Mohon tunggu...
Rooy John
Rooy John Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma Orang Biasa

God gave me a pair of wings Love and Knowledge With both, I would fly back home to Him

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Muara (49)

14 Juni 2022   09:34 Diperbarui: 14 Juni 2022   09:48 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kapan sebuah perang berakhir? Saat sebuah rudal nuklir dijatuhkan? Tidak. Saat mortir dan artileri menghancurkan sasaran? Tidak. Jadi apa yang menuntaskan semua pertempuran dan perang? Saat  infantry dan pejalan kaki menapaki tiap jengkal bumi, memastikan setiap tubuh yang terbaring berstatus hidup atau mati.

Sena pejalan kaki adalah dia yang pertama memasuki medan pertempuran. Menyusup. Menyamar. Menembak. Membuka jalan bagi masuknya semua kekuatan senjata.

Infantri pula yang memastikan berakhirnya yuda. Ia menerobos tembakan dan bau mesiu. Ia memandu setiap yang sakit ke tenda paramedic. Mengangkat jasad ke lobang pemakaman. Pun menawan setiap mereka yang mengangkat tangan menyerah.

Orang-orang goa adalah gerilyawan ulung. Lumpur berlintah yang menempel menguatkan kaki. Senjata beban terpanggul menguatkan asa. Keruh air muara yang menerobos hidung dan tenggorokan merupa pelarian dari jebakan musuh.

Sakit akrab berteman dengan mereka. Kepahitan mendendangkan serenade pada jalan menuju tidur malam mereka.

"Guruh!!....buka matamu! Tetap sadar!"

Suami Menik memegang wajah adik iparnya dan menjaga agar ia tetap siuman.

Guruh meringis. Sakit luka lengan menghentikan langkahnya di pukang jalan raya kota yang panjang tak burujung. Suami Menik dan dua prajurit penyerta melindunginya. Melakukan semua yang mereka bisa. Hingga sebuah mobil hitam muncul dari kejauhan.

Cepat. Sekedipan mata. Mobil telah berhenti tepat di sisi jalan dimana Guruh berbaring.

Pintu mobil terbuka. Berbaju serba hitam, Rahab melangkah keluar dari mobil dan menghampiri Guruh, di bawah tatapan heran Suami Menik.

"Dimana dia tertembak?"

Rahab bertanya pada prajurit penyerta Guruh yang sudah dikenalnya.

"Pantai lepasan pintu Gerbang."

Jawab sang prajurit penyerta.

Melihat Rahab bercakap dengan prajurit penyerta, Suami Menik paham akan kondisi yang kini ia hadapi.

"Angkut dia. Letakan di kursi depan."

Rahab memberi perintah yang dilaksanakan segera oleh Suami Menik dan para prajurit penyerta. Ketiganya kemudian duduk di bangku belakang saat Rahab masuk dan duduk di belakang kemudi.

Mobil melaju pergi secepat datangnya. Hanya sekejap. Mobil berhenti di sebuah garasi. Rahab turun. Ia berjalan menuju sebuah meja panjang. Menunggu hingga ketiga penumpang yang duduk di belakangnya mengangkat Guruh dan meletakannya di atas meja.

Lampu panel di belakang meja menyala disaksikan Guruh yang berbaring lemah. Rahab berjalan mendekati Guruh. Ditatapnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Pegang kaki dan tangannya!"

Rahab memberi instruksi.

Suami Menik berdiri di ujung meja dan memegang kakinya, sementara kedua prajurit penyerta berdiri di kanan dan kiri memegang tangannya. Mereka melihat bagaimana Rahab membuka kedua perban yang melilit di tangan Guruh lalu meraih sebuah pena kecil dari papan panel.

Arrrrggggggghhhhh!!

Raungan Guruh menggema saat sinar laser yang keluar dari pena yang dipegang Rahab menembus luka lengannya.

Tiba-tiba semua lampu padam. Gelap menyergap seisi ruangan.

@@@@@@@

"Mereka sudah merampungkan proyeknya."

Suara sang Jenderal mengakhiri diam yang membenamkan keberanian para prajurit goa.

"Proyek apa, Jenderal?"

Heru, kepala pasukan seratus yang berdiri di dekatnya bertanya.

"Robot militer. Semua yang kita lihat di depan ini."

"Apakah mereka disiapkan untuk berperang, Jenderal?"

"Tidak. Mereka disiapkan dan diprogram untuk menegakkan kepatuhan."

"Kepatuhan seperti apa?"

"Jika kamu diinstruksikan membeli minuman berenergi dan menolak, robot-robot itu menangkap, menyiksa dan membunuhmu."

"Hanya untuk alasan sebotol minuman berenergi?"

"Bukan soal minuman berenergi sebanyak satu botol. Soalnya kamu tidak patuh. Mereka akan membunuhmu."

"Jadi apakah status kita di mata orang-orang ini?"

"Kita adalah penyakit yang harus diberantas dan dilenyapkan."

"Apakah aku diijinkan untuk menulari orang-orang sehat ini sekarang, Jenderal?"

"Kamu dan aku di sini untuk mengakhiri semua penyesatan ini, Heru."

Sang Jenderal berdiri menatap ke seberang sana. Ia tahu apa yang akan terjadi esok jika robot militer itu tidak dimusnahkan. Ia tahu, meski sangat kecil, tersedia kesempatan baginya untuk merusak proyek penindasan yang mengerikan itu.

"Dengarkan saya! Pasang semua bahan peledak yang kalian miliki di sini. Setelah itu, segera keluar meninggalkan panggung."

"Siaaaaaapppppp!!!!"

Suara para prajurit terdengar penuh semangat.

"Jenderal, kita semua akan mati jika terlambat keluar melalui lorong di belakang sana." Kepala pasukan seratus memperingatkan.

"Semua orang mati. Tetapi mati dalam pertempuran adalah kehormatan bagi kita. Ini pusat pertahanan kota. Jantung yang menghidupi kebengisan. Kesempatan terbaik mengakhiri penderitaan kita adalah menghancurkannya hari ini. Jika kita mati karena menghancurkannya, kita mati untuk kebebasan semua yang kita cintai di goa. Jika kita hidup saat menghancurkannya, kita hanya menikmati sedikit kebahagiaan sebelum akhir segala sesuatu. Hidup atau mati, kita tetap bertempur untuk kebebasan orang-orang tercinta."

Suara sang Jenderal menggema membakar semangat para prajurit goa.

 "Kehormatan bagiku bertempur di sampingmu, Jenderal."

Kepala pasukan seratus mengangkat tangan kanan dan menempelkan telapaknya pada tepian dahi.

Lampu panggung tiba-tiba menyala. Terang benderang.

Jenderal orang goa berbalik berlari sambil memberi perintah.

"Kembali! Cepaaaattt!!!!

Bunyi tembakan terdengar dari berbagai sudut di  bagian atas panggung. Peluru berdesing mencari korban. Beberapa prajurit yang berdiri di pojok gugur tertembus timah panas.

Orang-orang goa berlari kembali ke arah gerbang digital sambil membalas tembakan para penyerang. Prajurit kota muncul dari bagian atas dan kedua sisi lorong di kiri dan kanan panggung.

 Baku tembak tidak terhindarkan.

Para prajurit goa berhasil menahan maju pasukan kota. Lorong menuju gerbang digital berubah menjadi medan tempur tanpa perlindungan. Beberapa anggota pasukan kota jatuh tewas. Tetapi jumlah para penyerang terus bertambah, dan bertambah, dan bertambah.

Para prajurit kota kini terdesak dan terus berusaha mencapai gerbang digital. Satu per satu mereka mulai berjatuhan menghadapi berondongan senjata para penyerang yang berlipat ganda.

Laki-laki berseragam militer yang semula berada di ruang pengawasan bersama Pemimpin Kota kini muncul dari tengah-tengah pasukan. Ia berjalan maju tanpa gentar. Melewati tembakan para prajurit goa yang tak mampu melukainya.

"Selamat datang, dalapan-sembilan-sembilan-dua-nol satu! Selamat datang di hari penghancuranmu!"

Laki-laki berseragam militer berjalan maju. Bunyi letusan pistol terdengar mengiringi langkahnya. Terarah pada jenderal orang goa.

Munduuuurr! Cepaaaatttt! Berlari menuju gerbang!

Jendral orang goa tidak mempedulikan serangan laki-laki berseragam militer. Keselamatan prajurit goa prioritasnya. Akan satu dua butir peluru yang mulai menembus tubuhnya tak dirasakan sama sekali.

Heru! Lindungi Aku!

Jenderal orang goa memberi perintah.

Kepala pasukan seratus dan pengawal  yang setia itu berlari kembali dan melindungi Sang Jenderal. Ia memuntahkan peluru dari senapannya. Hujan timah panas yang menahan maju gerak laki-laki berseragam militer.

Kesempatan emas bagi Jenderal orang goa untuk mencapai gerbang digital dan menempelkan tangannya di dinding gerbang.

"Selamat datang, dalapan-sembilan-sembilan-dua-nol satu."

Suara standar mesin pembaca yang langsung dipotong Sang Jenderal.

"Satu-satu-nol-nol-satu-nol-nol-satu!"

"Akses diterima. Silahkan melewati gerbang."

Seperti air bah yang menabrak dinding karang, para prajurit kota berlari melintasi gerbang digital. Tanpa menunggu perintah.

Berondongan tembakan meruntuhkan satu per satu mereka yang berada di garis belakang pasukan. Akan halnya tubuh Sang Jenderal yang nanar menerima puluhan peluru yang diarah padanya.

Para penyerang bergerak cepat. Semakin mendekat dan jumlahnya semakin banyak. Dari semua sisi panggung, mereka muncul laksana kelelawar terbang melintasi malam.

Jenderal orang goa tetap berdiri di pintu gerbang digital memastikan semua anggota pasukannya melintas dengan selamat. Heru, pengawal setianya tetap bertahan menghadapi hujan peluru yang datang ke arahnya.

"Heru! Cepat kembali ke gerbang!"

Suara Sang Jenderal lantang memberi perintah.

"Saya akan kembali bersamamu, Jenderal"

Kepala pasukan seratus menjawab sambil menahan sakit tubuhnya ditembusi peluru.

"Heru!! Ini perintah Jenderalmu. Kembali sekarang!!"

Serak suara Sang Jenderal terdengar diantara bunyi peluru yang menembusi tubuhnya.

"Saya di sini bersamamu, Jenderal. Demi kemerdekaan orang goa!!"

Heru mengucapkan katanya yang terakhir. Puluhan butir peluru menghentikan asa dan kobaran semangatnya. Ia jatuh tersungkur.

Sang Jenderal mengangkat tangannya dari dinding digital.

"Pintu deaktivasi!!"

Suara Sang Jenderal menggelegar. Remuk hatinya menyaksikan pengawal kesayangannya jatuh di depan mata.

Pintu gerbang digital tertutup.

Sang Jenderal kini berdiri sendirian. Berdiri di antara kedua kakinya. Menegakan kehoramatan, kepercayaan dan cintanya pada orang-orang goa. Orang-rang yang tidak pernah dikenalnya. Tetapi dalam setahun, mengubah semua dunianya.

Dari mereka ia belajar, bahwa dunia manusia adalah dunia yang sesungguhnya. Dunia yang jauh lebih indah dari semua khayalan digital di bawah rezim teknologi.

Dunia yang penuh konflik, tetapi juga memunculkan kasih. Dunia yang penuh tragedy, tetapi menemukan kedamaian dalam tragedy itu sendiri.

Dunia yang tidak pernah terpisah. Selalu satu. Selamanya menyatu.

Dari unsur tunggal, tidak mengubah dirinya menjadi beraneka, namun pulang kembali pada dirinya dalam jalan penuh warna, makna dan nama.

"Aku disini untuk mengakhirimu, dalapan-sembilan-sembilan-dua-nol satu!"

Lelaki berbaju seragam militer semakin mendekati Jenderal orang goa. Entah berapa jumlah peluru yang sudah dibenamkannya dalam tubuh Sang Jenderal.

Gelap. Kini tidak ada lagi pandangan di hadapan Sang Jenderal. Seluruh fungsi tubuhnya telah mati akibat hujaman peluru, meski tubuhnya tetap tegak berdiri di tempatnya.

Hanya berjarak tiga langkah dari tempat Sang Jenderal berdiri, tubuh laki-laki berseragam militer terbang bersamaan dengan bunyi ledakan besar dari atas panggung.

Booooooooommmm!!!!

Gempa meruntuhkan lorong sempit dimana pertempuran dahsyat itu terjadi. Gempa yang berasal dari ledakan dari atas panggung. Bahan peledak yang dipasang para prajurit goa bekerja dengan sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun