"Iya Kak, aku gak nangis lagi kok," jawab gadis mungil itu dengan mengangsurkan tangannya ke wajah Rana. Mungkin ia tak percaya akan kehadiran Rana di dekatnya.
Aku melihat dari balik jendela. Tanpa sepengatahuan Rana aku mendatangi rumah sakit tersebut. Rana seperti menceritakan sesuatu yang bisa membuat gadis kecil itu tertawa bahagia. Aku pun mengambil tempat duduk di balik jendela itu sambil tak lepas pandanganku pada Rana. Wajah cantik Rana dan senyum ceria gadis kecil itu tergambar jelas di depanku. Ada rasa yang nyeri di ulu hatiku. Siapakah Rana? Begitu banyak pesonanya di mataku.
"Lia, mau kakak ceritakan  sesuatu gak?" tanya Rana setelah tawa mereka reda. Gadis kecil itu antusias dengan cerita Rana.
"Aku dulu sama sepertimu, punya seorang kakak yang aku sayangi. kakakku juga sama seperti kakak kamu, dia akan melakukan segala hal untuk membuat aku senang. Kakak akan mengobrol denganku sebelum aku tertidur, tapi sekarang aku sudah kehilangan dia. Aku gak mau kamu bernasib seperti aku. Sayangi kakak kamu, percaya padanya dan semangati dia terus ya, kebahagiaan dia itu cuma kamu, kamu harus sehat," Â Rana berkata dengan mata berkaca-kaca dan menahan tangis. Aku mendengar ceritanya dengan jelas, ternyata benar yang ia katakan kalau ia seolah masuk ke dalam cerita anak kecil itu. Aku lihat gadis kecil itu tersenyum dan memeluk Rana erat sekali.
"Aku pamit dulu ya, lain kali kita bertemu lagi dan pastikan kamu masih bersama kakak kamu dalam kondisi sehat, " pamitnya sambil melepaskan pelukan dan mengecup kening gadis kecil itu dengan lembut. Tak lupa Rana menyelipkan amplop yang aku tahu berisi beberapa lembar uang yang tadi ia minta pada asistennya. Alangkah pemurahnya Rana, sisi lain Rana yang baru aku tahu. Atau memang Rana selalu mudah terharu?
Rana segera pergi dari ruangan gadis kecil itu. Sebelumnya aku sudah menyingkir dari jendela dan bersembunyi di pojok ruang lain. Kulihat  Rana melintasi lorong dengan langkah terburu-buru dengan wajah yang mengekspresikan segala perasaan, semenit kemudian dering gawaiku berbunyi, dari Rana.
"Halo" jawabku tenang. Untungnya gawai sudah aku silent.
"Kamu dimana? temani aku, Â ya" kata Rana dengan suara bergetar. Aku terkejut ternyata rona haru masih menyelimutinya.
"Iya, kita ketemu di depan rumah sakit, ya" jawabku yang langsung melangkahkan kaki meninggalkan rumah sakit.
Kulihat Rana sudah berdiri di depan lobby rumah sakit dengan kepala tertunduk dan tangan  di dalam kantong cardigan panjangnya. Aku tidak  mau Rana tahu kalau aku mengikutinya, agar tidak ketahuan kalau aku membuntutinya aku mengambil jalan pintas dan seolah baru datang untuk menjemputnya.
Rana memintaku melajukan mobil menuju sebuah restoran dengan konsep sapi dan susu murni di daerah Puncak dekat dengan mall tempat kami syuting. Sepanjang jalan Rana tidak berbicara dan hanya mengigiti jarinya dan sesekali menyeka airmata yang masih menetes di pipinya. Â Aku tidak ingin mengganggunya, aku biarkan Rana dengan dunianya.