Bekasi, awal tahun 2007.
Hujan baru saja reda. Jalanan basah, dedaunan berkilau sisa air, dan angin sore mengibaskan bendera plastik di depan warnet kecil. Di dalamnya, suara ketikan keyboard bercampur dengan denting notifikasi MIRC --- dunia kecil yang ramai, penuh tawa remaja yang mencari teman baru lewat kabel dan layar tabung.
Aku, Iwan, siswa SMK kelas dua yang terlalu pemalu untuk bicara panjang pada perempuan, duduk berdesakan di kursi sempit warnet bersama sahabatku, Ardiansyah.
Kami sedang asyik "ngechat" --- berburu teman ngobrol dari sekitar Bekasi dan Jakarta Timur.
Di tengah deretan nickname warna-warni, muncul satu nama:
Wati --- dari SMAN 2 Bekasi.
Dari satu chat iseng, obrolan itu berubah jadi perkenalan.
Dari MIRC berpindah ke Friendster, lalu berlanjut ke SMS.
Dan entah bagaimana, setiap getaran ponsel jadulku kini membawa satu nama yang selalu kutunggu.
Wati bukan sekadar nama --- dia seperti suara yang hangat di antara malam yang sunyi.
> "Gw kadang capek, Wan. Orang liat gw cuma dari luar doang," tulisnya suatu malam.
Dia bercerita tentang hidupnya yang sederhana, tentang ibunya yang mengelola kantin sekolah, tentang rumah kecil mereka di dalam area sekolah.
Bukan cerita dramatis, tapi entah kenapa, setiap katanya terasa nyata dan jujur.
Sejak itu, layar ponselku jadi ruang kecil tempat kami berbagi dunia.
---
Empat bulan berlalu.
Dan hari itu aku memutuskan untuk bertemu dengannya.
> "Nanti aku pinjemin buku, judulnya Berpetualang Mencari Cinta Sejati. Kamu pasti suka."
Itu kalimat yang kuketik dengan jari gemetar.
Alasanku? Sederhana.
Supaya aku punya alasan untuk menatap matanya secara langsung.
---
Siang itu panas, tapi telapak tanganku dingin.
Sepulang praktik bengkel, aku naik angkot menuju sekolahnya. Jantungku berdetak terlalu cepat --- seperti mesin yang gasnya tak bisa dikendalikan.
> "Aku udah di depan sekolahmu," kukirim pesan singkat.
Beberapa menit kemudian, seseorang keluar dari gerbang.
Rambut pendek, senyum lembut, langkah kecil.
Dia melambaikan tangan sambil menggandeng seorang anak kecil --- adiknya.
> "Kamu Iwan, ya?"
"Iya... hehe, apa kabar?"
Suaranya ringan, tapi cukup untuk membuat dunia sekitarku berhenti sejenak.
Kami berjabat tangan. Hangat. Lama.
Dan aku tahu, momen itu akan kutulis di kepalaku selamanya.
Dia mengajakku ke kantin. Ibunya sedang sibuk menyiapkan pesanan siswa lain.
Wati menyalakan kompor kecil, lalu memasak mie goreng untukku.
> "Buku ini aku pinjem, ya?" katanya sambil tersenyum, memegang buku yang kubawa.
"Iya..." jawabku pelan.
(Dalam hati: supaya besok aku bisa punya alasan datang lagi.)
Kami makan mie di sudut kantin, berbagi cerita kecil di sela tawa malu-malu.
Aku tak ingat rasanya seperti apa --- yang kuingat hanya detak jantungku sendiri dan bayangan Wati yang menunduk membaca buku pinjamanku.
---
Sebulan kemudian, aku datang lagi.
Tapi suasananya tak sama.
Pesan-pesannya mulai jarang, jawabannya pendek, atau malah tak dibalas sama sekali.
Aku tahu, sesuatu berubah.
Sampai akhirnya, aku melakukan kebodohan terbesar:
memberikan nomornya ke temanku, sekadar iseng --- untuk "menguji".
Dan ternyata, aku justru menguji seseorang yang paling tulus.
> "Iwan, terima kasih ya udah ngujinya.
Gw kira cuma Allah aja yang nguji hamba-Nya, ternyata lo juga bisa,"
isi pesan terakhir dari Wati.
Sejak itu, dia hilang.
Tak ada lagi SMS, tak ada lagi "selamat pagi" yang bikin aku tersenyum tiap hari.
---
Dua tahun berlalu.
Aku sudah bekerja di Daerah Bekasi.
Suatu sore, aku mampir ke warnet dekat sekolahnya.
Niatnya sekadar menghilangkan jenuh --- dan mungkin, sedikit berharap bisa bertemu lagi.
Dan ternyata, takdir sedang bermain.
Dia masuk ke warnet itu. Wati.
Masih dengan senyum yang sama, tapi matanya tak lagi sehangat dulu.
> "Wati... hai. Aku bisa ngomong sebentar?"
Dia menatapku sebentar, diam, lalu melangkah pergi tanpa kata.
Aku hanya bisa berdiri, memandangi punggungnya yang menjauh.
Ada yang ingin kukatakan, tapi tenggorokanku kelu.
Yang tersisa hanya penyesalan --- seperti buku yang tak pernah sempat dikembalikan.
---
Kini, setiap kali kulihat rak buku di kamar, mataku selalu berhenti di satu judul:
"Berpetualang Mencari Cinta Sejati."
Buku itu masih sama.
Hanya saja, kini aku tahu ---
yang dulu kupinjamkan bukan sekadar buku.
Tapi sepotong hatiku yang tak pernah benar-benar kembali.
Dan seperti lagu Iwan Fals yang masih sering didengar:
> "Dia tahu, dia rasa,
Cinta ini milik kita.
Buku ini aku pinjam,
Kan kutulis sajak indah,
Hanya untukmu seorang..."
---
Kau tahu, Wati?
Buku itu masih di sini.
Dan setiap kali kubuka halamannya,
aku masih bisa mendengar suaramu ---
di antara huruf-huruf yang tak pernah sempat aku ucapkan.
M.A.A.F
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI