Karena kita tahu, harapan tak selalu datang dalam bentuk revolusi besar. Kadang, ia datang dalam bentuk segelas kopi panas yang dibagi dua, dalam sepotong kue kecil yang disisihkan untuk yang tak mampu. Dalam percakapan lirih di sudut warung, dalam puisi yang dibisikkan ke langit malam, dalam tulisan yang tak dibaca penguasa tapi dipeluk oleh yang merasa senasib.
Maka biarlah tulisan ini menjadi saksi, bahwa pernah ada rasa kecewa yang tak dibungkam. Pernah ada rakyat yang tak hanya menunduk, tapi juga menggugat. Pernah ada kesedihan yang dijahit menjadi kesadaran. Dan semoga, dari sisa-sisa rasa pahit ini, kita belajar meracik ulang: tentang negeri yang tak hanya dibangun dengan janji, tapi dengan empati. Tentang kekuasaan yang tak hanya dirayakan, tapi juga dipertanggungjawabkan.
Karena kita lelah minum dari cangkir kepalsuan. Kini saatnya menyeduh ulang---dengan air mata yang jujur, dengan api yang berasal dari nurani. Dan siapa tahu, kelak, di meja sederhana warung rakyat, kita benar-benar bisa merasakan manisnya kue keadilan. Bukan karena kita memohon, tapi karena kita berani menuntut.
Untuk segelas kopi yang tak lagi pahit. Untuk sepotong kue yang tak lagi usang.
Untuk negeri yang tak hanya milik mereka yang berkuasa. Tapi juga kita---yang setiap hari, diam-diam, terus berjuang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI