Lihatlah di sana, wajah-wajah letih dalam antrean panjang,
Berdesakan di bawah langit yang tak memberi peluk,
Mata mereka kosong, seolah tak lagi bertanya,
Sampai kapan debu jalanan menggantikan harapan?
Angin membisikkan kisah yang tak pernah sampai,
Hanya sunyi yang menjawab dengan getirnya.
Waktu terus berlari meninggalkan mereka sendiri,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang menunggu keajaiban yang tak kunjung tiba.
Lihatlah di sana, tangan-tangan rapuh mengais serpihan,
Menyusuri lorong-lorong gelap tanpa petunjuk,
Kaki mereka gemetar di atas tanah yang tak ramah,
Sampai kapan perut mereka dipaksa berdamai dengan lapar?
Pagi datang tanpa membawa keajaiban,
Dan malam tiba tanpa mimpi yang bisa dipegang.
Tak ada suara yang peduli pada langkah mereka,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang meraba cahaya di dalam gelap.
Lihatlah di sana, anak-anak kecil yang kehilangan tawa,
Berlari di antara reruntuhan yang dulu disebut rumah,
Mereka menggambar langit dengan warna-warna pudar,
Sampai kapan hujan turun tanpa menumbuhkan apa pun?
Suara mereka teredam oleh hiruk-pikuk kota,
Seakan dunia menutup telinga dari tangisan mereka.
Mereka tak meminta banyak, hanya secuil tempat untuk bermimpi,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang tak pernah dimenangkan oleh nasib.
Lihatlah di sana, orang-orang tua yang duduk termenung,
Mengenang masa lalu yang terasa lebih nyata,
Mereka menatap jalan yang tak lagi mereka kenali,
Sampai kapan waktu berlalu tanpa memberi jawaban?
Dulu mereka membangun dunia dengan tangannya,
Kini dunia berlalu tanpa menoleh ke arah mereka.
Sebuah nama di kartu identitas, tanpa arti di mata zaman,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang dilupakan oleh waktu.
Lihatlah di sana, peluh yang jatuh tanpa arti,
Terhimpit mesin-mesin yang bekerja tanpa rasa,
Mereka membanting tulang untuk angka-angka kosong,
Sampai kapan manusia menjadi bayangan bagi dirinya sendiri?
Suara-suara mereka hilang di sela kebisingan,
Digantikan laporan-laporan tanpa nyawa.
Keadilan menjadi dongeng di antara pabrik-pabrik yang membisu,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang menukar hidup dengan lelah.
Lihatlah di sana, perempuan-perempuan yang menunggu,
Menanti kabar dari mereka yang tak pulang,
Mencari jejak di jalan yang telah dihapus waktu,
Sampai kapan rindu menjadi beban yang tak terbayarkan?
Langit petang hanya membawa gemuruh,
Dan malam membiarkan mereka tertidur dengan air mata.
Setiap fajar hanya menambah luka yang belum sembuh,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang memeluk bayangan yang tak pernah kembali.
Lihatlah di sana, lelaki tua di depan gerbang,
Jemarinya gemetar menggenggam harapan yang pudar,
Ia menanti pintu terbuka untuk dirinya,
Sampai kapan hidup menjadi lebih sulit dari mati?
Hari berganti tanpa ada yang menyapa,
Seakan waktu pun lupa akan keberadaannya.
Tak ada ruang bagi yang tak lagi muda,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang menunggu akhir dalam kesunyian.
Lihatlah di sana, wajah-wajah yang tertutup kain,
Dikenang hanya sebatas angka di layar,
Mereka pergi tanpa sempat berpamitan,
Sampai kapan kematian hanya jadi berita biasa?
Nama mereka diucapkan sekali, lalu dilupakan,
Sementara dunia terus berjalan tanpa peduli.
Tidak ada nisan yang mencatat kisah mereka,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang lenyap tanpa bekas.
Lihatlah di sana, para pekerja di persimpangan,
Menunggu upah yang tak pernah cukup,
Mata mereka tertunduk saat pulang ke rumah,
Sampai kapan tenaga mereka hanya dihargai dengan sisa?
Mereka menelan pahit tanpa keluhan,
Sebab dunia tak mau mendengar.
Senyuman mereka hilang di balik lembaran rupiah,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang bekerja untuk tetap miskin.
Lihatlah di sana, sekolah-sekolah yang sunyi,
Buku-buku berdebu di rak yang usang,
Anak-anak tak lagi bertanya tentang masa depan,
Sampai kapan ilmu menjadi barang mewah?
Mereka tumbuh tanpa arah yang jelas,
Seperti perahu tanpa kompas di samudra luas.
Setiap huruf yang mereka baca, hanyalah mimpi yang tak terjangkau,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang ditinggalkan oleh pendidikan.
Lihatlah di sana, anak kecil di lampu merah,
Tangannya kecil tapi tanggungannya besar,
Ia mengetuk jendela dengan mata berharap,
Sampai kapan kepedihan ini dianggap biasa?
Mobil-mobil berlalu tanpa melihat,
Sementara ia terus menunggu keajaiban.
Dunia begitu besar, tapi tak ada ruang untuknya,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang dipaksa dewasa sebelum waktunya.
Lihatlah di sana, petani di ladang kering,
Mengaduk tanah yang tak lagi memberi,
Keringatnya jatuh tapi tak menyuburkan,
Sampai kapan bumi enggan berbagi hasilnya?
Ia menatap langit, bertanya dalam diam,
Tapi awan pun enggan menjawab.
Tanah ini pernah menjanjikan kehidupan,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang menanam tanpa bisa menuai.
Lihatlah di sana, kota yang penuh bayangan,
Gedung-gedung tinggi tapi hati terasa rendah,
Orang-orang saling berjalan tapi tak saling melihat,
Sampai kapan manusia hidup tanpa benar-benar hidup?
Langkah-langkah terus berulang,
Namun maknanya semakin menipis.
Di tengah keramaian, mereka tetap sendirian,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang tenggelam dalam kesendirian.
Lihatlah di sana, sejarah yang terulang,
Kesalahan lama dikenakan pakaian baru,
Janji-janji terdengar tapi tak pernah nyata,
Sampai kapan kita terus percaya pada ilusi?
Waktu bergulir seperti lingkaran,
Dan nasib tetap tak berubah.
Mereka sudah terlalu lelah untuk berharap,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang tersesat dalam perulangan sejarah.
Lihatlah di sana, langit yang tetap sama,
Matahari terbit dan tenggelam tanpa peduli,
Hari berlalu tapi luka tak mengering,
Sampai kapan waktu sekadar menambah penderitaan?
Dunia tetap berjalan dalam diam,
Sementara mereka menunggu jawaban yang tak pernah datang.
Harapan mereka perlahan melebur dengan senja,
Mereka hanyalah tangan-tangan hampa yang tak tahu harus percaya pada apa lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI