dan rahang yang kokoh bak pahatan.
Â
"A...apa aku mengenal kalian?" bisikku.
Â
"Mengapa kau berpikir seperti itu?" tanya pria yang wajahnya paling sangar. Suaranya sangat sengau.
Â
"Kalian mengingatkanku pada kelompok harimau jadi-jadian yang menyelamatkanku dari hantu sasamakan di Sungai Cisadane."
Â
"Kau salah! Kami tak pernah berhubungan dengan manusia mana pun!"
Â
Dalam sedetik, kelima petani gadungan tersebut berubah menjadi kelima harimau jantan. Aku yakin benar mereka kelompok harimau jadi-jadian yang kutemui di tepi Sungai Cisadane. Tapi jika mereka tak mengakuinya, apa ini kelompok harimau jadi-jadian yang lain?Â
Â
Perhatianku tertarik pada salah satu harimau kurus yang menghindar dari tatapanku. Tak salah lagi! Itu harimau yang dulu sangat manja padaku. Entah mengapa mereka berbohong.
Â
Berbeda dengan pertemuan pertama yang menyenangkan, ekspresi wajah mereka saat ini begitu tegang dan kaku. Mata mereka bersinar hijau terang seperti lampu proyektor.
Â
Kelompok harimau jadi-jadian tersebut kembali meraung sangat keras hingga gendang telingaku terasa hampir pecah. Dalam sedetik mereka berubah kembali menjadi manusia. Ekspresi wajah mereka tampak bengis.
Â
Mereka serempak berteriak, "PERGI! JANGAN PERNAH KEMBALI KE SINI!"
***
Dengan napas memburu, aku duduk di sebatang pohon jati yang tumbang di tepi jalan. Tadi sekuat tenaga aku berlari menjauhi lereng hingga tiba di area ini.Â
Â
Polisi: "Hallo! Dengan Kantor Polsek Cijeruk, dengan siapa saya berbicara?"
Â
Aku: "Hallo! Saya Ima, Pak Polisi. Saya menemukan ada sebuah kerangka manusia. Entah pria atau perempuan. Juga kerangka bayi."
Â
Setelah memberitahu lokasi penemuan kerangka dan identitasku, aku pun menutup sambungan telepon. Polisi akan segera menyidik tempat kejadian perkara. Aku pun diminta menunggu kedatangan mereka. Oleh karena itu, aku pun duduk menunggu di bangku warung es kopi. Peluh bercucuran pada pelipisku. Penemuan kerangka manusia sungguh menguras psikis. Sementara pertemuan dengan kelompok harimau jadi-jadian yang mengusirku, sungguh menguras fisik.
Â
"Neng Ima baru berolahraga, ya? Keringatnya banyak sekali," seru Bu Nia dengan ramah.Â
Â
Aku menyeringai. "Iya, Bu. Aku ingin lebih langsing."
Â
"Ah, Neng sudah sekurus lidi. Jika bertambah kurus lagi, nanti tak kuat bekerja seperti Ibu," ujar Bu Nia sembari memamerkan lengan kanannya yang seperti ubi Amazone raksasa.Â
Â
Gelang-gelang emas Bu Nia bergemerincing riang. Gemerincing pertama menyebarkan pesona. Gemerincing kedua mendatangkan iri dengki. Gemerincing ketiga menyebabkan hawa napsu ingin memiliki. Ia sengaja memilih aksesoris ini karena kemilaunya menyilaukan mata siapa pun yang melihatnya. Ada kepuasan tersendiri jika sesama kaum hawa melirik perhiasan emasnya dengan sirik. Tak terkecuali dengan gadis muda jelita di hadapannya, yang bukan hanya melirik, tapi malah menatap perhiasan emasnya dengan penuh minat.
Â
"Bu Nia hebat sekali! Gelang emasnya besar-besar. Pasti bisnis warung kopi ini maju sekali hingga Ibu bisa membeli perhiasan emas sebagus ini," pujiku tulus. Benar saja dugaanku bahwa Bu Nia memang menunggu reaksiku atas gelang emas kebanggaannya.
Â
"Neng Ima bisa saja. Gelang emas yang Ibu pakai ini sih yang paling sederhana. Warnanya juga yang paling kusam. Koleksi perhiasan emas Ibu di rumah jauh lebih bagus dan besar," ujar Bu Nia dengan dada membusung.
Â
"Waw! Mantap! Ibu juga suka memakai perhiasan emas yang ada di rumah?" tanyaku sembari menyeruput es cappuchino.
Â
 Bu Nia menggelengkan kepala dengan sedih. "Tetangga tak suka jika Ibu memakainya. Mereka berkata Ibu riya!" Sahut Bu Nia sembari mencibir. "Padahal mereka saja yang iri hati. Sirik tanda tak mampu."
Â
 Aku tertawa. "Tak usah dipedulikan, Bu. Hanya hati-hati saja dengan pencuri."
Â
 "Tenang saja. Warga sekitar warung ini merupakan keluarga besar Ibu. Jika ada pencuri, Ibu tinggal teriak. Mereka pasti akan menyerbu si pencuri."
Â
 "Berapa harga minumannya, Bu?"
Â
 "Tak usah membayar."
Â
 "Nanti Ibu rugi."
Â
 "Ibu sudah senang ada Neng Ima yang menemani Ibu berbincang. Jenuh sekali tinggal di sini. Sepi seperti kuburan!"
Â
 "Terima kasih banyak, Bu. Semoga Ibu banyak rezeki. Aku izin tinggal dulu di sini. Masih menunggu kedatangan Alam dan beberapa kenalan," sahutku. Aku sengaja tak memberitahu Bu Nia akan kedatangan polisi. Tak ada salahnya berhati-hati, walaupun itu terhadap Bu Nia yang tampak polos.
Â
 Bu Nia menganggukkan kepala. Kemudian, ia menatapku dengan pandangan ganjil. "Neng Ima, jika Ibu berkata seperti ini, Neng akan marah pada Ibu?"
Â
 "Tentu saja tidak. Ada apa, Bu?"
Â
 "Ibu mendengar Neng Ima pacaran dengan Ujang Alam, anak Bu Amar?"
Â
 "Iya, benar."
Â
 "Neng harus tahu bahwa Alam itu bukan anak kandung Pak dan Bu Amar. Ia hanya anak angkat mereka yang dibesarkan sejak bayi merah. Dan Alam sangat mencintai Fira, kakak perempuannya yang sebenarnya tidak ada hubungan darah dengannya. Mereka memang menjalin kasih. Beberapa petani pernah memergoki mereka pacaran."
Â
 Aku tertegun. Terus terang aku bingung harus bereaksi apa.
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI