Evolusi ini melalui pendidikan dan sosialisasi akan menjadi sasmita (lambang, tanda) seni rupa murni informasi PENA (Pengembangan Entitas Nasional Akuntabel) yang diteruskan menjadi seni rupa terapan konsepsi blueprint (cetakan biru) dari DESA (Deklarasi Ekonomi Sosial Akuntabel) melalui KESRA (Konferensi Ekonomi Sosial Akuntabel).
Maka, frasa kehidupan bidang sosial yang menjadi "sasmaka, sasmaya, sasmita" (cahaya, keindahan, lambang) sila pertama Garuda Pancasila yang akuntabel akan membuka tabir sosialis frasa kehidupan bidang ekonomi yang berupa; "rega kuwi gawa rupa" (harga itu membawa rupa). Karena seni rupa dalam bidang ekonomi adalah inti pembangunan nasional.Â
Frasa inilah yang membawa reformasi di bidang ekonomi untuk mendapatkan 'trias risparmio di spazio" (tiga menghemat ruang) berupa "rega, rempaka, rupa" (harga, merangkai, wujud). Rega (harga) akan menjadi otomatisasi didapat melalui kehidupan bidang sosial yang sudah menjadi sasmita (lambang, tanda) akuntabel dalam melanjutkan arah pancaran seni rupa sila pertama Pancasila menuju arah pancaran seni rupa sila kedua.
Harga itu akan menjadi ASRI (Arah Seni Rupa Indonesia) menuju jaminan sosialis melalui seni rupa (Sistem Ekonomi Terbuka Integritas Asuransi Nasional). Inti dari harga ini untuk mengarah pada tingkatan selanjutnya berupa rempaka (merangkai). Selain seni rupa terapan konsepsi rempaka (merangkai) pada HET (Harga Eceran Tertinggi), juga harus ada pemerataan informasi dan konsepsi untuk seni rupa akuntabel-sosialis HET (Hak Ekspresi Talenta) kaum awam yang biasanya orang-orang proletarian dari ulah seni rupa kaum borjuis pada HET (Hedonisme Ekonomi Tirani).
Cara ini akan menjaga keseimbangan berjalannya 'tangan tidak terlihat' pasar yang tengah berusaha demi keuntungan produsen atau konsumen, sehingga akibatnya kembalinya keuntungan ekonomis pada seluruh anggota masyarakat adalah prinsip liberalisme yang ditegaskan. Keuntungan pribadi yang juga keuntungan publik.
Reformasi selanjutnya dari bidang ekonomi dalam mempersiapkan masyarakat akuntabel-sosialis melalui tahapan rega (harga) dan rempaka (merangkai) adalah untuk memantapkan bidang ekonomi menuju tingkatan selanjutnya, yaitu rupa (wujud, rupa). Tidak mengubah nilai uang dan adanya stabilitas adalah hal yang paling baik diinginkan seluruh negara, akan tetapi nilai uang selalu berubah.Â
Dengan dikumandangkannya "Proklamasi Kemerdekaan Indonesia" hingga era Reformasi saat ini, Indonesia selalu menari-menari dalam seni rupa lingkaran setan 'hula-hop' Â berupa penurunan nilai mata uang dan inflasi.
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) hingga aliran politik praktis, inilah bahaya laten yang pernah diseru-serukan oleh Orde Lama sebagai 'panjang tangan' dari NEKOLIM (Neo Kolonialisme-Imperialisme) pada frasa "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". Jelas seni rupa ini selalu membuat negara bagaikan kapal Titanic yang membawa pelayaran ekonomi kemewahan antar golongan aristokrat berimbas pada seni rupa rakyat dan negaranya menabrak dan tenggelam oleh gunung es yang bernama 'resersi global'. Penyerapan modal melalui pemerintah saja hanya kepanjangan tangan dengan penyerapan modal melalui asing atau luar negeri, pajak tidak terkumpul dalam negara melainkan dalam prahara, kenaikkan suku bunga pun miris jika rakyat sendiri tidak dapat menyisihkan pendapatannya. Maka, reformasi selanjutnya di bidang ekonomi adalah rupa (wujud, rupa) republik yang demokratis sesungguhnya berupa "kooperatif". Suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan. Karena kelemahan bangsa Indonesia sejak kolonialisme Barat menjadi kurang percaya diri sebagai bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka sehingga politik 'devide at empera' pun berhasil mengurangi kepercayaan satu sama lain seperti pada kelompok-kelompok Perang Salib di abad milenium pertama tahun Masehi.
Frasa Reformasi dalam bidang politik pun akan berbunyi " Beri aku seribu orang kapitalis, niscaya akan kucabut Puncak Jaya dari akarnya, berikan aku satu orang kooperatif, niscaya akan aku guncangkan dunia". Janganlah mengira politik itu untuk semua sudah cukup berjasa dalam segitiga warna; jas merah sejarah, kemeja putih peradaban, dan dasi kupu-kupu emas selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk ini ditabuh dengan orkestra legiun KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) untuk disamarkan dalam lubuk-lubuk paviliun.
Maka, ASRI (Arah Seni Rupa Indonesia) untuk Reformasi di bidang politik adalah 'trias politica' (tiga perpolitikan) eksekutif, legislatif, hingga yudikatif yang berupa "satata, satiti, satentrem" (menata, meneliti, menentramkan). Seni rupa itu ada untuk menata, karena alam semesta ini pun ditata oleh seni rupa seperti pada; kemunculan matahari dan bulan di bumi, rotasi bumi, revolusi bumi, hingga pergantian musim. Dan frasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia hingga saat ini adalah "Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat garuda di dadaku". Kreator bukanlah Ditaktor, seni rupa Kreator adalah hakikat republiken yang demokratif.