Mohon tunggu...
Satria Jaya
Satria Jaya Mohon Tunggu... Pendidik, Pewarta, Penulis dan Social Media Enthusiat

Seseorang yang senantiasa belajar untuk jadi manusia. Terus bermanfaat dan menebar kebaikan #Katanya_Penulis #Nyatanya_Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Segelas Kopi dan Sepotong Kue yang Usang

17 Juni 2025   11:45 Diperbarui: 17 Juni 2025   09:56 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segelas kopi dan sepotong kue---dua hal sederhana yang menjadi metafora paling jujur tentang bangsa ini. Kopi itu, seperti kritik rakyat, diseduh dengan ketulusan tapi diminum dengan keraguan. Kue itu, seperti kekuasaan, tampak lezat di etalase kampanye, tapi ternyata usang saat disantap, menyisakan rasa pahit dan serbuk kebohongan yang lengket di langit-langit mulut.

Tapi, entah mengapa, kita tetap datang. Duduk. Membicarakan nasib bangsa. Mungkin karena dalam keterbatasan, kita hanya bisa berharap. Dan dalam harapan, warung kopi adalah tempat paling nyata untuk merayakan ilusi yang disulap menjadi demokrasi. Tempat kita merasa punya suara, meski tak pernah didengar.

Di negeri yang katanya demokratis ini, percakapan tentang negara tidak terjadi di ruang-ruang megah ber-AC yang penuh jargon dan tepuk tangan palsu. Ia justru lahir dari kepulan asap rokok dan kopi sachet yang terlalu manis. Di warung-warung kopi pinggir jalan, di mana kursi plastik berderit dan meja kusam penuh coretan nama mantan, rakyat bicara---kadang dengan semangat membuncah, kadang dengan putus asa yang dibungkus tawa.

Di sana, demokrasi hadir dalam bentuk yang paling jujur: bukan sebagai sistem yang rumit, tapi sebagai harapan sederhana. Harapan bahwa suara kita berarti, bahwa jeritan kita didengar, bahwa hidup tidak selalu harus begini-begini saja. Tapi seperti segelas kopi yang terlalu lama didiamkan, harapan itu perlahan mendingin. Dulu hangat, sekarang hambar. Dulu kuat aromanya, kini hanya menyisakan ampas.

Kita duduk di hadapan meja demokrasi yang retak---berharap bisa mencicipi sepotong kue keadilan, padahal sejak awal kita tidak pernah diundang ke pestanya. Kue itu telah lama dibagi, bukan berdasarkan keadilan, tapi berdasarkan kedekatan. Sementara rakyat, pemilik asli resep perjuangan, hanya diminta bertepuk tangan sambil menonton potongan demi potongan diperebutkan oleh tangan-tangan kekuasaan yang licin.

Demokrasi hari ini tak ubahnya pentas sandiwara. Ada naskah yang ditulis rapi, aktor yang tampil meyakinkan, dan penonton yang membayar tiket dengan suara dan harapan. Tapi seperti drama murahan, akhir ceritanya selalu bisa ditebak: sang tokoh utama naik panggung, mengucapkan janji, lalu pergi meninggalkan panggung saat tirai ditutup, lupa pada mereka yang duduk paling belakang.

Segelas kopi dan sepotong kue menjadi simbol dari kontradiksi besar itu. Kopi, yang diseduh dengan tangan rakyat, pahitnya karena terlalu banyak penderitaan yang ditambahkan. Kue, yang katanya akan dibagi rata, ternyata hanya tampil cantik di poster kampanye---isi sebenarnya sudah basi, tak layak makan. Tapi mereka tetap memaksakan kita untuk percaya, seolah rakyat ini tak punya indera rasa.

Yang menyedihkan adalah, meski sudah tahu rasanya selalu sama, kita tetap datang. Kita tetap ikut antre. Kita tetap duduk di bangku paling belakang, berharap kali ini akan berbeda. Barangkali kita bukan bodoh, hanya terlalu sabar. Barangkali kita bukan lupa, hanya terlalu sering memaafkan. Barangkali kita memang terlalu mencintai negeri ini, hingga rela menunggu meski terus dikhianati.

Warung kopi bukan sekadar tempat menyesap minuman pahit. Ia adalah ruang di mana kegelisahan rakyat bersuara tanpa mikrofon. Di sanalah demokrasi sesungguhnya hidup---bukan dalam pidato, tapi dalam desah napas yang lelah. Bukan dalam baliho, tapi dalam mata yang sayu menatap harga sembako. Bukan dalam debat di layar kaca, tapi dalam percakapan antar sesama yang mencoba bertahan hidup.

Segelas kopi ini, biarpun pahit, tetap kita minum. Sepotong kue itu, meski sudah usang, tetap kita harap bisa menyentuh meja kita. Sebab dalam hidup yang penuh ketidakpastian, kadang yang kita punya hanyalah keyakinan bahwa suara kecil pun bisa mengubah arah. Meski pelan. Meski tak hari ini.

Dan kalaupun tidak... yah, setidaknya kita pernah percaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun