Mohon tunggu...
Satria Jaya
Satria Jaya Mohon Tunggu... Pendidik, Pewarta, Penulis dan Social Media Enthusiat

Seseorang yang senantiasa belajar untuk jadi manusia. Terus bermanfaat dan menebar kebaikan #Katanya_Penulis #Nyatanya_Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Segelas Kopi dan Sepotong Kue yang Usang

17 Juni 2025   11:45 Diperbarui: 17 Juni 2025   09:56 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di negeri yang katanya demokrasi, rakyat diberi segelas kopi pahit dan sepotong kue yang sudah lama usang---lalu diminta bersyukur, bertepuk tangan, dan memilih.

Segelas Kopi dan Sepotong Kue yang Usang bukan sekadar esai, tapi elegi untuk nurani yang kerap diabaikan. Dalam untaian kalimat yang puitis, filosofis, dan menggigit, buku ini merangkum rasa getir rakyat kecil yang letih menjadi penonton di panggung sandiwara politik. Ini adalah catatan dari pinggir meja warung, dari suara-suara yang tak pernah masuk siaran, dari hati yang menolak untuk diam.

Dengan sarkasme yang lembut namun tajam, penulis menggugat sistem yang kehilangan rasa, kekuasaan yang kehilangan malu, dan janji yang kehilangan makna. Tapi di balik kritik yang membakar, terselip harapan yang membasuh. Bahwa dari segelas kopi pahit dan kue usang pun, kesadaran bisa tumbuh. Bahwa dari kecewa, keberanian bisa lahir.

Buku ini untuk mereka yang masih percaya: bahwa menulis adalah bentuk perlawanan, dan diam adalah cara paling sunyi untuk mati.

 

Prolog: Segelas Kopi, Sebait Janji

Di sebuah sudut warung kopi tua, kursi-kursi plastik bergoyang ringan diterpa angin sore. Asap rokok menggantung di udara, bercampur aroma kopi tubruk yang terlalu manis. Di meja reyot itu, kata-kata berseliweran seperti burung yang kehilangan arah pulang: tentang negara, tentang janji-janji pemilu, tentang calon yang katanya merakyat padahal tak pernah merasakan lapar yang sama.

Seseorang bicara lantang, tangannya mengepal. Yang lain menanggapi, tertawa, lalu menyesap kopi yang mulai dingin. Obrolan politik di warung kopi---ritual paling demokratis yang kita punya---tempat rakyat kecil boleh berteriak tanpa takut ditangkap, asal jangan terlalu keras. Segalanya terasa begitu bebas, sebebas memilih menu di papan tulis yang warnanya sudah pudar. Tapi seperti halnya kopi sachet yang mereka seduh, semua ini instan. Hangat sesaat, lalu pahit menyesakkan.

Demokrasi kita, entah sejak kapan, lebih banyak terasa daripada terasa. Ramai diperbincangkan, tapi jarang diperjuangkan. Ia menjadi semacam aroma: hadir, kuat, namun tak pernah benar-benar bisa kita genggam. Ia dibicarakan di mimbar, disakralkan dalam konstitusi, tapi tetap menjauh dari kenyataan. Seperti segelas kopi yang disajikan dengan segala romantisme, namun dibiarkan basi di hadapan mereka yang lapar keadilan.

Kita pernah percaya, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Tapi hari ini, suara itu tenggelam di antara suara-suara yang lebih nyaring karena bersponsor. Kita pernah berharap bahwa demokrasi adalah jalan menuju kesejahteraan, tapi ternyata yang sejahtera hanyalah mereka yang bisa duduk di belakang meja bundar, memotong kue kekuasaan tanpa pernah bertanya siapa yang membuat adonannya.

Segelas kopi dan sepotong kue---dua hal sederhana yang menjadi metafora paling jujur tentang bangsa ini. Kopi itu, seperti kritik rakyat, diseduh dengan ketulusan tapi diminum dengan keraguan. Kue itu, seperti kekuasaan, tampak lezat di etalase kampanye, tapi ternyata usang saat disantap, menyisakan rasa pahit dan serbuk kebohongan yang lengket di langit-langit mulut.

Tapi, entah mengapa, kita tetap datang. Duduk. Membicarakan nasib bangsa. Mungkin karena dalam keterbatasan, kita hanya bisa berharap. Dan dalam harapan, warung kopi adalah tempat paling nyata untuk merayakan ilusi yang disulap menjadi demokrasi. Tempat kita merasa punya suara, meski tak pernah didengar.

Di negeri yang katanya demokratis ini, percakapan tentang negara tidak terjadi di ruang-ruang megah ber-AC yang penuh jargon dan tepuk tangan palsu. Ia justru lahir dari kepulan asap rokok dan kopi sachet yang terlalu manis. Di warung-warung kopi pinggir jalan, di mana kursi plastik berderit dan meja kusam penuh coretan nama mantan, rakyat bicara---kadang dengan semangat membuncah, kadang dengan putus asa yang dibungkus tawa.

Di sana, demokrasi hadir dalam bentuk yang paling jujur: bukan sebagai sistem yang rumit, tapi sebagai harapan sederhana. Harapan bahwa suara kita berarti, bahwa jeritan kita didengar, bahwa hidup tidak selalu harus begini-begini saja. Tapi seperti segelas kopi yang terlalu lama didiamkan, harapan itu perlahan mendingin. Dulu hangat, sekarang hambar. Dulu kuat aromanya, kini hanya menyisakan ampas.

Kita duduk di hadapan meja demokrasi yang retak---berharap bisa mencicipi sepotong kue keadilan, padahal sejak awal kita tidak pernah diundang ke pestanya. Kue itu telah lama dibagi, bukan berdasarkan keadilan, tapi berdasarkan kedekatan. Sementara rakyat, pemilik asli resep perjuangan, hanya diminta bertepuk tangan sambil menonton potongan demi potongan diperebutkan oleh tangan-tangan kekuasaan yang licin.

Demokrasi hari ini tak ubahnya pentas sandiwara. Ada naskah yang ditulis rapi, aktor yang tampil meyakinkan, dan penonton yang membayar tiket dengan suara dan harapan. Tapi seperti drama murahan, akhir ceritanya selalu bisa ditebak: sang tokoh utama naik panggung, mengucapkan janji, lalu pergi meninggalkan panggung saat tirai ditutup, lupa pada mereka yang duduk paling belakang.

Segelas kopi dan sepotong kue menjadi simbol dari kontradiksi besar itu. Kopi, yang diseduh dengan tangan rakyat, pahitnya karena terlalu banyak penderitaan yang ditambahkan. Kue, yang katanya akan dibagi rata, ternyata hanya tampil cantik di poster kampanye---isi sebenarnya sudah basi, tak layak makan. Tapi mereka tetap memaksakan kita untuk percaya, seolah rakyat ini tak punya indera rasa.

Yang menyedihkan adalah, meski sudah tahu rasanya selalu sama, kita tetap datang. Kita tetap ikut antre. Kita tetap duduk di bangku paling belakang, berharap kali ini akan berbeda. Barangkali kita bukan bodoh, hanya terlalu sabar. Barangkali kita bukan lupa, hanya terlalu sering memaafkan. Barangkali kita memang terlalu mencintai negeri ini, hingga rela menunggu meski terus dikhianati.

Warung kopi bukan sekadar tempat menyesap minuman pahit. Ia adalah ruang di mana kegelisahan rakyat bersuara tanpa mikrofon. Di sanalah demokrasi sesungguhnya hidup---bukan dalam pidato, tapi dalam desah napas yang lelah. Bukan dalam baliho, tapi dalam mata yang sayu menatap harga sembako. Bukan dalam debat di layar kaca, tapi dalam percakapan antar sesama yang mencoba bertahan hidup.

Segelas kopi ini, biarpun pahit, tetap kita minum. Sepotong kue itu, meski sudah usang, tetap kita harap bisa menyentuh meja kita. Sebab dalam hidup yang penuh ketidakpastian, kadang yang kita punya hanyalah keyakinan bahwa suara kecil pun bisa mengubah arah. Meski pelan. Meski tak hari ini.

Dan kalaupun tidak... yah, setidaknya kita pernah percaya.

Demokrasi yang Terjebak di Panggung Retorika

Kita diajarkan bahwa demokrasi adalah suara rakyat. Tapi semakin ke sini, kita menyadari: demokrasi bukan lagi tentang suara, melainkan tentang seberapa besar speaker yang kau miliki. Siapa yang punya panggung lebih tinggi, itulah yang terdengar paling nyaring. Retorika menggantikan nurani. Janji mengalahkan bukti. Kata-kata yang seharusnya menjadi jembatan menuju keadilan malah menjadi jebakan yang disusun indah dalam diksi-diksi berbunga.

Politikus hari ini bukan lagi pemimpin---mereka lebih mirip aktor dalam serial politik tak berkesudahan. Yang ditampilkan ke publik adalah drama: konferensi pers yang penuh isak tangis buatan, debat yang tak lebih dari kompetisi retorika tanpa substansi, dan pidato panjang yang dipenuhi kalimat-kalimat klise seperti "demi rakyat", "untuk kesejahteraan bersama", atau "komitmen kami tidak akan berubah". Tapi nyatanya, rakyat tetap miskin, kesejahteraan hanya milik elit, dan komitmen berubah secepat arah angin saat pemilu selesai.

Kita hidup dalam zaman di mana citra lebih penting dari isi. Di mana pencitraan politik dibangun bukan dari kerja nyata, tapi dari konten TikTok dan reels Instagram. Seseorang bisa duduk di kursi kekuasaan bukan karena kapasitas, tapi karena ia pandai memilih angle kamera dan tahu kapan harus tersenyum di depan lensa. Demokrasi berubah menjadi ajang popularitas, bukan kompetensi.

Retorika kosong mengisi ruang-ruang publik seperti asap rokok di warung kopi---menyesakkan, tapi dibiarkan saja. Mereka tahu rakyat akan lupa. Mereka paham bahwa yang penting bukan kejujuran, tapi narasi. Bahwa rakyat lebih mudah dibuai oleh cerita indah daripada kenyataan pahit. Maka ditulislah skrip-skrip kemenangan. Diperankanlah drama-drama pengabdian. Semua demi satu hal: kekuasaan.

Sementara itu, rakyat kembali ke rutinitasnya: berjuang sendiri di tengah harga yang melambung, pendidikan yang mahal, dan akses kesehatan yang tak setara. Tapi ketika rakyat bersuara, mereka dicap pembangkang. Ketika rakyat bertanya, mereka disuruh bersabar. Ketika rakyat kecewa, mereka diminta untuk tetap percaya. Lucu, bukan? Demokrasi mengklaim diri sebagai sistem dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat---tapi suara rakyat yang kritis justru dibungkam, dianggap ancaman.

Kita terlalu sering disuguhkan panggung megah, tapi lupa memeriksa apa yang terjadi di balik tirainya. Kita terlalu terpukau dengan siapa yang bicara, sampai lupa apa yang ia katakan. Demokrasi berubah menjadi pertunjukan ilusi. Dan kita? Kita menjadi penonton pasif yang bahkan tak lagi tahu kapan harus bertepuk tangan dan kapan harus pergi meninggalkan kursi.

Dalam warung kopi itu, di mana kopi tetap pahit dan kue tetap usang, rakyat tetap berdiskusi. Mungkin bukan untuk mengubah dunia, tapi setidaknya untuk saling menguatkan. Sebab kalau demokrasi hari ini hanyalah panggung sandiwara, maka satu-satunya bentuk kejujuran yang tersisa adalah suara-suara kecil dari mereka yang tak punya panggung.

Dan mungkin, dari suara kecil itulah, demokrasi suatu hari bisa benar-benar pulang ke rumahnya.

Segelintir Elit, Sepiring Kekuasaan

Kekuasaan, pada akhirnya, adalah meja makan panjang yang tidak pernah cukup kursinya. Yang duduk di sana selalu itu-itu saja: segelintir nama dengan gelar yang terus diperpanjang, saling bersulang dengan segelas anggur keberuntungan, membagi sepiring kekuasaan dengan sendok serakah. Yang lain? Mereka berdiri di kejauhan, menatap sambil menahan lapar. Menunggu remah-remah yang jatuh dari meja, berharap bisa mengganjal perut dengan sedikit kebijakan yang mungkin tercecer.

Ada yang bilang negeri ini besar karena pluralitasnya, karena semangat gotong royongnya. Tapi hari ini, gotong royong sudah berubah makna---dari saling bantu menjadi saling injak. Yang kuat menaiki pundak yang lemah, dan yang lemah diajari cara bersyukur sambil terus dibebani. Mereka lupa bahwa keadilan bukan soal membagi rata, tapi soal memberikan sesuai hak dan kebutuhan. Tapi bagaimana mungkin kita bicara keadilan, jika ukuran piring kita saja berbeda sejak awal?

Segelintir elit itu hidup dalam dunia paralel: jalan mulus beraspal hitam, lampu kota yang tak pernah padam, dan pengawalan ketat dari kenyataan. Mereka tak pernah tahu rasa cemas menunggu subsidi cair, tak pernah merasakan getirnya harga cabai yang melompat seperti grafik saham, tak pernah tahu sakitnya melihat anak harus putus sekolah karena tak punya seragam. Mereka bicara tentang ekonomi, tapi lupa wajah pasar tradisional. Mereka pidato soal kemiskinan, tapi tak kenal bau keringat di ladang.

Kita hidup dalam negeri yang katanya kaya, tapi entah siapa yang sebenarnya menikmati kekayaannya. APBN dibaca seperti mantra, tapi angka-angka itu tak pernah berubah jadi nasi di piring kita. Jalan dibangun, tapi bukan ke arah desa. Sekolah didirikan, tapi bukan untuk anak petani. Rumah sakit ditambah, tapi hanya bagi mereka yang sanggup membayar. Seolah-olah negeri ini dibuat hanya untuk satu golongan---mereka yang punya kuasa atas keputusan, dan kuasa atas narasi.

Terkadang, kita bertanya-tanya: apakah mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa kekuasaan bukan warisan? Bahwa jabatan bukan singgasana yang bisa diwariskan dari satu keluarga ke keluarga lain seperti tradisi bangsawan? Tapi mungkin memang begitu: kekuasaan terlalu nikmat hingga lupa rasanya menjadi biasa.

Sementara itu, rakyat tetap bertahan. Dengan luka yang dirawat diam-diam. Dengan doa yang disampaikan lewat langit malam. Mereka tak punya banyak pilihan selain tetap percaya, bahwa di antara elit yang terus berpesta, masih ada secercah harapan yang belum padam. Bahwa sejarah tak selamanya berpihak pada yang kuat. Bahwa kadang, perubahan datang dari suara paling lirih yang berani terus berbicara, bahkan ketika tak ada yang mendengar.

Mereka mungkin tidak punya kekuasaan. Tapi mereka punya kenangan tentang negeri yang dulu diperjuangkan dengan darah, bukan dengan saldo rekening. Mereka punya keberanian untuk tetap hidup dengan jujur, meski harus menanggung getir. Dan di situlah kekuatan sejati berada---bukan di istana, tapi di dada rakyat yang masih mau percaya meski berkali-kali dihancurkan.

Karena pada akhirnya, sepiring kekuasaan itu tak akan abadi. Tapi luka karena dikhianati, akan tetap hidup dalam ingatan.

Kue Demokrasi yang Sudah Usang

Kue demokrasi itu dulu manis---atau setidaknya, begitulah yang diceritakan. Di masa awal reformasi, rakyat duduk bersila di pelataran harapan, menanti sepotong kue bernama kebebasan, seiris harapan bernama keadilan. Tapi sekarang? Kuenya sudah basi. Disajikan berulang kali dengan hiasan berbeda, tapi adonannya tetap sama: kebohongan, korupsi, dan kekuasaan yang tak pernah kenyang.

Bayangkan sebuah kue yang terus-menerus diputar, dipoles, dipotong-potong, dibagikan ke meja-meja kekuasaan. Tapi tidak pernah sampai ke tangan mereka yang betul-betul lapar. Yang menguleni kue itu bukan rakyat, tapi mereka yang pandai menyusun strategi, membuat koalisi, menjual mimpi. Rakyat cuma penonton. Bahkan tak jarang, hanya dijadikan bahan dekorasi untuk memperindah meja pesta.

Kita dipaksa memilih setiap lima tahun, tapi hanya boleh memilih dari yang disajikan. Seolah kita tamu dalam pesta yang menunya sudah ditentukan, tapi masih harus bersyukur karena diundang. Dan jika kita protes tentang rasa kuenya yang pahit, kita akan dikatai tak tahu terima kasih.

Padahal kita ingat betul: demokrasi dulu diperjuangkan oleh mereka yang rela kehilangan segalanya---nyawa, keluarga, bahkan masa depan. Tapi kini, perjuangan itu dijual dalam bentuk baliho. Diganti dengan slogan-slogan seperti "bersama rakyat" padahal hidupnya tak pernah benar-benar bersama rakyat. Dipromosikan dalam video sinematik berdurasi 60 detik, lengkap dengan backsound orkestra dan tangisan palsu.

Lalu mereka datang, menawarkan potongan kue yang katanya adil. Tapi sebelum kita menyentuhnya, sudah lebih dulu habis dibagi dalam rapat tertutup. Transparansi? Hanya ilusi. Keterwakilan? Hanya angka statistik. Dan ketika rakyat marah, mereka bilang: "Beginilah demokrasi berjalan." Seolah demokrasi itu sesuatu yang tak bisa disentuh, tak bisa dikritik, tak bisa diperbaiki.

Padahal demokrasi sejati bukan tentang siapa yang bicara paling keras, tapi siapa yang paling mendengarkan. Bukan tentang siapa yang menang dalam pemilu, tapi siapa yang berani kalah demi kebenaran. Tapi itu semua kini terasa usang. Seperti kue yang terlalu lama disimpan, yang tampilannya masih cantik tapi rasanya sudah menyakitkan.

Maka tak heran jika generasi muda mulai apatis. Jika mereka memilih menjauh dari politik, bukan karena tak peduli, tapi karena terlalu sering dikhianati. Karena mereka muak dengan kue yang hanya bisa mereka lihat di etalase kekuasaan, tapi tak pernah mereka cicipi.

Namun dari kejenuhan itulah mungkin kelahiran kesadaran dimulai. Bahwa jika kue demokrasi sudah tak lagi layak dimakan, kita tak perlu terus memakannya. Kita bisa membuat adonan baru. Dengan bahan kejujuran, ragi keberanian, dan adukan semangat kolektif. Kita bisa membangun ulang resep demokrasi, bukan dari dapur istana, tapi dari rumah-rumah kecil di pinggir kota, dari suara-suara yang selama ini dipinggirkan.

Karena demokrasi bukan milik mereka yang duduk di singgasana. Demokrasi adalah milik mereka yang setiap hari menyambung hidup, tapi masih punya harapan. Milik mereka yang meski hanya punya segelas kopi pahit dan kue usang, tetap mau berbagi cerita. Tetap percaya bahwa negeri ini suatu hari bisa lebih baik. Bukan karena keajaiban, tapi karena keberanian untuk menyatakan: cukup sudah.

Epilog: Sisa Rasa di Cangkir Terakhir

Segelas kopi itu kini tinggal ampas. Pahitnya masih tertinggal di lidah, menyisakan getir yang tak bisa ditelan, tapi juga tak bisa dimuntahkan. Di sampingnya, sepotong kue yang dulu disebut "hadiah dari demokrasi", telah mengeras. Tak lagi bisa dimakan, bahkan semut pun enggan menghampiri. Kita duduk menghadapnya, diam-diam bertanya: benarkah ini yang dulu diperjuangkan? Atau hanya ilusi yang kita peluk terlalu erat karena takut kehilangan harapan?

Di luar jendela, negeri ini terus bergerak. Jalanan masih macet oleh janji-janji yang tak kunjung tiba. Balai kota masih penuh dengan suara yang lebih keras dari nurani. Tapi di balik semua itu, ada rakyat yang tetap menyalakan pelita kecilnya: di warung kopi pinggir jalan, di kolom komentar yang tak pernah dibaca, di hati yang tak henti berdoa. Mereka bukan penonton, mereka bukan figuran. Mereka adalah nadi.

Sebab meski demokrasi telah lama berubah jadi panggung sandiwara, masih ada mereka yang percaya bahwa lakon bisa diganti, bahwa cerita bisa ditulis ulang. Bahwa politik bukan hanya tentang kursi dan koalisi, tapi tentang hak untuk hidup dengan layak, tentang suara-suara kecil yang layak didengar, tentang manusia yang ingin diperlakukan manusiawi.

Kita bukan sekadar pengeluh yang menyeruput kopi sambil mengumpat. Kita adalah saksi zaman, yang menolak lupa. Yang tahu rasanya dihitung saat pemilu tapi diabaikan setelahnya. Yang mengerti bagaimana getirnya jadi rakyat di negeri yang pemimpinnya lebih pandai bermain kata ketimbang membasuh luka. Tapi meski kecewa, kita masih di sini. Masih menulis. Masih bertanya. Masih berharap.

Karena kita tahu, harapan tak selalu datang dalam bentuk revolusi besar. Kadang, ia datang dalam bentuk segelas kopi panas yang dibagi dua, dalam sepotong kue kecil yang disisihkan untuk yang tak mampu. Dalam percakapan lirih di sudut warung, dalam puisi yang dibisikkan ke langit malam, dalam tulisan yang tak dibaca penguasa tapi dipeluk oleh yang merasa senasib.

Maka biarlah tulisan ini menjadi saksi, bahwa pernah ada rasa kecewa yang tak dibungkam. Pernah ada rakyat yang tak hanya menunduk, tapi juga menggugat. Pernah ada kesedihan yang dijahit menjadi kesadaran. Dan semoga, dari sisa-sisa rasa pahit ini, kita belajar meracik ulang: tentang negeri yang tak hanya dibangun dengan janji, tapi dengan empati. Tentang kekuasaan yang tak hanya dirayakan, tapi juga dipertanggungjawabkan.

Karena kita lelah minum dari cangkir kepalsuan. Kini saatnya menyeduh ulang---dengan air mata yang jujur, dengan api yang berasal dari nurani. Dan siapa tahu, kelak, di meja sederhana warung rakyat, kita benar-benar bisa merasakan manisnya kue keadilan. Bukan karena kita memohon, tapi karena kita berani menuntut.

Untuk segelas kopi yang tak lagi pahit. Untuk sepotong kue yang tak lagi usang.

Untuk negeri yang tak hanya milik mereka yang berkuasa. Tapi juga kita---yang setiap hari, diam-diam, terus berjuang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun