Ada yang bilang negeri ini besar karena pluralitasnya, karena semangat gotong royongnya. Tapi hari ini, gotong royong sudah berubah makna---dari saling bantu menjadi saling injak. Yang kuat menaiki pundak yang lemah, dan yang lemah diajari cara bersyukur sambil terus dibebani. Mereka lupa bahwa keadilan bukan soal membagi rata, tapi soal memberikan sesuai hak dan kebutuhan. Tapi bagaimana mungkin kita bicara keadilan, jika ukuran piring kita saja berbeda sejak awal?
Segelintir elit itu hidup dalam dunia paralel: jalan mulus beraspal hitam, lampu kota yang tak pernah padam, dan pengawalan ketat dari kenyataan. Mereka tak pernah tahu rasa cemas menunggu subsidi cair, tak pernah merasakan getirnya harga cabai yang melompat seperti grafik saham, tak pernah tahu sakitnya melihat anak harus putus sekolah karena tak punya seragam. Mereka bicara tentang ekonomi, tapi lupa wajah pasar tradisional. Mereka pidato soal kemiskinan, tapi tak kenal bau keringat di ladang.
Kita hidup dalam negeri yang katanya kaya, tapi entah siapa yang sebenarnya menikmati kekayaannya. APBN dibaca seperti mantra, tapi angka-angka itu tak pernah berubah jadi nasi di piring kita. Jalan dibangun, tapi bukan ke arah desa. Sekolah didirikan, tapi bukan untuk anak petani. Rumah sakit ditambah, tapi hanya bagi mereka yang sanggup membayar. Seolah-olah negeri ini dibuat hanya untuk satu golongan---mereka yang punya kuasa atas keputusan, dan kuasa atas narasi.
Terkadang, kita bertanya-tanya: apakah mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa kekuasaan bukan warisan? Bahwa jabatan bukan singgasana yang bisa diwariskan dari satu keluarga ke keluarga lain seperti tradisi bangsawan? Tapi mungkin memang begitu: kekuasaan terlalu nikmat hingga lupa rasanya menjadi biasa.
Sementara itu, rakyat tetap bertahan. Dengan luka yang dirawat diam-diam. Dengan doa yang disampaikan lewat langit malam. Mereka tak punya banyak pilihan selain tetap percaya, bahwa di antara elit yang terus berpesta, masih ada secercah harapan yang belum padam. Bahwa sejarah tak selamanya berpihak pada yang kuat. Bahwa kadang, perubahan datang dari suara paling lirih yang berani terus berbicara, bahkan ketika tak ada yang mendengar.
Mereka mungkin tidak punya kekuasaan. Tapi mereka punya kenangan tentang negeri yang dulu diperjuangkan dengan darah, bukan dengan saldo rekening. Mereka punya keberanian untuk tetap hidup dengan jujur, meski harus menanggung getir. Dan di situlah kekuatan sejati berada---bukan di istana, tapi di dada rakyat yang masih mau percaya meski berkali-kali dihancurkan.
Karena pada akhirnya, sepiring kekuasaan itu tak akan abadi. Tapi luka karena dikhianati, akan tetap hidup dalam ingatan.
Kue Demokrasi yang Sudah Usang
Kue demokrasi itu dulu manis---atau setidaknya, begitulah yang diceritakan. Di masa awal reformasi, rakyat duduk bersila di pelataran harapan, menanti sepotong kue bernama kebebasan, seiris harapan bernama keadilan. Tapi sekarang? Kuenya sudah basi. Disajikan berulang kali dengan hiasan berbeda, tapi adonannya tetap sama: kebohongan, korupsi, dan kekuasaan yang tak pernah kenyang.
Bayangkan sebuah kue yang terus-menerus diputar, dipoles, dipotong-potong, dibagikan ke meja-meja kekuasaan. Tapi tidak pernah sampai ke tangan mereka yang betul-betul lapar. Yang menguleni kue itu bukan rakyat, tapi mereka yang pandai menyusun strategi, membuat koalisi, menjual mimpi. Rakyat cuma penonton. Bahkan tak jarang, hanya dijadikan bahan dekorasi untuk memperindah meja pesta.
Kita dipaksa memilih setiap lima tahun, tapi hanya boleh memilih dari yang disajikan. Seolah kita tamu dalam pesta yang menunya sudah ditentukan, tapi masih harus bersyukur karena diundang. Dan jika kita protes tentang rasa kuenya yang pahit, kita akan dikatai tak tahu terima kasih.