Mohon tunggu...
SEWU BEJO
SEWU BEJO Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Merintang Rindu (Bagian #1)

29 September 2018   23:58 Diperbarui: 29 September 2018   23:57 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Jalan Seruni memberi banyak kenangan bagi orang-orang yang pernah melewatinya. Letaknya tak jauh dari jantung kota Demak, dekat sekali dengan terminal kota. Pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan Seruni  memang membuat sejuk. Tapi, bukan sejuknya saja yang membuat orang-orang lalu-lalang di sepanjang jalan itu. Hampir sepanjang jalan terdapat bangku kayu yang ditata berjejer. Ada yang duduk memangku dagangan sambil menunggu bus-bus dari kota lain datang; ada pula yang terduduk sekadar berlindung dari terik matahari; termasuk para tunawisma yang tak segan merebahkan badannya dan menjadi bagian dari penghuni bangku-bangku Jalan Seruni. Sebagian yang lain punya kisah sendiri mengapa mereka rela membagi waktu berada di jalan itu.

Senja 1 Juli 1996 nampak seorang wanita paruh baya duduk di salah satu bangku Jalan Seruni; sendirian. Perutnya buncit dan wajahnya nampak pucat pasi. Jika dihitung-hitung pandangannya lebih banyak mengarah ke terminal dibandingkan arah lainnya. Sesekali ia mengelus-ngelus perutnya sambil melihat ke atas; meperhatikan pepohonan. Berkali-kali senja miliknya dilewati dengan aktivitas seperti itu. Entah untuk tujuan apa ia melakukannya; seolah tak adakah hal lain yang lebih menarik untuk ia lakukan. Dan saat langit mulai semakin gelap ia berdiri lalu pulang.

Waktu berlalu begitu cepat bahkan sebelum wanita itu menyadari perutnya semakin membesar. Hari itu pun tiba, wanita itu melahirkan seorang anak perempuan; diberinya nama Asyi. Semenjak Asyi lahir dan tumbuh menjadi seorang anak perempuan nan cantik ia tak lagi menjadi bagian dari bangku Jalan Seruni.

Asyi bersama ibu dan neneknya telah lama menetap di rumah yang terletak di bagian paling Utara Demak kota. Menurut sebagian besar orang, rumah mereka tak begitu besar untuk memuaskan hati penghuninya. Lihat saja, nenek Tik sangat menyukai tanaman. Tak kurang dari seribu jenis tanaman ada di rumah mereka. Ibu Asyi menghabiskan ruang paling banyak; empat ruangan sekaligus menjadi miliknya. Ditambah basemen yang sebagian besar dipenuhi barang-barang koleksi milik almarhum kakek Asyi.

Pertengahan tahun 2002 saat sinar matahari perlahan membuat rumah terasa hangat,

"Braaak..." suara keras datang dari bagian depan rumah.

Dengan cepat Nenek Tik langsung mendatangi sumber suara itu.

"Astagaaa...." Nenek Tik terkejut ketika melihat anak-anak jatuh terduduk diatas etalase tanaman kambojanya.

Kali ini anak-anak kampung sebelah kembali berulah, mereka meloncat melewati pagar rumah karena asyik mengejar layang-layang putus yang tersangkut di atap etalase tanaman kamboja nenek Tik. Bukan hanya kejadian rusaknya atalase tanaman kamboja.  Sebelumnya mereka pernah mengambil dan bermain lempar-lemparan buah markisa muda milik nenek Tik; sampai akhirnya tanaman markisa nenek rusak lalu mati.

"Oooooooooh... pie to le? Petingkah!" Nek Tik menghela nafas hebat sambil melipat lengan bajunya.

Mendengar teriakan nenek, Asyi baru saja pulang setelah bermain sepeda langsung terdiam; turun dari sepedanya lalu meletakkan sepeda miliknya ke tanah dan secepat kilat ia berlari mencari ibunya.

"Ibu!" Asyi berlari menuju ruang kerja ibunya.

 "Mereka merusak tanaman kamboja nenek!" Teriak Asyi. Keras sekali.

Ibu yang sedang melukis di ruang kerjanya menoleh kaget, "Apa yang kau maksud, nak?"

Asyi meloncat ketakutan sambil menunjuk-nunjuk halaman depan.

"Itu, anak-anak itu merusak kamboja nenek." Mata cokelat Asyi membelalak.

"Nenek marah!" kata Asyi sambil menarik baju ibunya.

Ibu langsung berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju halaman depan. Asyi menyelinap dibalik pintu sambil melihat ibunya yang berjalan mendekati neneknya yang sedang mengambil tanaman yang terlepas dari potnya.

"Tak apa bu, aku lebih suka melihat anak-anak bermain lempar-lemparan daripada main  gadged lama-lama." mengegelus punggung nenek sampai tengkuk "Tak apa bu. Kita perbaiki bersama."

"Mereka loncat dari pagar lalu merusak tanaman kambojaku!" nenek memijat-mijat pelipisnya.

Ibu berpikir sejenak, "Lalu dimana mereka sekarang?" Tanya ibu.

"Mblandang." sambil memperbaiki lipatan lengan baju lalu mengeluarkan tanah dari pot-pot yang rusak.

Keesokan harinya setelah pulang sekolah Asyi langsung menyelinap ke basemen rumah. Setiap hari; tanggal hitam atau merah. Asyi selalu mencari-cari sisi sesuatu di basemen.

Segera Asyi membuka pintu basemen. Setelah beberapa langkah ia berjalan masuk, pandangannya tertuju pada tumpukan buku-buku tua dan majalah-majalah edisi lama milik kakeknya. Terakhir kali Ia melihatnya saat tiga hari yang lalu di ruang kerja ibunya; berserakan memenuhi lantai. Sebagian besar buku dan majalah itu sudah tak utuh karena banyak bagian yang berlubang disana-sini akibat dimakan ngengat. Ada banyak laba-laba di basemen. Tak heran rambut pendeknya sering menjadi tak beraturan karena terkena sarang laba-laba.

Basemen rumah bak surga dunia bagi Asyi, Ia pernah menemukan buku tulis yang berisi tempelan-tempelan kertas dari surat kabar tentang cara memasak; buku kostum membuat pola baju; mainan-mainan rusak; pilinan kabel yang berukuran sangat besar; bahkan buku yang berisi gambar-gambar potrait seseorang yang dibuat dengan pensil. Hampir semua barang-barang yang ia temukan sudah usang, tua, dan berdebu.

Bagi Asyi rumahnya bukanlah tempat yang buruk untuk dijelajahi. Asyi dapat menghabiskan waktu berjam-jam di basemen sampai mendengar ibu atau nenek berteriak mencarinya. Asyi membaca setiap puisi, cerpen, dan komik dari majalah yang ia temukan. Sebenarnya banyak hal yang tak ia mengerti. Tapi ia terus membacanya sampai bagian terakhir.

            "Asyi... apa kau disana, nak?" Terdengar teriakan suara seorang wanita dari pintu basemen.

Asyi menoleh ke arah pintu, "Iya..." kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu.

 "Ayo keluarlah, ibu punya sesuatu untukmu." kata Ibu sambil merangkul pundak Asyi.

"Ini memang bukan barang baru." kata Ibu sambil menyodorkan bungkusan.

Asyi tersenyum, "Tak apa bu, terima kasih."

Sebenarnya bukan masalah besar bagi Asyi ketika harus menggunakan barang yang tak baru. Ia tak segila Ibunya dalam dunia seni. Baginya sudah sangat menyenangkan selama masih ada media untuk membuat coretan.

Ibunya bekerja sebagai seorang guru seni, namun Asyi hanya diberikan peralatan seni bekas milik ibunya atau peralatan seni bekas yang didapatkan dari tempat jual rongsokan, karena ditempat itu ibunya seringkali dapat menemukan barang yang menarik dengan harga miring.

Asyi meninggalkan ibunya dan membawa bungkusan itu ke basemen lalu meletakkan di sela-sela rak buku dekat pintu. Segera ia melanjutkan pencarian benda-benda unik yang sempat tertunda.

Sorenya Asyi pergi berjalan-jalan ke sungai dekat rumah bersama sahabatnya, Rin. Asyi sering membantu Rin mencari ikan-ikan kecil di sungai. Mereka menusuk wakul dengan kayu dan menggunakannya untuk mengambil ikan. Sayangnya hari ini dewi fortuna sedang malas menemani mereka.

"Mana ikannya?"

"Apa ini?"

"Lumut hijau yang lembut."

"Aku bosan." keluh Asyi sambil mengangkat-turunkan seroknya.

Mereka tak pernah mendapatkan hari sesial ini sebelumnya. Biasanya mereka selalu mendapatkan banyak ikan dan membawa ikan-ikan itu pulang.

"Ayo kita pulang saja" Kata Asyi yang tak kuat bergumul terlalu lama dengan serok miliknya.

"Hmmm..." Rin mengangguk.

"Lebih baik kita ke halaman belakang rumahku saja." Sahut Asyi dengan penuh semangat. "Kita lihat secepat apa mereka tumbuh." Imbuhnya.

Mereka menyimpan setiap ikan yang mereka dapatkan ke botol dan meletakkannya di halaman belakang rumah Asyi. Rin tak pernah membawa pulang ikan yang ia dapatkan. ia takut pamannya marah.

Sore itu juga, dalam perjalanan pulang diantara tanaman sirih ada seorang seorang gadis mendekap ukulele. Dari tatapannya yang memelas, serta bajunya yang usang; membuat mata Asyi terus memperhatikannya. Terlalu lama Asyi memberikan seluruh perhatiannya sampai gadis itu membalas tatapannya. Sontak Asyi terkaget dan langsung berlari meninggalkan Rin.

"Hoiiii..."

"Asy" Teriak Rin sambil berlari mengikuti Asyi.

"Kenapa kau lari seperti itu?" Rin kesal "Tentu kau tau aku tak akan bisa menyusulmu jika larimu seperti itu" kata Rin sambil terengah-engah.

"Huh huh, maaf" Asyi masih terengah-engah. Nafasnya tak beraturan.

"Ayo ayo lihat ikan kita di belakang." Asyi menarik tangan Rin dan berjalan menuju halaman belakang.

Sesampainya disana, sambil meletakkn seroknya di lantai.

"Lihat, ukuran mereka masih sama seperti kemarin"

"Apa kau sudah memberi makan mereka?"

"Aku berikan beberapa butir makanan ikan tiap kali aku selesai makan"

"Apa itu kurang?"

Rin berdiri dan membawa botol ikan itu ke kran.

"Aku sudah mengganti airnya dua hari yang lalu" ucap Asyi sambil duduk dan mengetuk-ngetuk botol ikannya.

"Mungkin ikannya ingin diganti airnya tiap hari."

"Emmm..."

Asyi berdiri dan duduk lagi sambil memutar matanya, bertanya-tanya kenapa ikan mereka tak bertambah besar. Ia pun berdiri dan mengambil serok dan menyandarkannya di dinding. dan meninggalkan ikan-ikannya.

Saat Asyi berjalan matanya tertarik melihat pintu basemen yang sedikit terbuka. "kreeeek... kreek..."

Tapi hari semakin petang, Ia sadar bahwa ia tak kan berani berlama-lama berada di basemen saat petang. Akhirnya Asyi memutuskan untuk menutup pintu basemen rapat-rapat lalu pergi mandi.

Keesokan harinya, saat Asyi sedang mencari-cari salah satu sandalnya di teras rumah. Tiba-tiba ada pak Pos menghampirinya; sambil menyodorkan paket.

"Dek, ada paket untuk Ibu Kasti. Benar ini alamat Ibu Kasti?"

"Nenek Tik?" Tanya Asyi sambil memiringkan kepalanya.

"Iya, pak. Nenek Kasti itu nenek Tik; nenek utinya Asyi." imbuh Asyi meyakinkan pak Pos.

"Bapak cek nomor rumah sebentar, ya." Pak pos melihat sekeliling lalu mencari di dinding dekat pintu."

"Oh, ketemu. Ya.. cocok." sambil memegang papan nomor rumah Asyi.

Setelah yakin, pak pos memberikan paket pada Asyi "Ini kamu terima ya. Nanti berikan pada nenek uti ya."

 Asyi mengangguk.

"Terima kasih, ya dek" ucap pak Pos sambil menepuk pelan bahu Asyi.

"Iya, pak."

Asyi berjalan menuju kamar nenek lalu meletakkan paket di atas meja.

Tak lama setelah Asyi kembali menuju teras; Rin datang. "Asy, sudah siap? Ayo berangkat!" "Ayo cari ikan" kata Rin bersemangat.

Asyi tak tau pasti apakah hari ini akan menjadi hari terbaik atau sebaliknya untuk mencari ikan. Tapi dengan setengah yakin Asyi mengajak Rin libur mencari ikan.

"Tidak untuk hari ini, Rin. Cari-cari ikannya," Asyi menggelengkan kepalanya.

"Hari ini angin dekat sungai sedang marah kepadaku."

"Lebih baik kita melihat ikan di halaman belakang."

Rin kebingungan dan memalingkan wajahnya ke arah sungai.

"Ayo!" ajak Asyi.

 "Kupikir kita sudah kehabisan botol, ikannya tak akan senang jika harus berdesakan." Asyi kekeh mencari perhatian Rin.

"Botol-botol kita terlalu kecil lho..."

Sambil kebingungan Rin menolak ajakan Asyi "Bagaimana kalau kita cari ikan saja lalu melepaskannya; lalu mencarnya lagi?"

"Lagipula aku tak bisa pergi kemana-mana hari ini, sandalku hilang."

"Sandal?"  Rin melihat sekeliling lalu melihat kaki Asyi.

"Aku pulang saja; mencari botol-botol baru." Rin berpaling kecewa lalu pulang.

Belum ada semenit setelah Rin pulang, Asyi sudah berada basemen. Ia masuk dan terus berjalan melewati tumpukan-tumpukan buku yang pernah ia usik sebelumnya.

"Bruuk..."

Asyi menatap sekeliling. Saat itu ia pun sadar bahwa ia telah menginjak kayu sampai patah dan membuat  jatuh tumpukan buku-buku.

"Ooh... tidak."

"Tunggu.. apa itu?" Asyi melihat sesuatu ditumpukan buku yang berserakan. Setelah lebih jeli memperhatikannya, ia yakin bahwa ia melihat sebuah kotak transparan berwarna merah muda diantara buku-buku itu. Sambil jongkok Asyi menggaruk hidungnya yang gatal lalu mengambil kotak itu dan meletakkannya di samping kakinya.

Sebagai seorang anak, Asyi lebih memilih seharian berada di basemen dibandingkan dengan satu jam di sekolah. Sekolah merupakan tempat paling membosankan bagi Asyi. Di sekolah, Asyi tak memiliki banyak teman. Ia pun tak banyak bicara saat di sekolah. Baginya momentum saat pulang sekolah dan berada di basemen adalah hal yang paling ia sukai.

Ia sadar sebenarnya ia buka satu-satunya anak yang tak menyukai saat-saat di sekolah. Ia ingat sekali, banyak murid yang sedih ketika melihat kertas ulangan mereka masing-masing. Sebagian yang lain menjadi ragu-ragu dan takut pulang ke rumah. Asyi heran pada dirinya sendiri, kenapa ia nampak biasa-biasa saja. Ia tak pernah melihat hasil ulangannya; tak ada yang menarik dari lembar kertas hasil ulangan. Nasib sama menimpa buku raport sekolahnya; ia pun tak pernah mencoba memahami isinya. Asyi hanya membawanya pulang dan memberikannya kepada ibunya; dan ketika ibunya nampak selesai dengan raport miliknya, ia pun memasukkannya di tas dan mengembalikan ke guru wali dihari berikutnya. Ia pikir semuanya baik-baik saja.

Pengalaman luar biasa bagi Asyi adalah saat ketika ia menemukan benda-benda baru di basemen. Kali ini sebuah kotak transparan berwarna merah muda berhasil ia temukan secara tak sengaja. Setelah Asyi ia selesai memperbaiki tumpukan buku-buku yang berserakan, ia memutuskan untuk membawa kotak itu ke kamarnya. Dalam perjalanannya menuju kamar tiba-tiba ia berhenti.

Di ruang tamu, Asyi melihat ibu sedang duduk bersama paman berbadan gempal. Ia berjalan sangat pelan dan mengintip dari sela-sela tumbuhan sirih nenek Tik yang merambat di kayu jendela pembatas antara halaman belakang, basemen dan ruang tamu. Ia melihat ibu sedang berbicara dengan seorang Paman yang agak gempal dengan kemeja biru setelan jas notch lapel warna solid navy dengan dasi kupu-kupu.

"Emm... menyeruput kopi arabika mandailing memang sangat nikmat apalagi diminum sambil memandangi lukisan-lukisanmu."

 "Tunggu... tunggu... bukan hanya arabika mandailing, tak masalah kok dengan arabika gayo, arabika toraja, arabika kintamani Bali," paman berbadan gempal itu terus berbicara.

Ibu tertawa, "Anda ini bisa saja."

"Bahkan robusta semendo," tak habis-habisnya paman itu mengucapkan kata-kata yang tak Asyi mengerti.

"Oh, terima kasih." kata ibu sambil tersenyum.

"Hahaaa..." paman itu terkekeh sambil meletakkan cangkirnya ke meja.

"Oh ya, setidaknya ada tujuhbelas keluarga besar disana."

"Saya rasa disana bukan tempat yang buruk untuk berlibur."

            "Disana masih sangat asri; udaranya segar; siapa tahu anda akan mendapatkan inspirasi baru disana." paman itu terus berbicara.

Sambil menyodorkan amplop, "Saya rasa bukan keputusan buruk untuk sekadar singgah beberapa hari disana."

            Sambil terus memperhatikan paman itu, Asyi terus berjalan. Setelah Asyi sadar bahwa bagian dinding pembatasnya habis ia langsung mempercepat jalannya lalu menuju kamar. Sesampainya di kamar, Asyi langsung melompat ke kasur; membuat badannya naik-turun karena saking kerasnya ia melompat ke kasur. Dengan badan yang masih belum stabil ia membuka kotak. Ternyata kotak itu berisi lembaran-lembaran kertas. Di halaman pertama Asyi menemukan ada tulisan berukuran besar di tengah-tengah.

"PRANGKO,"

"Apa ini?" Asyi keheranan dengan benda asing yang ia lihat.

Asyi mendekatkan pandangannnya ke wajah prangko bergambar bunga, "Kenanga, Sumatera Utara,"

"Ca...ca... cana...cananga adorata"

"300"

"1993"Asyi tersenyum senang karena bisa membaca tulisan yang berukuran sangat kecil di benda itu. Sambil melihat bagian-bagian yang lain.

"Jeumpa, Aceh; michelia cham... champaca; 1993; 300,-."

"Anggrek Larat, Maluku; phalaenopsis amabilis; 1994; 150,-."

Asyi kesulitan ia melafalkan istilah nama ilmiah bunga di perangko yang ias temukan, tapi ia tahu bahwa istilah itu sangat dekat dengan nenek Tik. Asyi ingat bahwa neneknya sering membicarakan tentang tanaman-tanaman liar Indonesia seperti etlingera elatior, phalaenopsis cornu-cervi, cryptocoryne hudoroi, dendrobium spectabile, rafesia arnoldii, dendrobium erosum, paphiopedilium supardii, amorphophallus titanium.

Asyi membuka lembaran berikutnya lalu mendekatkan pandangannnya ke wajah prangko-prangko tipe C bergambar tari daerah terbitan negara Republik Indonesia yang terbit pada tahun-tahun jauh sekali sebelum tahun kelahirannya. Ia menemukan prangko dengan ilustrasi tari Muli Betanggai, Lampung yang memiliki nilai nominal 300,- terbitan tahun 1995; ada pula prangko dengan ilustrasi tari Gending Sriwijaya, Sumatera Selatan terbitan tahun 1993 yang memiliki nilai nominal yang sama seperti prangko tari Muli Betanggai. Tak terlewat dari pandangan Asyi prangko dengan ilustrasi atlet pada perlombaan Asean Games ke 12 di Hiroshima 1994 dan prangko perayaan 75 Tahun Perkumpulan Filatelis Indonesia tahun 1997.

Bukan hanya prangko-prangko dari Indonesia, Asyi menemukan prangko terbitan Thailand dengan ilustrasi potrait seorang pria berkacamata yang memiliki nilai nominal 2 BAHT;  prangko terbitan USA dengan ilustrasi seorang tokoh bernama A. Philip Randolph 25; ada pula prangko dengan ilustrasi seorang pria yang nampak seperti seorang musisi bertuliskan Cole Porter USA 29. Bahkan Asyi menemukan tiga prangko terbitan negara Nicaragua yang merupakan salah satu negara di Amerika Tengah. Salah satu perangko tersebut  berilustrasi satelit luar angkasa yang bertuliskan cometa halley tepat dibawah tulisan berhuruf kapital NICARAGUA. Di bagian kanan atas terdapat tulisan correos 1985; dibagian kiri bawah terdapat tulisan OBSERVATORIO SUBTERRANEO DE TYCHO BRAHE yang memiliki ukuran lebih kecil. Yang jelas semua prangko-prangko yang ia temukan terbit pada tahun-tahun jauh sekali sebelum ia lahir.

Dari banyaknya prangko yang Asyi temukan, prangko yang paling ia suka adalah prangko dengan ilustrasi empat anak yang nampak sangat bahagia sambil membawa layang layang. Prangko yang memiliki nilai nominal 100,- itu dibuat untuk menyemarakkan perayaan Hari Anak Nasional 1992. Saking tertariknya dengan prangko itu, Asyi mengambil prangko itu dari lembaran dan memainkan perforasi prangko favoritnya.

Lembaran-lembaran kertas bagian pembuka ditempeli amplop surat. Lembaran berikutnya terisi prangko yang ditempel secara penuh. Di bagian atas setiap kertas terdapat tulisan yang menurut Asyi merupakan alasan kenapa beberapa prangko yang diletakkan pada satu kertas berbeda dengan prangko yang diletakkan pada kertas lainnya.

Keesokan harinya tak lama setelah Asyi, ibunya, dan neneknya selesai sholat Subuh berjamaah di rumah. Tiba-tiba hujan turun; sangat deras. Saat itulah air mengalir dimana-mana; termasuk basemen. Sebagian besar air datang dari ventilasi kecil yang ada di basemen. Ibu memang sudah membuat alat sederhana yang membuat ventilasi itu tertutup agar air tidak masuk. Tapi Asyi sering melihat penutup yang ibu buat tak berfungsi saat hujan deras datang;  dan air tetap merembes masuk. Saat itulah udara disana semakin lembab; sekaligus menjadi hari yang sangat sibuk untuk Asyi, nenek Ti, dan tentu saja untuk ibu Asyi.

"Aghhh... tak ada tempat lagi."

Ibu tak dapat memindahkan semua barang-barang di basemen ke ruang kerjanya. Ruang kerja ibu sudah penuh dengan peralatan seni dan buku-buku miliknya. Ibu selalu memutar otak untuk memilah-milah barang dan mencari tempat untuk menyimpannya.

Setiap bulannya Ibu Asyi selalu menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli buku-buku baru. Setiap bulan pula nama Ibu Asyi tertulis di resi paket. Ia memiliki banyak rak buku yang masih kosong di ruang kerjanya. Disanalah biasanya ibu meletakkan buku yang belum kami baca. Jika sudah penuh, Ibu Asyi akan meluangkan wwaktu untuk memilah-milah buku yang sudah ia baca. Sebagian buku ia letakkan di halaman belakang di dekat ikan-ikan Asyi dan Rin;  sebagian yang lain diletakkan di kamar Asyi; bahkan ada pula yang diletakkan pada rak-rak kosong di basemen.

Meskipun terkadang ibu Asyi kembali mencari-cari untuk mengambil buku yang pernah ia baca dan membawanya kembali ruang kerjanya. Asyi tak mengerti apa yang ibu lakukan. Ada lemari buku yang memiliki ukuran yang cukup besar di kamar Asyi begitupun di halaman belakang rumah. Ibu hanya memperbolehkan Asyi dan teman-temannya membaca atau bermain di tempat itu, ibu bilang terlalu berbahaya mengajak temanmu berada di basemen. Ibu pun sering berpesan kepada Asyi agar tak berlama-lama berada di basemen atau jika tidak ibu meminta Asyi untuk segera kembali ke atas jika merasa tak nyaman.

Ibu Asyi juga mempunyai masalahnya sendiri ketika berada di basemen. Ia pernah tertimpa rak yang menyimpan kanvas-kanvas dan keramik-keramik dari tanah liat miliknya. Saat itu ia akan memindahkan beberapa kanvas batu ke ruang kerjanya tapi sayang, ibu salah mengambil bangku yang ia gunakan untuk membantu meraih kanvas-kanvas itu. Ia terjatuh karena bangku itu berkarat.

Asyi, nenek Tik, dan ibu Asyi tak sadar bahwa mereka telah mnghabiskan waktu di basemen sampai adzan dzuhur. Sungguh hari ini benar-benar menyita banyak tenaga; bahkan sampai senja tiba.

Saat senja ibu Asyi dan nenek Tik memutuskan untuk berberes dan mengakhiri kesibukan di basemen. Berbeda dengan Asyi, ia masih asyik menyisir dengan jari rambutnya yang berantakan. Lalu ia putuskan untuk pergi ke bagian paling ujung-paling jauh dari pintu basemen. Ia benar-benar memperhatikan langkahnya. Semakin lama berjalan semakin penuh lantai basemen. Hal itu membuat Asyi kesulitan mencari jalan. Banyak lembar-lembar koran terlepas dari tali pengikatnya; mainan-mainan plastik berserakan dimana-mana.

Setelah melewati beberapa rak besar ia sampai di bagian paling ujung-paling jauh dari pintu basemen. Matanya tertarik pada sebuah almari kayu besar dibelakang tumpukan majalah itu. Almari itu sangat besar, lebih besar dibandingkan ukuran tumpukan malajalah-majalah Pramuka dibelakangnya. Asyi ingin tahu apa yang ada didalamnya. Segera ia menyingkirkan barang-barang elektronik yang membuat almari itu tak bisa dibuka.

"Kreek..." suara engsel almari yang berkarat. Asyi menginintip ke dalam almari yang gelap. Ternyata didalam almari itu dipenuhi banyak kotak kardus. Sedikit kecewa, Asyi pikir almari itu akan membawanya ke dunia Narnia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun