Padahal kita ingat betul: demokrasi dulu diperjuangkan oleh mereka yang rela kehilangan segalanya---nyawa, keluarga, bahkan masa depan. Tapi kini, perjuangan itu dijual dalam bentuk baliho. Diganti dengan slogan-slogan seperti "bersama rakyat" padahal hidupnya tak pernah benar-benar bersama rakyat. Dipromosikan dalam video sinematik berdurasi 60 detik, lengkap dengan backsound orkestra dan tangisan palsu.
Lalu mereka datang, menawarkan potongan kue yang katanya adil. Tapi sebelum kita menyentuhnya, sudah lebih dulu habis dibagi dalam rapat tertutup. Transparansi? Hanya ilusi. Keterwakilan? Hanya angka statistik. Dan ketika rakyat marah, mereka bilang: "Beginilah demokrasi berjalan." Seolah demokrasi itu sesuatu yang tak bisa disentuh, tak bisa dikritik, tak bisa diperbaiki.
Padahal demokrasi sejati bukan tentang siapa yang bicara paling keras, tapi siapa yang paling mendengarkan. Bukan tentang siapa yang menang dalam pemilu, tapi siapa yang berani kalah demi kebenaran. Tapi itu semua kini terasa usang. Seperti kue yang terlalu lama disimpan, yang tampilannya masih cantik tapi rasanya sudah menyakitkan.
Maka tak heran jika generasi muda mulai apatis. Jika mereka memilih menjauh dari politik, bukan karena tak peduli, tapi karena terlalu sering dikhianati. Karena mereka muak dengan kue yang hanya bisa mereka lihat di etalase kekuasaan, tapi tak pernah mereka cicipi.
Namun dari kejenuhan itulah mungkin kelahiran kesadaran dimulai. Bahwa jika kue demokrasi sudah tak lagi layak dimakan, kita tak perlu terus memakannya. Kita bisa membuat adonan baru. Dengan bahan kejujuran, ragi keberanian, dan adukan semangat kolektif. Kita bisa membangun ulang resep demokrasi, bukan dari dapur istana, tapi dari rumah-rumah kecil di pinggir kota, dari suara-suara yang selama ini dipinggirkan.
Karena demokrasi bukan milik mereka yang duduk di singgasana. Demokrasi adalah milik mereka yang setiap hari menyambung hidup, tapi masih punya harapan. Milik mereka yang meski hanya punya segelas kopi pahit dan kue usang, tetap mau berbagi cerita. Tetap percaya bahwa negeri ini suatu hari bisa lebih baik. Bukan karena keajaiban, tapi karena keberanian untuk menyatakan: cukup sudah.
Epilog: Sisa Rasa di Cangkir Terakhir
Segelas kopi itu kini tinggal ampas. Pahitnya masih tertinggal di lidah, menyisakan getir yang tak bisa ditelan, tapi juga tak bisa dimuntahkan. Di sampingnya, sepotong kue yang dulu disebut "hadiah dari demokrasi", telah mengeras. Tak lagi bisa dimakan, bahkan semut pun enggan menghampiri. Kita duduk menghadapnya, diam-diam bertanya: benarkah ini yang dulu diperjuangkan? Atau hanya ilusi yang kita peluk terlalu erat karena takut kehilangan harapan?
Di luar jendela, negeri ini terus bergerak. Jalanan masih macet oleh janji-janji yang tak kunjung tiba. Balai kota masih penuh dengan suara yang lebih keras dari nurani. Tapi di balik semua itu, ada rakyat yang tetap menyalakan pelita kecilnya: di warung kopi pinggir jalan, di kolom komentar yang tak pernah dibaca, di hati yang tak henti berdoa. Mereka bukan penonton, mereka bukan figuran. Mereka adalah nadi.
Sebab meski demokrasi telah lama berubah jadi panggung sandiwara, masih ada mereka yang percaya bahwa lakon bisa diganti, bahwa cerita bisa ditulis ulang. Bahwa politik bukan hanya tentang kursi dan koalisi, tapi tentang hak untuk hidup dengan layak, tentang suara-suara kecil yang layak didengar, tentang manusia yang ingin diperlakukan manusiawi.
Kita bukan sekadar pengeluh yang menyeruput kopi sambil mengumpat. Kita adalah saksi zaman, yang menolak lupa. Yang tahu rasanya dihitung saat pemilu tapi diabaikan setelahnya. Yang mengerti bagaimana getirnya jadi rakyat di negeri yang pemimpinnya lebih pandai bermain kata ketimbang membasuh luka. Tapi meski kecewa, kita masih di sini. Masih menulis. Masih bertanya. Masih berharap.