Andai aku bisa melayangkan mata ke ruang paling sunyi di kepalamu,
Membaca huruf-huruf yang tak pernah kau ucapkan,
Apakah cintaku akan tetap menemukan jalannya,
Atau malah tersesat di lorong-lorong rahasiamu?
Di sana mungkin tersimpan kabut,
Ketakutan yang kau bungkus rapi,
Kenangan yang kau kunci,
Kata yang kau beri label jangan disentuh.
Aku ingin tahu, bukan untuk menghakimi,
Tapi agar jemariku bisa merajut pelukan yang benar.
Tapi apa jadinya jika kebenaran itu tajam?
Jika pikirmu berlabuh pada bisik yang menyakitkan,
Jika ada ruang di sana yang tak pernah menampung namaku,
Apakah keberanianku cukup untuk tetap bertahan?
Aku bukan pencari kesempurnaan,
Aku pencinta yang tahu luka itu nyata.
Jika membaca pikiranmu berarti mengetahui retak-retakmu,
Aku akan datang dengan perban, bukan dengan penghakiman.
Namun aku juga manusia yang punya batas,
Bukan siap jadi cermin untuk segala bayangmu.
Jika kebenaranmu membuatku hilang arah,
Aku berjanji untuk memilih,
Tetap berani mencintai, dengan syarat aku tak hilang diri.
Karena cinta yang sehat tak butuh pembaca rahasia,
Ia butuh keberanian dua hati yang berani terbuka.
Andai aku bisa membaca pikiranmu,
Aku masih berani mencintaimu.
Asal kau berani menunjukkan satu hal sederhana,
Kejujuran, bukan untuk melukai,
Melainkan untuk kita berdua pulih bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI