Demokrasi yang Terjebak di Panggung Retorika
Kita diajarkan bahwa demokrasi adalah suara rakyat. Tapi semakin ke sini, kita menyadari: demokrasi bukan lagi tentang suara, melainkan tentang seberapa besar speaker yang kau miliki. Siapa yang punya panggung lebih tinggi, itulah yang terdengar paling nyaring. Retorika menggantikan nurani. Janji mengalahkan bukti. Kata-kata yang seharusnya menjadi jembatan menuju keadilan malah menjadi jebakan yang disusun indah dalam diksi-diksi berbunga.
Politikus hari ini bukan lagi pemimpin---mereka lebih mirip aktor dalam serial politik tak berkesudahan. Yang ditampilkan ke publik adalah drama: konferensi pers yang penuh isak tangis buatan, debat yang tak lebih dari kompetisi retorika tanpa substansi, dan pidato panjang yang dipenuhi kalimat-kalimat klise seperti "demi rakyat", "untuk kesejahteraan bersama", atau "komitmen kami tidak akan berubah". Tapi nyatanya, rakyat tetap miskin, kesejahteraan hanya milik elit, dan komitmen berubah secepat arah angin saat pemilu selesai.
Kita hidup dalam zaman di mana citra lebih penting dari isi. Di mana pencitraan politik dibangun bukan dari kerja nyata, tapi dari konten TikTok dan reels Instagram. Seseorang bisa duduk di kursi kekuasaan bukan karena kapasitas, tapi karena ia pandai memilih angle kamera dan tahu kapan harus tersenyum di depan lensa. Demokrasi berubah menjadi ajang popularitas, bukan kompetensi.
Retorika kosong mengisi ruang-ruang publik seperti asap rokok di warung kopi---menyesakkan, tapi dibiarkan saja. Mereka tahu rakyat akan lupa. Mereka paham bahwa yang penting bukan kejujuran, tapi narasi. Bahwa rakyat lebih mudah dibuai oleh cerita indah daripada kenyataan pahit. Maka ditulislah skrip-skrip kemenangan. Diperankanlah drama-drama pengabdian. Semua demi satu hal: kekuasaan.
Sementara itu, rakyat kembali ke rutinitasnya: berjuang sendiri di tengah harga yang melambung, pendidikan yang mahal, dan akses kesehatan yang tak setara. Tapi ketika rakyat bersuara, mereka dicap pembangkang. Ketika rakyat bertanya, mereka disuruh bersabar. Ketika rakyat kecewa, mereka diminta untuk tetap percaya. Lucu, bukan? Demokrasi mengklaim diri sebagai sistem dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat---tapi suara rakyat yang kritis justru dibungkam, dianggap ancaman.
Kita terlalu sering disuguhkan panggung megah, tapi lupa memeriksa apa yang terjadi di balik tirainya. Kita terlalu terpukau dengan siapa yang bicara, sampai lupa apa yang ia katakan. Demokrasi berubah menjadi pertunjukan ilusi. Dan kita? Kita menjadi penonton pasif yang bahkan tak lagi tahu kapan harus bertepuk tangan dan kapan harus pergi meninggalkan kursi.
Dalam warung kopi itu, di mana kopi tetap pahit dan kue tetap usang, rakyat tetap berdiskusi. Mungkin bukan untuk mengubah dunia, tapi setidaknya untuk saling menguatkan. Sebab kalau demokrasi hari ini hanyalah panggung sandiwara, maka satu-satunya bentuk kejujuran yang tersisa adalah suara-suara kecil dari mereka yang tak punya panggung.
Dan mungkin, dari suara kecil itulah, demokrasi suatu hari bisa benar-benar pulang ke rumahnya.
Segelintir Elit, Sepiring Kekuasaan
Kekuasaan, pada akhirnya, adalah meja makan panjang yang tidak pernah cukup kursinya. Yang duduk di sana selalu itu-itu saja: segelintir nama dengan gelar yang terus diperpanjang, saling bersulang dengan segelas anggur keberuntungan, membagi sepiring kekuasaan dengan sendok serakah. Yang lain? Mereka berdiri di kejauhan, menatap sambil menahan lapar. Menunggu remah-remah yang jatuh dari meja, berharap bisa mengganjal perut dengan sedikit kebijakan yang mungkin tercecer.