Mohon tunggu...
Seni Asiati
Seni Asiati Mohon Tunggu... Guru - Untuk direnungkan

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya menjadi kegiatan yang menghasilkan. Hasil yang paling utama adalah terus berliterasi menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Selain itu dengan menulis rekam sejarah pun dimulai, ada warisan yang dapat kita banggakan pada anak cucu kita nantinya. Ayo, terus torehkan tinta untuk dikenang dan beroleh nilai ibadah yang tak putus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Misteri Rana

29 Mei 2020   21:53 Diperbarui: 29 Mei 2020   22:22 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BUNGA JIWA

 Sudah dua minggu aku dan Rana memandu acara wisata kuliner. Acara kami sudah ditayangkan dan benar dugaan pak Dirga kalau kami akan mendapat rating yang bagus. Wajah kami sudah dikenal publik sebagai pasangan yang menginspirasi. Seiring rating yang semakin bagus, kamipun kerap ditawari bermain film dan beberapa produk yang memasang kami sebagai model.

Beberapa stasiun tv malah menawari menjadi host acaranya. Kesibukanku semakin bertambah selain syuting wisata kuliner , syuting film, juga menjadi model iklan. Tabunganku sudah cukup, tapi aku masih tetap menjalani syuting.

Kali ini motivasiku bukan menambah pundi-pundi tapi karena aku ingin membuka tabir siapa sebenarnya Rana. Aku masih yakin kalau Rana hadir bukan karena kebetulan tapi tangan Tuhan juga yang mengaturnya.

"Kamu belum punya pacar?" tanyaku kepada Rana yang tengah asyik dengan script untuk iklan kami.

"Punya, tapi dia sedang di Jepang." jawabnya tanpa melepas pandangannya dari script. Hari itu syuting iklan produk makanan sehat di sebuah mall terkemuka di Bogor. Hari itu tak banyak yang diambil adegan di mall itu.  Di tengah obrolan tentang cinta Rana, datang seorang laki-laki  remaja kira-kira berusia lima belas tahun dengan secarik kertas dan pulpen.

"Maaf kak, boleh minta tanda tangannya? Adikku sangat menyukai kalian." Katanya dengan wajah penuh harap mengangsurkan secarik kertas dari sebuah kertas memo rumah sakit.

"Tentu boleh dong, adik kamu dimana?" Tanya Rana sambil menggoreskan tanda tangannya di memo tersebut. Tak lupa aku pun ikut juga menorehkan tanda tanganku tanpa diminta.

"Sebulan yang lalu keluarga kami kecelakaan dan orang tua kami meninggal. Adikku harus dirawat di rumah sakit dan ia hanya terlihat bersemangat saat menonton acara kalian. Seorang perawat melihat kalian syuting di sini, maka aku langsung menuju kesini berharap tanda tangan kalian, adikku pasto senang. " katanya panjang lebar.

Cerita lelaki ini sama persis dengan kisahku, hanya berbedanya karena ia lebih beruntung masih bisa bersama adiknya.  Kulihat Rana menyeka air matanya, mungkin cerita itu sangat menyentuh hatinya.

"Rumah sakit adik kamu di mana? Boleh  kami menjenguknya selepas syuting?" ucap Rana tiba-tiba membuat lelaki itu kaget begitupun aku tak mengira.

"Kakak sungguh-sungguh?" tanyanya meyakinkan, Rana menanggukkan  kepala yakin dengan niatnya.

"Terima kasih, aku akan menunggu kakak selesai syuting dan mengantar ke rumah sakit" jawab lelaki itu sambil membawa pergi secarik kertas yang sudah kami tanda tangani.

"Kenapa kamu terlihat sedih?" tanyaku pada Rana yang masih dengan wajah sedih.

"Aku seperti merasakan apa yang dialami anak tadi namun hanya sedikit berbeda." jelasnya mencoba kembali fokus dengan scriptnya. Kali ini akau semakin yakin Rana adalah masa laluku.

"Baiklah adegan selanjutnya, Rana Lyan kalian siap-siap," teriak sutradara iklan pada kami.

"Ah! Rana ada apa denganmu? Kenapa mata kamu seolah kosong? Padahal cara kamu mengiklankan sudah bagus, take ulang!" Omel Mas Bram sutradara iklan. Aku heran begitu menyentuhkah cerita anak tadi? Apa yang akan dia rasakan kalau mendengar ceritaku yang harus terpisah dengan adikku.

"Iya maafkan saya mas, saya tidak akan mengulanginya," jawab Rana dengan tegas. Rana membuktikan apa yang dikatakannya, syuting pun berjalan dengan baik. Rana segera bergegas membereskan semua barangnya dan berbicara sedikit dengan manajernya.  Lelaki itu datang lagi dan mengajak Rana pergi bersamanya. Aku menatap kepergian Rana dengan berjuta tanya di hati. Siapa gadis ini??? Begitu misterinya hidup Rana. Aku bergegas mengikuti langkah kaki Rana. Aku tak mau kehilangan momen dengan Rana. Ahhh... mengapa aku jadi begini kemana hatiku sebenarnya.

"Halo sayang," Rana menyapa dengan wajah yang seolah bisa menenangkan perasaan orang. Gadis kecil dengan balutan perban di kepala menyambut kedatangan Rana dengan sumringah dan senyum selebar mungkin. Gadis malang itu terkejut dengan kegadiran bintang pujaannya. Rana menggenggam tangan mungil itu seolah memberi kekuatan.

"Gimana keadaan kamu?"tanya Rana lagi.

"Tidak pernah merasa lebih baik dari ini," jawabnya dengan menitikan air mata wajahnya yang pucat bersemu sedikit memerah.

"Lia, kamu jangan nangis ya, Kak Rana sudah jauh-jauh datang masa kamu menangis?" ucap sang kakak yang langsung menyeka air mata adiknya.

"Iya Kak, aku gak nangis lagi kok," jawab gadis mungil itu dengan mengangsurkan tangannya ke wajah Rana. Mungkin ia tak percaya akan kehadiran Rana di dekatnya.

Aku melihat dari balik jendela. Tanpa sepengatahuan Rana aku mendatangi rumah sakit tersebut. Rana seperti menceritakan sesuatu yang bisa membuat gadis kecil itu tertawa bahagia. Aku pun mengambil tempat duduk di balik jendela itu sambil tak lepas pandanganku pada Rana. Wajah cantik Rana dan senyum ceria gadis kecil itu tergambar jelas di depanku. Ada rasa yang nyeri di ulu hatiku. Siapakah Rana? Begitu banyak pesonanya di mataku.

"Lia, mau kakak ceritakan  sesuatu gak?" tanya Rana setelah tawa mereka reda. Gadis kecil itu antusias dengan cerita Rana.

"Aku dulu sama sepertimu, punya seorang kakak yang aku sayangi. kakakku juga sama seperti kakak kamu, dia akan melakukan segala hal untuk membuat aku senang. Kakak akan mengobrol denganku sebelum aku tertidur, tapi sekarang aku sudah kehilangan dia. Aku gak mau kamu bernasib seperti aku. Sayangi kakak kamu, percaya padanya dan semangati dia terus ya, kebahagiaan dia itu cuma kamu, kamu harus sehat,"  Rana berkata dengan mata berkaca-kaca dan menahan tangis. Aku mendengar ceritanya dengan jelas, ternyata benar yang ia katakan kalau ia seolah masuk ke dalam cerita anak kecil itu. Aku lihat gadis kecil itu tersenyum dan memeluk Rana erat sekali.

"Aku pamit dulu ya, lain kali kita bertemu lagi dan pastikan kamu masih bersama kakak kamu dalam kondisi sehat, " pamitnya sambil melepaskan pelukan dan mengecup kening gadis kecil itu dengan lembut. Tak lupa Rana menyelipkan amplop yang aku tahu berisi beberapa lembar uang yang tadi ia minta pada asistennya. Alangkah pemurahnya Rana, sisi lain Rana yang baru aku tahu. Atau memang Rana selalu mudah terharu?

Rana segera pergi dari ruangan gadis kecil itu. Sebelumnya aku sudah menyingkir dari jendela dan bersembunyi di pojok ruang lain. Kulihat  Rana melintasi lorong dengan langkah terburu-buru dengan wajah yang mengekspresikan segala perasaan, semenit kemudian dering gawaiku berbunyi, dari Rana.

"Halo" jawabku tenang. Untungnya gawai sudah aku silent.

"Kamu dimana? temani aku,  ya" kata Rana dengan suara bergetar. Aku terkejut ternyata rona haru masih menyelimutinya.

"Iya, kita ketemu di depan rumah sakit, ya" jawabku yang langsung melangkahkan kaki meninggalkan rumah sakit.

Kulihat Rana sudah berdiri di depan lobby rumah sakit dengan kepala tertunduk dan tangan  di dalam kantong cardigan panjangnya. Aku tidak  mau Rana tahu kalau aku mengikutinya, agar tidak ketahuan kalau aku membuntutinya aku mengambil jalan pintas dan seolah baru datang untuk menjemputnya.

Rana memintaku melajukan mobil menuju sebuah restoran dengan konsep sapi dan susu murni di daerah Puncak dekat dengan mall tempat kami syuting. Sepanjang jalan Rana tidak berbicara dan hanya mengigiti jarinya dan sesekali menyeka airmata yang masih menetes di pipinya.  Aku tidak ingin mengganggunya, aku biarkan Rana dengan dunianya.

"Susu vanilla hangat lima gelas dan sosis bakar keju," pesannya  pada pelayan resto sesampainya kami di restoran. Alamak banyaknya gelas susu yang dipesan Rana. Untuk siapa semua? Pertanyaan itu bermain di otakku yang mulai sempit.

"Saya pesan susu coklat satu saja, ya" aku pun ikut memesan.

Rana memandangku dengan wajah yang bahkan aku tidak tahu apa artinya, tangannya mengepal di atas meja. Rana menumbuk-numbuk meja melampiaskan emosinya.

"Hei hei Rana, tenang kamu ini kenapa sih? Dari tadi diam saja,  terus sekarang mau jadi penabuh drum. Aku berusaha mencairkan suasan hati Rana. "Gadis kecil yang sakit itu ngomong apa sama kamu?" Aku pun sudah tidak tahan untuk bertanya.  Pertama kalinya aku melihat Rana seperti ini. Senyum manisnya seolah menghilang seolah seluruh bumi runtuh di atas kepalanya.

"Kenapa aku tidak tahu kalau itu hari terakhir kami bersama?" tanya Rana untuk dirinya atau untuk siapa? belum sempat aku menjawab ia mulai bertanya lagi, wajahnya sudah basah dengan airmata.

"Kenapa kami sekeluarga harus pergi hari itu juga. Kenapa cuaca hari itu kacau sekali, kenapa dia gak ada di sebelahku saat ini. Kenapa saat terjun payung dia melepas tanganku. Kenapa....???"  Pertanyaan Rana terhenti saat kutaruh jari telunjukku di bibir mungilnya. Dia tidak hanya bertanya tanpa henti tetapi terus memukul kepalanya dengan tangan. Airmatanya mengalir dengan deras di pipi putihnya. Ia pun menghapus air matanya dengan segera saat lima susu vanila pesanannya datang. Aku bangkit dan memeluknya dengan segenap jiwaku.

Tiga gelas susu vanila hangat sudah habis diminumnya. Aku heran karena begitu banyak susu vanilla yang ia pesan dan tandas tiga gelas dalam sekejap. Tinggal dua gelas lagi dan sosis yang panjang berlapis keju di meja. Rana akan memulai lagi dengan gelas keempat. Sebelum gelas keempat mendarat di bibir indahnya, aku tarik tangannya dengan lembut.

"Ada lagi yang mau kamu tanyakan," tanyaku sambil mengenggam tangannya. Wajahnya kutatap dengan lembut. Mata indahnya yang selama ini malu-malu aku tatap, hari ini puas aku tatap. Bola mata coklat dan alis yang hitam indah membuatku tak kuasa menahan rasa yang sudah semakin membuncah di dada. Ah... Rana siapa kamu? Mengapa hati ini berdesir setiap menatap wajahmu.

"Ada banyak pertanyaan yang mau aku tanyakan. Aku mau marah, mau nangis, mau peluk dia. Rasanya kepalaku mau pecah karena aku sendiri sudah kehilangan akal. Aku kangen sekali  sama dia. " ucapnya panjang lebar dengan air mata yang terus mengalir. Entah siapa yang Rana bicarakan tapi pastilah orang itu adalah yang spesial untuknya, entah kenapa pikiranku tertuju pada pacar Rana nun jauh di Jepang.

"Besok kita minta cuti sama Bang Joy sepuluh hari. Kita pergi ke Jepang agar kamu bisa tenang dan gak sedih lagi. Sudah lama juga aku gak ke Jepang setelah nenekku wafat," ucapku yang langsung dihujani tatapan heran dan kaget dari Rana. Tangan yang aku genggam dengan segenap rasa Rana lepaskan.

"Kamu serius?" tanya Rana dengan wajah yang masih terkejut. Wajahnya yang basah oleh air mata terlihat indah dengan bola mata yang membesar. Ingin kukecup bola mata itu. Ahhh Lyan apa yang kamu pikirkan.

"Iya, malam ini aku akan urus semua" ucapku meyakinkannya.

Kebetulan passport dan visaku selalu aku perbarui yah siapa tahu tiba-tiba aku pergi ke Jepang jadi sudah siap. Sebenarnya aku tak bisa memutuskan sendiri. Aku harus berunding dengan Nala dulu sebelum memutuskan. Ide gila ini tiba-tiba saja muncul dari pikiranku. Aku ingin menuntaskan rasa ingin tahuku tentang Rana. Semoga Nala memaafkan tindakanku ini. Atau malah Nala akan menentangku.

"Kamu yang terbaik Lyan," ucapnya lalu bangkit dan memelukku erat. Aku lihat beberapa pengunjung tersenyum menyaksikan adegan kami.  Entah kenapa aku seolah ingin sekali membuat Rana bahagia menghapuskan kesedihannya. Aku bahkan tidak memikirkan perasaan Nala saat mengatakan untuk cuti ke Jepang. Entah apa nanti alasanku untuk ijin pergi tanpanya. Nala berkali-kali mengajakku ke Jepang, aku tak pernah mau dengan berbagai alasan. Entah apa yang akan terjadi dengan hubungan kami nanti. Benakku hanya ada Rana dan kegilaanku untuk melindunginya membuat Rana tersenyum. Aku bahkan tak membayangkan bagaimana reaksi Nala dengan kegilaanku ini.

"Inilah yang aku takutkan kalau kamu ambil kerjaan kamu itu. Kamu  akan meninggalkan aku sendiri. Kamu gak peduli lagi sama aku dan sekarang aku bukan satu-satunya prioritas kamu!" suara marah Nala kepadaku saat aku mengatakan akan syuting dengan Rana ke Jepang. Aku berbohong pada Nala. Padahal aku tak pernah berbohong. Maafkan aku Nala semoga aku menemukan jawaban dari semua pertanyaanku ini. Nala tak akan mungkin ikut kalau alasanku pekerjaan.

"Aku gak mungkin gak peduli sama kamu. Aku sayang sekali sama kamu, aku gak mau kehilangan kamu. Syutingnya hanya dua minggu dan aku akan kembali, ya." Aku berkata tanpa menatap Nala. Aku takut kebohonganku semakin membuatnya sedih. Maafkan aku Nala hanya itu yang bisa aku ucapkan dalam hati.

"Kamu sudah jauh melangkah Lyan? Aku kurang mengerti apa lagi? Kamu mau pekerjaan ini karena alasan biaya pernikahan kita. Aku mengerti, kamu ambil pekerjaan lain seperti iklan dan film aku mengerti. Bahkan kita hanya bisa bertemu di studio aku juga mengerti, apa lagi sekarang. Kamu bilang hanya sepuluh episode dan sekarang sudah puluhan episode kamu lakukan?" Nala berkata sambil menangis. Aku terdiam membiarkan Nala dengan tangisnya. Wanita yang sudah mengisi hatiku selama ini sudah aku sakiti.

Aku benci melihatnya menangis, selama hubungan kami baru kali ini aku membuatnya menangis. Aku genggam tangannya dengan sepenuh hati yang sudah tersobek dengan wajah lain. Aku mencari alasan untuk kepergiaanku ke Jepang. Mulai menengok makam nenek, sampai mencari saudara ayah yang tidak aku ketahui keberadaannya. Aku beri alasan kalau aku akan meminta kesediaan mereka untuk datang ke Indonesia mendoakan pernikahan kami nanti. Bohong besar yang aku letupkan pada Nala. Entah kenapa alasan itu mengalir bergitu saja dari bibirku. Bagaimanapun juga Nala benar dengan semua perkataannya, entah kenapa aku mengarang semua alasan agar tetap pergi. Aku ingin melihat senyum Rana lagi dan mencari tahu siapa Rana di tempat ia berasal.

"Maafkan aku terlalu egois dengan semuanya, maafkan aku sudah mengorbankan kamu dalam segala hal, aku harus bagaimana agar kamu memaafkan aku?" tanyaku menyesal. Aku genggam erat tangan Nala dengan wajahku yang tertunduk. Aku malu aku telah menyakitinya.

Ia berhenti menangis dan memelukku kemudian melepaskannya sesaat. Wajahnya tepat di depan mukaku. Wajah gadis yang aku cintai kita tak lagi bisa menarikku untuk di dekatnya. Perkataan Nala selanjutnya membuatku limbung.

"Nikahi aku sekarang," jawabnya  dengan tegas dan tenang. Perkataannya membuatku terkejut bukan kepalang. aku bahkan hampir lupa kalau kami akan segera menikah.

"Apa?" tanyaku spontan dan melepaskan genggaman tangannya.

"Aku gak mau mengorbankan perasaanku lagi,  tabungan kita sudah cukup. Kamu nikahi aku dan saat itulah aku yakin kamu gak akan macam-macam karna kamu sudah jadi milik aku seutuhnya," jelasnya atau bahkan suara Nala terdengar di telingaku seperti suara gaung yang merobek gendang telingaku. Semua alasan Nala memang benar. Dulu aku belum berani menikahinya karena tabunganku masih kurang. Sekarang tabunganku sudah banyak. Sebuah apartemen sudah aku beli tapi mengapa aku malah menjauh dari rencana ku semula.

"Tapi aku tidak bisa sekarang," aku tahu jawabanku itu salah karena kulihat wajah Nala memerah aku tahu ia menahan amarah yang bisa saja ia luapkan. Namun hanya itu yang bisa aku ucapkan.

"Oke kalau begitu, kita putus, " ucap Nala menohok jantungku bagaimanapun Nala sudah mengisi hari-hariku selama ini. Nala mengambil tas dan meninggalkanku sendiri mematung  tanpa kuasa berbuat apa-apa karena keputusan Nala tadi. Aku benar-benar tak berusaha menahan kepergiannya. Aku sudah tak kuasa berpikir jernih. Aku hanya berharap Nala bercanda dengan semua perkataannya. Aku berdiri mematung meyaksikan kepergian Nala. Hatiku bahkan hampa da nada rasa yang tak biasa. Apakah aku senang karena tak lagi bersama Nala atau aku sudah mulai tidak waras membiarkan wanita sebaik Nala pergi.

Dering gawai membuyarkan semua lamunanku, telepon dari Bang Joyko tanpa pikir panjang akupun langsung mengangkatnya berharap berita baik yang diberikannya yaitu tidak mengijinkanku dan Rana untuk cuti. Kalau pembatalan dari Bang Joy paling tidak aku tak membuat hati Rana sedih karena bukan kesalahanku tidak bisa cuti. Ahhhh memang aku ini egois sekali. Satu sisi aku ingin pergi di sisi lain aku harus menuntaskan urusanku dengan Nala.

"Halo Lyan" sapa Bang Joyko di seberang telepon.

"Iya Bang, ada apa?" tanyaku masih harap-harap cemas.

"Saya dan tim sudah berdiskusi tentang permintaan kalian yang mau cuti liburan" ucapnya terputus. Hening sejenak sepertinya Bang Joy sengaja memancingku.

"Iya Mas, terus hasilnya gimana?" aku pun mulai penasaran.

"Kami mengijinkannya dengan pertimbangan kalian memang perlu refresing, tapi hanya sepuluh hari. Semua sudah kami urus kalian bisa pergi besok pesawat jam sembilan pagi,"  Bang Joy berkata pelan namun menghantam keras di dadaku. Aku terdiam merasa senang sekaligus kecewa.  Namun perasaan senang mengalahkan rasa kecewa yang entah sudah hilang menguap terbawa angin yang memang berpihak pada Rana. Entah apa yang kulakukan ini benar atau salah bahkan sebagian diriku pun tidak tahu. Aku melakukan lompatan besar untuk cinta yang kuperjuangkan sekian lama bersama Nala untuk seorang yang baru aku kenal.

"Halo Lyan, kamu mendengarkan akukan?" tanya bang Joyko, ternyata dari tadi aku diam saja di ujung telepon.

"Eh iya Bang, makasih, yah nanti saya langsung hubungin Rana," jawabku begitu lancar dan mantap bahkan suaraku terdengar riang seperti anak-anak dijanjikan mainan baru. Padahal ada juga rasa sesak merasuki dada ini, manakala harus mengingat hubunganku dengan Nala yang memburuk.

"Gak usah, saya juga sudah menelepon dia tadi sebelum menelpon kamu. Rana bilang akan menunggu Kamu jam tujuh di bandara," jelas Bang Joyko.

"Baik Bang, terima kasih atas bantuannya," jawabku. Kali ini ingin rasanya aku peluk bang Joy dengan bersemangat karena mungkin ini jalan Tuhan untukku. Aku harus menuntaskan rahasia besar ini.

"Tidak perlu berterima kasih, kalian sudah bekerja keras wajar kalau hanya liburan sepuluh hari. Semoga liburan kalian menyenangkan dan semoga kalian bisa mendapatkan chemistri yang kuat yah," pesan bang Joyko yang hanya kujawab dengan senyum yang ku yakin Bang Joypun tidak melihatnya.

Semua seolah berjalan lancar terkecuali Nala. Bagaimana keadaannya sekarang, apa dia masih marah? apa dia masih kecewa? Seharusnya aku tidak melakukan ini. Harusnya aku datangi Nala sebelum aku pergi apapun yang terjadi harus aku hadapi. Rana sudah punya pacar suruh saja pacarnya yang mengembalikan senyumnya, kenapa harus aku, dan kenapa aku mau. Semua pikiran itu mulai berlarian menyesakkan otakku. Ahh... Lyan ada apa denganmu.

Pagi itu bandara Soekarno Hatta seperti biasa ramai dengan lalu lalang orang yang sibuk. Ada yang pergi ada yang pulang ada yang menunggu seseorang. Kulihat Rana sudah siap dengan koper berwarna pinknya berjalan menghampiriku dengan wajah tenang, tidak seperti kemarin dengan wajah hancurnya.  Kemeja putih dan celana jeans biru yang membalut tubuhnya sangat kontras dengan sepatu bots berwarna pink. Mungkin kepergian ini sudah membuat hatinya merasa jauh lebih baik. Rambunya yang sebahu diikatnya mungkin di kuncir kuda aku tak bisa memastikan karena ia menggunakan topi yang terbuat dari woll juga berwarna pink.

"Sekali lagi terima kasih, ya sudah mau merelakan semua demi aku," sapanya lembut dengan senyum manis betapa rindunya aku dengan senyuman itu. Senyuman yang seolah sudah menjadi penenangku. Wajah Rana yang bersemangat menghilangkan rasa cemasku pada Nala

"Iya, setidaknya kamu harus kembali jadi diri kamu yang dulu kalau mau acara kita sukses lagi kan?" jawabku tenang.  Aku sibuk menata hatiku yang semakin porak poranda menatap mata Rana yang semakin menghujam jantungku. Mas Alan  asisten Rana menanyakan sesuatu pada Rana.  Mereka terlihat bertukar sesuatu sebelum aku dan Rana melangkah masuk. Rana memegang sekaleng susu yang aku yakin rasa vanilla. Kami pun memasuki ruang tunggu di dalam bandara sambil menunggu pesawat yang akan membawaku terbang menuju negeri sakura. Kulihat Rana tidak melepas senyumnya, hatinya pasti sangat senang sekali. Sesekali ia menatapku yang kali ini semakin mantap untuk membuka tabir Rana.

Panggilan untuk memasuki pesawat terdengar nyaring dari pengeras suara. Wajah Rana tiba-tiba kaget dan badannya seolah membeku. Aku segera beranjak dari kursi dan kulihat Rana masih mematung di kursi dengan tatapan kosong.

"Rana,ayo", sambil mengguncangkan bahunya. Kulihat Rana terkaget dan langsung menatap dalam ke mataku.

"Ah, Iya," jawabnya seadanya. Rana  akhirnya bangun dari kursinya dan berjalan gontai di belakangku, dengan langkah kaki yang diseret Rana hampir ketinggalan jauh di belakangku. Aku langsung berlari menghampirinya dan kugandeng tangannya. Tangannya bergetar hebat dan berkeringat, matanya menatap kosong. Ada apa lagi dengan Rana. Tadi dia semangat sekali sekarang tangannya dingin wajahnya pucat pasi.

"Kamu kenapa?" aku tak tega melihatnya seperti ini. Rana seperti mayat hidup yang hampir menyerupai zombie. Wajahnya pucat sekali semakin putih. Tangannya berkeringat.

"Aku takut pesawat," jawabnya menunduk. Tangannya semakin erat mencengkeram dengan tenaga yang mungkin penuh. Kukunya yang panjang menghujam kulit tanganku terasa sakit. Ingin menepiskan aku tak tega melihat Rana seperti itu.

"Percaya padaku tidak akan terjadi apa-apa selama kamu di samping aku," menyemangatinya walau dalam diriku ada juga perasaan takut yang amat sangat akan pesawat. semenjak kejadian lima belas tahun yang lalu, baru kali ini aku naik pesawat. Tujuan yang sama seperti lima belas tahun yang lalu. Melihat Rana yang begitu ketakutan aku tidak mungkin menunjukkan ketakutanku di depannya. Dia menatapku dengan sejuta pertanyaan tersirat dari matanya. Aku langsung menggenggam tangannya untuk menguatkan.

Tujuh jam perjalanan yang kami tempuh menuju Jepang. Selama dua jam perjalanan itu pula Rana tidak melepas genggaman tanganku.  Sesekali wajahnya disusupkan ke dadaku tak sekejappun matanya memejam. Rana benar-benar di puncak rasa takutnya. Matanya tajam ek depan tak sedikitpun menoleh ke arah jendela. Seorang pramugari mendatangi kami dan menawarkan minuman, beruntung aku dapat berbahasa Jepang karena aku murni berdarah Indonesia -- Jepang. Kupesankan susu vanilla untuk Rana dan aku coklat panas.

"Saya mau susu coklat panas," pintaku pelan. beberapa menit kemudian sang pramugari datang dengan segelas susu  vanilla dan coklat panas yang langsung diminum Rana dan saat itu juga. Wangi vanilla panas memenuhi tempat kami duduk. Rana  perlahan mulai melepas tanganku dan bersandar ke kursi dan mulai tertidur. Rana jelas mengingatkanku dengan Nara yang kalau sedang sedih atau marah,  ibu akan langsung memberikannya  segelas susu vanilla panas.

Akupun mencoba mengistirahatkan mataku. Suasana pesawat yang sunyi membantuku memejamkan mataku. Saat aku hampir terlelap dalam tidurku pesawat bergetar dengan hebatnya. Aku kaget dan langsung memegang tangan Rana dan mengencangkan sabuk pengamannya. Aku melihat ke sekeliling semua penumpang masih tertidur pulas.

"Para penumpang sekalian, ini kapten Ray, maaf atas benturan yang cukup kencang tadi, itu terjadi karena kami melewati awan yang cukup besar dan tebal ditambah angin yang cukup kencang, sekarang sudah normal kembali."  Suara sang kapten dari pengeras suara terdengar tenang namun membuatku seperti mati dalam sekejap. Pesawat sudah mulai normal aku pun mencoba tenang dan memperhatikan Rana yang masih terlelap dalam tidurnya. Untungnya Rana tertidur sehingga tak merasakan kejadian tadi. Aku terus terjaga setelah kejadian itu karena aku trauma mengingat kecelakaan keluarga kami dahulu.

Pukul enam sore kami mendarat di bandara Narita Jepang, perbedaan waktu dua jam dengan Indonesia. Aku membiarkan semua penumpang turun lebih dahulu agar Rana memiliki waktu lebih dengan tidurnya. Akhirnya aku sampai juga di tanah kelahiran ayahku.

"Rana, kita sudah sampai," ucapku lembut di telinga  Rana.  Rana mulai membuka matanya sayup-sayup dan menatap ke jendela dengan terkejut.

"Kita sampai? Kita benar sudah sampai?" tanyanya dengan kaget dan mata seolah tidak percaya.

"Sudah kubilang kan, kalau tetap di samping aku tidak akan ada yang terjadi", jawabku tenang seolah tidak ada yang terjadi di pesawat tadi.

"Makasih ya Lyan" jawabnya senang dan langsung memelukku erat. Aku kaget dan beberapa detik kemudian aku membalas pelukannya dengan hangat. Udara yang dingin mulai menembus kulitku. Aku rapatkan jaket dan mengingatkan Rana untuk mengenakan mantelnya.

Di Jepang saat ini  masih musim dingin bulan Januari, terlihat salju berjatuhan dari langit dengan lembutnya. Saat siang suhu musim dingin di wilayah Tokyo dapat mencapai sekitar 12 derajat, sedangkan pada malam hari suhu bisa turun sampai 5 derajat Celsius. Ketika memasuki bulan Januari di tahun berikutnya, suhu pada siang hari mencapai 10 derajat, dan pada malam hari bisa mencapai 2-3 derajat Celsius. Di bulan Februari, suhu di siang hari 10-11 derajat dan pada malam hari bisa sampai 3 derajat, lho! Rasanya salju mendinginkan hatiku.

Kami rupanya datang di saat yang tepat. Sudah sejak kecil aku ingin merasakan salju, tapi keinginan itu tidak pernah terpenuhi karena kecelakaan yang merengut orang-orang terkasihku. Rana berjalan dengan santainya dan dengan senyum di wajahnya.  Tak terlihat lagi perasaan  khawatir dan rasa takut. Langkah ringan Rana yang periang sudah kembali. Seperti Rana yang senang bisa mendarat dengan selamat, akupun demikian.  Seandainya mereka mendarat dengan selamat bukan saat ini tapi lima belas tahun yang lalu, pastilah lebih menyenangkan. Masih ada ayah dan ibuku dan terutama gadis kecil berkuncir kuda kesayanganku ada disamping saat ini.

Lima belas  tahun yang lalu ayah dan ibu mengajak kami sekeluarga untuk pulang ke Jepang mengunjungi keluarga kami. Berita baiknya ibu bilang kalau saat kami berangkat adalah saat musim dingin akan ada salju di sepanjang jalan dan pepohonan. Aku dan Nara sudah merencanakan  apa yang aku lakukan di Jepang nanti. Kami akan membuat boneka salju pertama kami, dan kami akan perang bola salju bersama. Banyak saudaraku di Jepang yang seumuran dengan aku dan Nara sangat  menantikan kami. Mereka sudah mengirimkan kegiatan apa saja yang menyenangkan selama kami berlibur di Jepang.

Ibu sudah mempersiapkan segalanya, pakaian dingin kami sudah lengkap semua. Ibu sudah merencanakan jauh-jauh hari padahal aku dan Nara  usai libur sekolah. Ibu terpaksalah meminta izin ke sekolah. Kata ibu, kami harus mengalah karena ayah diijinkan cuti bulan Januari.  Saat itu sedang musim hujan di Indonesia, hampir di mana-mana banjir. Kami yang masih kecil tidak peduli dengan kondisi cuaca seperti itu yang terpenting aku dan Nara dapat berlibur bersama.  Menunggu hari keberangkatan menjadi sesuatu yang membosankan. Aku dan Nara memberi coretan pada kalender yang terpajang di dinding kamar. Rencananya aku akan berangkat bersama ayah, ibu, dan Nara. Tiket pesawat sudah dipesan kami siap berangkat. Berita baik untukku dan buruk juga untukku dan keluarga. Aku masuk final dalam debat bahasa Jepang yang pelaksanaannya mundur dari jadwal yang ditetapkan panitia. Lomba ini sangat penting bagiku dan sekolahku.  Aku ingin membuat ayah bangga padaku karena aku dapat berkompetisi dengan bahasa ayahku. Akhirnya diputuskan aku akan berangkat bersama teman ayah yang juga orang Jepang dua hari setelah keberangkatan keluargaku. Mulanya aku marah dan tidak mau ikut lomba. Tapi  harapan ayah dan ibu juga kepercayaan sekolahku karena aku satu-satunya wakil provinsi membuatku harus mengalah. Ayah meyakinkan aku bahwa mereka tidak akan kemana-mana sampai aku tiba di Jepang. Janji yang memang ditepati karena mereka tidak kemana-mana.

Hari itu masih aku ingat betul. Malam keberangkatan keluargaku, Nara ke kamarku dan bertanya yang pertanyaannya selalu membuatku tertawa geli. Pukul tiga pagi mereka akan berangkat. Malam itu aku marah dan tak membuka pintu kamar karena mereka akan meninggalkan aku. Perbuatan yang aku sesali seumur hidupku karena masih jelas di telingaku suara merdu Nara ketika ibu memandikan dan memberinya baju. Nyanyian Nara yang memasuki kamarku melalui celah-celah rongga di jendela tak mengusikku untuk bangun dan mengucapkan selamat jalan. Aku pura-pura tertidur sampai langkah kaki kecil mendekati pintu sebelum suara cempreng Nara membangunkanku, ibu sudah mengajaknya untuk bergegas karena taksi sudah menunggu. Masih kudengar bisikan ibu di telingan Nara," Nara abang Lyan masih tidur tidak usah dibangunkan yah, besok abang mau lomba. Nara tulis surat saja taruh di bawah pintu biar abang baca, oke." Suara ibu yang lamat-lamat aku dengar terasa menghujam jantungku. Aku ingin mengendong Nara dan membetulkan kuncir kudanya. Tapi keegoisan dan gengsiku membuatku lupa semua. Perbuatan tolol yang aku sesalkan sampai saat ini.

 Nara membawa boneka doraemon dan bantal leher berwarna biru polkadot kesayangannya. Kulihat ayah membimbing tangan mungilnya yang sesekali langkahnya berhenti dan menengok ke jendela kamarku yang memang menghadap ke jalan. Aku mengintip dari celah gordeng kepergian orang-orang yang aku sayangi. Belakangan penyesalan ini membuatku tak suka melihat boneka doraemon bahkan enggan naik taksi biru.

"Abang Lyan, Nara tunggu, yah jangan lupa bawa surabi duren yah," suara Nara di telan gemuruh knalpot taksi yang semakin menjauh. 

Pintu ruang aula besar tempat lomba terasa dingin luar biasa. Pendingin di ruangan mungkin terlalu rendah pikirku. Kulihat sudah banyak finalis dan para supporter. Aku sendiri didampingi Mr. Tatematsu  dan beberapa teman sekolah yang ikut menjadi suporterku. Debat kali itu seru tentang remaja dan budaya Jepang. Rasanya sedih tak ditemani orang terkasih. Hanya surat Nara yang membuatku tidak merasa sendiri.

Abang Ly kebanggaan Nara, Nara nunggu yah. Abang harus juara biar kita buat piala dari salju. Nanti abang pasti tahu Nara melihat Abang Ly lomba dari atas sana.

Nara sayang Abang Ly

Tulisan tangan Nara yang pastinya susah payah dia buat. Nara sudah pandai menulis karena sering kali aku ajak berlatih menulis. Surat Nara membuat lomba debat ini menjadi hidup dan membuatku bersemangat. Alhasil aku menyandang predikat juara lomba debat tahun itu. Rasanya tak sabar ingin mengabarkan pada mereka. Tapi aku tahu mereka belum bisa menerima telepon dariku masih di atas awan. Akhirnya memang aku tak pernah bisa menelepon mereka.

"Lyan," panggil orang di depanku membuyarkan kenangan burukku. Rana menatapku dengan bingung. Rupanya sedari tadi aku sibuk dengan masa laluku lupa jika aku datang dengan Rana.

"Ya,"jawabku spontan dan langsung memegang tangannya erat. Kulihat Rana terkejut dan langsung membalas menggenggam tanganku. Kami mulai meninggalkan imigrasi dan mengambil koper segera meninggalkan bandara.  Udara dingin menyambutku jaket hijau lumut yang aku siapkan terasa menembus kulit. Kulihat Rana sudah mengenakan jaket pink dengan bulu-bulu halus di sekitar lehernya Rana juga menambahkan syal warna pink tua di lehernya. Telinganya sudah ditutupi topi kupluk kalau ini topi yang aku berikan waktu syuting. Kedua tangan Rana sudah terbungkus sarung tangan berwarna pink warna kesukaan Rana. Wajah Rana memerah mungkin menahan dingin. Ingin aku dekap erat agar kami bisa lebih hangat.

Salju berjatuhan satu persatu dengan lembut menyambut kedatanganku dan Rana. Salju putih yang diinginkan oleh adikku Nara kini hadir di jalan-jalan menuju ibukota Jepang, Tokyo. Tangan aku rentangkan ke udara untuk mengambil salju, Rana melihat tingkahku sambil tertawa aku pun ikut tertawa melihat tingkah konyolku itu. Tertawaku yang kering dan gersang karena harusnya aku bersama Nara menatap dan menyentuh salju. Ingatanku semakin menghujam jantung, bulir Kristal tiba-tiba sudah membasahi wajahku.

"Ahhhhh..... Naraaaaaa.... Abang Ly datang kamu dimana!" teriakanku memecahkan suasana beberapa orang yang melintas melihatku mungkin berpikir orang ini senang ada di jepang. Untungnya tak ada yang mengerti bahasa Indonesia.

"Kita ke Ibaraki, yah, ada beberapa temanku yang punya rumah tapi tidak di huni." Ucap Rana sambil menyerahkan selembar tiket kepadaku.

"Tidak dihuni maksudnya?" tanyaku polos saat menaiki bus menuju Ibaraki kota kecil dekat Tokyo.

"Seperti di daerah Pondok Indah atau Kemang gitu, mereka punya rumah di sana tapi mereka tinggal di tempat lain temanku tinggal di apartemen di daerah Mito, nah rumahnya ini sebagai peristirahatan saja," jelasnya. "Daerah itu masih ada persawahan dan juga pantai yang indah." Aku mengangguk setuju dan mengiyakan tadinya aku akan mengajak Rana ke hotel beristirahat dan menyusun rencana kami selanjutnya di Jepang. Ternyata Rana lebih dahulu memberikan ide yang cukup bagus. Lumayan bisa menghemat pengeluaran. Rana memesan bus lewat temannya yang bekerja agen travel di Jepang.

Kami  naik limousine bus. Limousine bus ini tarifnya super murah sekali jalan hanya 500 yen ini bus yang kami naiki bernama Kanto Railway Express Highway Bus. Banyak bus lain juga yang menuju Ibaraki tetapi Rana memilih bus ini yang katanya kenayamannya nomor satu. Rana mengajakku ke stasiun JR Tokyo naik MRT. Stasiun JR Tokyo adalah pusat kegiatan untuk menuju kota-kota di Jepang bahkan dari sini kita dapat naik JR atau bus ke Osaka atau naik Shinkansen sejenis kereta cepat di Jepang. JR Tokyo ada di dalam mall besar, kami tidak berniat berbelanja jadi koper kami seret menuju tempat bus yang menuju ke Ibaraki. Rana dengan cekatan menukarkan tiket bus yang dibelinya secara online. Aku menatap Rana dengan takjub, harusnya aku yang meladeninya kok ini sepertinya aku berada di tempat asing. Kata Rana perjalanan dengan bus ke Ibaraki ditempuh dengan waktu 1 jam 30 menit. Lumayan juga setidaknya melihat tampilan bus yang super mewah aku pastikan aku akan terlelap selama perjalanan.

Aku tatap Rana yang kali ini sudah seperti orang Jepang membaca buku yang dibawanya.

"Ran, rumah itu sudah lama tidak dihuni, ya? tanyaku bodoh.

"Kenapa kamu takut? " ledek Rana, gak usah takut rumah itu dihuni oleh penjaga rumah dan anaknya. Mereka yang membersihkan rumah." Rana tersenyum meledekku.

"Oh gitu, kirain rumah kosong, kan seram juga hahaha" aku tertawa membayangkan rumah kosong seperti judul sebuah sinetron yang pernah aku bintangi.

"Ibaraki adalah prefektur yang cukup ramai tetapi tidak seperti Tokyo  banyak perumahan mewah juga di sana, persis dengan perumahan di Pondok Indah lah" jawabnya

"Banyak yang seperti itu memilih apartemen daripada rumah," jawabku sambil membenarkan jaket yang mulai meranggas dingin masuk dari celah-celah jaket. Teman-temanku yang orangtuanya memiliki rumah di Pondok Indah rata-rata tinggal di apartemen di tengah kota.

Sepanjang jalan Rana bercerita tentang Prefektur Ibaraki atau dalam bahasa Japan Ibaraki-ken. Prefektur ini terletak di wilayah Kant di pulau Honsh.  Mito merupakan ibu kota dan kota terbesar di Prefektur Ibaraki, dengan kota-kota besar lainnya seperti Hitachi, Hitachinaka, dan Tsukuba.

 "Setelah istirahat, besok pagi kita ke Danau Kasumigaura, kata Rana sambil membentangkan peta yang ia datatkan di bandara tadi, " Danau ini adalah danau terbesar kedua di Jepang, semoga danaunya tidak tertutup salju." Matanya mulai menutup dan bibirnya tersenyum.

Mataku malah tidak mau terpejam. Aku yang sudah membayangkan kenyaman bus untuk tidur malah tak bisa memejamkan mata. Tokyo yang ramai memang layaknya kota-kota besar seperti Jakarta. Macet tentu saja ada di Tokyo hanya mereka lebih teratur dalam menunggu bus bahkan berjalan di tempat yang seharusnya. Aku sudah dapat merasakan perbedaan orang jepang dengan yang bukan seperti aku dan Rana. Bisa dilihat dari gaya mereka berjalan yang selalu cepat dan kesannya terburu-buru. Mungkin pepatah yang mengatakan 'waktu adalah uang' berlaku di Tokyo ini.

Rumah besar bergaya khas Jepang dengan bendera di pucuk tiang yang menjulang hampir setinggi atap rumah di depan gerbang . Halaman luas hampir ditutupi salju sudah terlihat di depan mata kami. Beberapa orang keluar dan seseorang dengan baju seragam yang hampir sama dengan dua orang lainnya menyapa Rana. Aku lihat Rana menunjukkan ponselnya dan dibalas senyuman oleh seorang yang terlihat sebagai pelayan atau tepatnya penjaga rumah seperti yang diceritakan Rana. Penjaga rumah itu  membawakan koper kami ke dalam. Rumah yang sangat indah terlihat ornament asli Jepang berwarna merah dan bunga-bunga seperti sakura yang menghiasi dinding depan rumah. Aku dan Rana mengikuti penjaga rumah yang akhirnya aku ketahui orang Indonesia dengan dua anaknya yang mulai remaja. Rupanya ia sudah lama tinggal dan menjadi pelayan di rumah ini yang juga kepunyaan orang Indonesia-Jepang. Pak Bambang nama penjaga rumah itu mengajak kami ke dalam rumah yang jauh lebih hangat daripada diluar. Setiap rumah di Jepang  memiliki penghangat ruangan, berbeda dengan Indonesia yang justru memiliki pendingin ruangan di rumah mereka. Ada tiga kamar tidur di dalamnya aku diberi kamar tepat di depan ruang makan dan Rana dekat dengan ruang tamu yang tadi kami masuki.  Ruang makan dilengkapi dengan meja makan dengan konsep mewah.  Meja itu panjang berbentuk oval dilapisi kaca yang di dalam kaca kita bisa melihat aneka hiasan kipas dan ornament Jepang dalam bentuk mini. Mulai dari yukata dan porselin cantik yang kecil. Kursi makan yang didominasi warna putih berukir disisi-sisinya membuat kesan elegan. Selera yang sangat berkelas pastinya siempunya rumah orang kaya dengan penghasilan yang luar biasa.

Rumah yang didominasi warna putih ini terlihat bersih dan rapi, menandakan bahwa pemiliknya adalah orang yang menjaga kebersihan dan tahu penataan rumah yang baik. Konsep budaya yang sangat kental diambil untuk rumah yang memang hanya dihuni oleh pelayan dan anak-anaknya. Kalau dipikir-pikir enak yah jadi pelayan disini bisa merasakan tinggal di rumah mewah digaji pula. Hahahhahaha pikiran yang sungguh konyol.

"Aku sudah telepon temanku waktu pertama tiba di bandara tadi. Dia bilang kita bisa tinggal disini selama yang kita mau, tapi dia tidak bisa datang kesini karena ia ternyata sedang di luar negeri."  Kata Rana yang membuyarkan keasyikanku mengamati konsep rumah ini. Di atas meja makan sudah ada berbagai macam makanan khas Jepang. Aku sudah sering makan yang khas Jepang. Waktu aku  kecil dan  sushi ibuku adalah yang terbaik karena terbukti dari semua restoran yang aku cicipi tidak ada yang seenak buatan ibu. Rana langsung mengisi piringnya dengan berbagai macam jenis makanan dan duduk manis di depan piringnya sambil tersenyum padaku. Aku yang mengerti maksudnya langsung memulai berdoa untuk makan malam kami yang mewah ini.

"Sebenarnya ada yang mau aku bicarakan dari awal kita di bandara Soekarno-Hatta dengan kamu." kata Rana di tengah acara makan malam kami. Wajahnya menatapku yang asyik dengan makanan yang memenuhi piring.

"Ada apa? Bilang aja,"jawabku masih asyik dengan semangkuk sup kozuyu. Sup  ini luar biasa enak sekali penuh dengan seafood. Pedasnya sangat pas dengan selera lidahku hangat dan dapat meredam rasa.

"Malam sebelum kita berangkat, Nala datang ke apartemenku,"  kata-kata Rana hampir membuatku tersedak dan mulai fokus dengan pembicaraan kami. Aku letakkan mangkuk yang mau aku seruput air supnya. Aku memastikan ada pembicaraan yang luar biasa sehingga Rana perlu waktu khusus untuk membicarakan.

"Dia marah padaku karena mempengaruhimu untuk pergi untuk ke Jepang. Nala bilang aku merusak hubungan kalian," Rana bercerita dengan wajah sedih.

"Kenapa Kamu gak bilang sama aku dari awal?" Aku bisa ke apartemen kamu memberi penjelasan ke Nala," aku mulai cemas dengan apa yang dikatakan Nala. Aku tahu watak Nala yang pastinya tidak akan pernah puas untuk mencari jawaban. Walaupun jawaban itu akan menyakiti.

"Aku takut Kamu gak jadi pergi ke Jepang karena Nala," jawabnya jujur menatap dalam ke mataku.

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu?" tanyaku. Aku tak ingin Rana tahu betapa senangnya aku menemani dia dan bukan Nala.

"Karena dia calon istri Kamu dan aku cuma partner kamu," jawabnya dengan mata sayu.

Aku terdiam mendengar jawaban Rana. Semua yang Rana katakan benar, Rana hanya partnerku dan Nala adalah calon istriku. Aku lebih memilih Rana daripada Nala. Aku bahkan tak mengejar Nala ketika pertengkaran kami. Waktu itu aku hanya ingin kepergianku dengan Rana dapat menjawab semua kegelisahan aku dan mencari tahu siapa Rana. Mungkin ada lagi yang dikatakan Nala dan aku yakin Rana tak ingin membicarakannya denganku. Setidaknya Rana sudah bercerita aku sudah merasa lega.

"Aku tahu yang aku lakukan mungkin salah dan menyakiti Nala. Tapi tahukah kamu kenapa aku ingin menemanimu ke Jepang? Ini berhubungan dengan pekerjaan kita, agar kamu bisa fres dan bekerja maksimal lagi," kali ini aku berbohong pada Rana. Biarlah Rana menganggapku menemani agar pekerjaan kami aman.

"Oh iya, besok temanku mau mampir kesini, sudah sepuluh tahun kita gak ketemu, bahkan aku hanya punya satu foto kami berdua waktu kecil," kata Rana. Wajahnya sudah kembali seperti Rana yang aku kenal. Tak ada lagi kegundahan, dan kecewa yang ada wajah sumringah membicarakan masa kecilnya. Seolah permasalahan tadi sudah hilang begitu saja dari pikiran Rana tidak denganku. Rana gampang memutar balikkan hati itu yang membuatku jadi misteri.

"Oh ya, dia orang Jepang juga?" tanyaku yang enggan membahas masalah yang hampir merusak suasana makan malam kami.

"Sepuluh tahun yang lalu dia pindah kesini bersama keluarganya," Rana memulai ceritanya. Makan malam yang sungguh nikmat. Rana lalu membersihkan meja makan dan berjalan ke arahku menuangkan jus melon di gelasku yang kosong.

"Makasih" jawabku selesai Rana menuangkan jus.

"Kita sudah melakukan perjalanan panjang, saatnya istirahat besok akan menjadi hari pertama kita untuk mengeksplore ibaraki kota kecil di mana masa kecilku terpenggal di sini." kata Rana menghabiskan jus dan berjalan ke kamarnya dan mencium pipiku. Aku terpana dengan sentuhan kecil Rana dan memandangnya hingga Rana memasuki kamar hingga punggungnya menghilang. Aku berjalan menuju ruang tv dan mengeluarkan foto dalam dompetku.

"Ibu, aku sampai di Jepang dengan selamat, tidakkah ibu senang mendengarnya? Aku harap aku disini bersama Ibu, Ayah, dan Nara. Hari ini turun salju Ra, di depan rumah ada setumpuk salju yang pasti jadi tempat yang asyik buat kita main boneka salju. Kamu dimana Ra, entah kenapa abang merasa kamu masih hidup dan berada di sekitar kakak saat ini? Maafkan abang kali ini tidak bisa selangkah di depan kamu, apa kamu diganggu orang jahat, apa kamu baik-baik saja abang gak tahu. Abang hanya berharap supaya kamu selalu dikeliling malaikat." Aku berbicara sendiri sambil memandangi foto keluarga kami yang masih tersisa. Aku tersenyum sedih melihat senyum mungil gadis berkuncir kuda yang ada di foto itu. Wajah ayah dan ibu masih teringat jelas di kenanganku, semua cerita sebelum tidurnya dan nasihat ayah yang mengharuskanku kuat dan pintar agar bisa menjaga Nara. Nara gadis kecil yang disayangi semua orang termasuk para ibu-ibu yang suka berkebun, di perkebunan teh dekat rumah kami  di Lembang pun sangat menyayangi Nara walau mereka harus terus menjawab pertanyaan yang dilontarkan Nara. aku mengenang itu semua sampai tak sadar sudah tertidur di sofa yang hangat di ruang depan.

Sinar matahari pagi bersinar terang menusuk mataku lewat jendela yang berada tepat di depan sofa tempat aku tertidur tadi malam. Aku mengerjapkan mata dan sudah tersedia sepiring roti dan segelas susu coklat panas di meja tamu depan sofa.

"Ohayo Gozaimashu, Lyan san." sapa Rana dengan bahasa Jepang." Lyan kenapa tidur di sofa?" Rana bertanya dengan heran padaku yang berusaha bangun untuk duduk. Aku tersenyum dan menoleh ke jendela yang tirainya sudah terbuka. Terlihat pucuk dedaunan di pohon depan rumah yang dipenuhi salju.

"Ohayo Gozaimashu Rana san, terima kasih atas sarapannya." balasku dengan bahasa Jepang juga. Aku bangkit menuju kamar dan membersihkan wajah dan menggosok gigiku di wastafel yang ada di kamar sebelum menyantap sarapan pagi yang disudah disiapkan.

"Kamu lelah sekali yah Lyan sampai tak sadar sudah tertidur di sofa?" Rana masih bertanya ketika aku kembali ke ruang tamu. Kali ini aku jentik hidungnya dengan lembut dan beranjak ke jendela menatap kosong ke jendela yang belum tampak matahari utuh. "Ih Lyan ditanya malah bengong gitu,kenapa sih?" Rana mendatangiku dan menarik tanganku untuk duduk.

"Apa yah yang membuatku tertidur," kali ini aku ingin menggoda Rana."Mungkin aku terlalu lelah selama perjalanan harus dipegang terus sama gadis yang takut naik pesawat." Aku lihat rona wajah Rana yang memerah dan mencubit pinggangku dengan gemas.

 Ting nong.... Bunyi bel pintu. Pak Bambang dengan sigap membukakan pintu dan mempersilakan tamu yang datang pagi itu untuk masuk. Seorang gadis, bisa kutebak pasti itu teman yang diceritakan Rana semalam. Aku tidak menyangka teman Rana akan datang sepagi ini. Aku masih fokus dengan sarapanku tanpa memperdulikan penampilanku yang sudah kusam pagi ini. Aku belum mandi dan penampilanku masih seperti kemarin dengan pakaian yang aku kenakan dari Jakarta.

"Nara san!" teriak Rana histeris memanggil nama temannya itu. Kontan saja panggilan Rana pada temannya itu sukses membuatku tersedak hampir mati. Nama itu, nama yang baru saja kukenang wajahnya semalaman hingga aku harus tertidur di sofa. Apa dia Naraku? Rana bilang temannya itu baru pindah ke Jepang sepuluh tahun yang lalu tapi kecelakaan itu? Jadi apa tidak pernah ditemukan mayatnya Nara itu karena dia sudah ada di Jepang, tapi bagaimana bisa. Aku langsung lari ke depan pintu tanpa memperhatikan penampilan yang benar-benar berantakan. Aku spontan memperhatikan wajah gadis yang berdiri dengan wajah bingung dan aneh menatapku. Gadis itu tertegun , seolah ingin bertanya kenapa ada makhluk lain yang tinggal dengan Rana.

"Oh iya, ini temanku dari Indonesia namanya Lyan. Lyan ini teman yang aku ceritakan semalam." Rana memperkenalkan kami.

"Haik... saya Nara senang bertemu denganmu." Jawabnya sambil membungkukkan badan khas orang Jepang bila bertemu teman. Kulihat wajahnya yang tersenyum ramah. Kali ini aku yang tertegun luar biasa bahasa Indonesia yang digunakan lancar sekali.

"Kamu, Kamu bahasa Indonesianya lancar  sekali" kataku tergagap. Entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Dia tertawa sebentar dan menjawab.

"Ya, iyalah, aku lima tahun tinggal di Indonesia baru pindah kesini." jelasnya sambil berjalan memasuki rumah dan memperhatikan konsep rumah ini, sama seperti awal aku sampai ke rumah ini.

"Rana, ini aku bawakan susu pisang dan coklat yang paling enak di Jepang, sambutan untuk sahabat terspesial yang sepuluh tahun tidak bertemu." Kata gadis itu sambil menyerahkan tas kertas yang diterima Rana dengan senangnya. Rana mengajak temannya itu ke sofa. Mereka saling melepas rindu sepertinya tidak memperhatikan kehadiranku. Rana  lalu mengeluarkan isinya dan meminum sebotol susu pisang yang dibawa gadis itu tanpa menawarkan aku. Aku masih berdiri mematung memandangi tingkah laku dan wajah teman Rana. Kalau memang ia Naraku, aku harusnya sudah merasakannya, tapi entah kenapa ia terlihat tidak familiar dimataku. Tentu saja alasan satu-satunya karena kami sudah berpisah lima belas tahun lamanya.

Siapa gadis itu mengapa namanya serupa dengan Nara-ku???

Bersambung yah fren....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun